Taufiq Aziz Soemantri: Konspirasi Seorang Pembangkang


Satu nama yang tidak boleh hilang dalam percaturan dialektik saya di pesantren itu, lantaran ia adalah orang yang harus paling bertanggungjawab kenapa saya menyukai teori konspirasi. Namanya Taufiq Aziz Soemantri, putra asli Kota Banjar Patroman. Hmm.. Patromaks, saya kira.

Anda benar, saya sedang membicarakan seseorang yang terperangkap di abad yang satu dengan abad yang lainnya.

Taufiq adalah orang yang mampu menghabiskan waktunya untuk mempelajari struktur abstrak lukisan-lukisan kuno semacam The Last Supper karya Leonardo Da Vinci ketimbang tadarus di Masjid Baitu Dzikri Wa Syukri (masjid BDWS). Ia pun akan berdiskusi dengan sedikit menegangkan lehernya ketika menyangkut tragedy 11 september di WTC tahun 2001 silam, daripada focus terhadap hafalan Al-Fiyah Ibnu Malik. Satu lagi, ia akan senang hati jika diajak berdiskusi terkait isu-isu di Palestine ketimbang diajak menghafal bait-bait  Shalawat Burdah atau surat Yaasiin.

Cukup bajingan bukan ?

Maaf ini harus saya katakan, otak saya merasa terhegemoni oleh embargo Taufiq ini. Akibatnya, saya jadi lebih kenal dengan Adam Weishaupt, seorang pendiri Illuminati, daripada pengarang kitab Jurumiyah. Saya pun jadi lebih tahu tentang Lucifer, Freemason, dan Baphomet ketimbang nun taukid khafifah maupun tsaqilah atau contoh paling sederhana dari mudlaf mudlaf ilaih. Jadi ngobrol dengan dia itu ibarat masuk ke sebuah kelas yang di dalamnya terdapat buku-buku konspirasi, dindingnya dipenuhi dengan symbol-simbol satanic, papan tulisnya menyerupai Tembok Ratapan dari Jerussalem dan Taufiq sendiri sebagai pengajar sekaligus Rabinya.

Demikianlah, Taufiq merupakan santri yang mempunyai perhatian lebih terhadap dunia konspirasi. Sehingga tak salahlah bila ia menganggap Sempak-Biru-Dongker milik saya bagian dari wacana kaum mason, bahkan yang lebih menggelitik buat saya adalah, bagi Taufiq, gaya dan logat bicara Dadan Hidayat Sya’bana, seorang santri yang berasal dari tanah anarki Rancah, Ciamis, merupakan propaganda laten dari Zionisme. Maka tidak mengherankan pula mereka pernah adu hantam satu sama lain yang padahal satu asrama, satu kamar jua.

Namun sayangnya romantisme diskusi saya dengan Taufiq di pesantren itu tidak sampai 3 tahun penuh lantaran santri yang berpotensi jadi ulama kondang ini lebih memilih keluar daripada meneruskan perjuangan mempelajari komposisi ilmu kepesantrenan. Dia pecundang sekaligus pembangkang yang tak pernah berevolusi menjadi pemenang. Padahal jika dilanjutkan, saya kira, Taufiq yang mempunyai kelenturan pandangan terhadap isu global akan menjadi siswa yang berprestasi di kelas IPS.

Saya tidak tahu konspirasi apa di balik keluarnya Taufiq dari pesantren itu. Apakah ingin focus mempelajari prosa-prosa John Milton dalam bukunya Paradise Lost, karena banyaknya ekstrakulikuler di pesantren. Atau ingin sekedar lebih focus mendalami pengetahuannya tentang Yahudi Rabbinik dan kalangan Halacha Yahudi, lantaran di pesantren aksesnya cukup sempit. Atau bahkan ingin mempreteli teks-teks kompilasi Talmud Bavli dan Talmud Yerushalaim sebab buku-buku di perpustakaan pesantren itu tidak terlalu komplit.

Saya tidak tahu.

Tapi jika diizinkan untuk berspekulasi, maka saya akan mengatakan bahwa Taufiq ini seorang pembangkang yang konsisten di jalan membangkangnya sehingga memilih keluar dari pesantren merupakan jalan yang lurus. Pembangkangan Taufiq hampir mirip-mirip dengan pernyataan Soe Hok Gie yang terkenal: “Lebih baik diasingkan daripada tunduk pada kemunafikan”

Taufiq merupakan satu dari sederet teman yang membenci secara total terhadap kemunafikan. Bayangkan, setiap minggu ia pulang ke rumah untuk menonton Chelsea. Di setiap bulannya, neneknya sering mengirimi bekal berupa uang dan makanan ringan. Karena ia tidak mau menjadi manusia munafik, saya kira, keluar dari pesantren adalah jawaban agar tidak menjadi rentetan kemunafikan-kemunafikan yang jika diteruskan sampai 3 tahun, mungkin akan menjadi aib hitam bagi batinnya.

Meskipun secara hakiki ia memang seorang pembangkang, namun jangan salah Taufiq Aziz itu adalah prototipe ideal pemuda muslim akhir zaman. Ia begitu sumiable bagi setiap perempuan. Ucapan yang keluar dari mulutnya mungkin terdengar frontal, tapi percayalah, dia begitu humble dan friendly. Ia tidak pernah memandang seorang teman dari fisik, materi dan keturunan, ia hanya melihat seseorang sebagai objek yang dipandang dengan objektif.

Tapi bukankah Tuhan menjatah kepada setiap orang punya satu teman yang menyebalkan ? Kalau Anda sampai tidak punya, itu artinya anda sendiri yang menyebalkan.

Dan Taufiq Aziz Soemantri adalah orang yang menyebalkan.

Saya kira.

No comments