IMTM PUTM: Problem Legitimasi dan Solusi
Oleh: Ilham Ibrahim
Bagi
seorang anak muda, organisasi adalah senjata utama dalam melatih kemampuan
kepemimpinan mereka. Maka tidak heran, jika banyak mahasiswa yang ingin
berkecimpung, berkiprah dan meluangkan waktunya untuk berorganisasi hanya untuk
mengasah kepemimpinannya.
Oleh
karena itu, mahasiswa yang duduk di kampus Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah
pun mendirikan sebuah organisasi kemahasiswaan yang diberi nama IMTM atau
Ikatan Mahasiswa Tarjih Muhammadiyah. Akan tetapi apa landasan hukum tentang
“siapa yang harus berorganisasi ? Apa syarat dari organisasi ? dan bagaimana
Organisasi Kemahasiswaan itu ?”
Logo Ikatan Mahasiswa Tarjih Muhammadiyah (IMTM) |
Menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH “Pasal 28E ayat 3 UUD
1945 secara langsung dan tegas memberikan jaminan kebebasan untuk berserikat
atau berorganisas, kebebasan berkumpul dan kebebasan menyatakan pendapat bagi
setiap warga negara Indonesia.” Artinya, siapa pun yang ada di Indonesia termasuk mahasiswa boleh untuk
berorganisasi dan mendirikan organisasi.
Terus, tentang bagaimana cara kebebasan itu digunakan, apa
saja syarat-syarat dan prosedur pembentukan, pembinaan, penyelenggaraan
kegiatan dan pengawasan, begitu juga dengan bagaimana pembentukan organisasi
itu tentu masih harus diatur lebih rinci, yaitu dengan undang-undang beserta
peraturan pelaksanaannya.
Nah,
dalam Pasal 7 ayat 1 UU No 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakan
menyebutkan bahwa “Organisasi memiliki kegiatan sesuai dengan AD/ART
masing-masing.” Artinya, akan sah secara hukum bila organisasi itu memiliki
AD/ART. Maka, mafhum mukhlafahnya
tidak sah secara hukum bila organisasi tidak memiliki AD/ART.
Selain itu, dalam Pasal 111 ayat 2
Peraturan Pemerintah No 60 tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi menyatakan
bahwa “Organisasi kemahasiswaan di perguruan tinggi diseleng-garakan dari, oleh
dan untuk mahasiswa.” Hal ini sesuai dengan Pasal 2 Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 155 tahun 1998 tentang
Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi yang menyebutkan
“Organisasi kemahasiswaan di perguruan tinggi diselenggarakan berdasarkan
prinsip dari, oleh dan untuk mahasiswa dengan memberikan peranan dan
keleluasaan lebih besar kepada mahasiswa.”
Jika
dilihat dari landasan hukum tentang organisasi, maka IMTM belum termasuk sebuah
organisasi yang sah secara hukum. Karena berdasarkan Pasal 7 ayat 1 UU no 17
tahun 2013 itu menyebutkan bahwa organisasi harus mempunyai AD/ART. Bukan hanya
itu, IMTM bukanlah organisasi kemahasiswaan sebab yang menyelenggarakan kegiatannya
bukan “Dari” mahasiswa karena AD/ARTnya belum dibuat.
Makanya,
tidak heran jika IMTM itu amburadul, tidak jelas arahnya, bentuknya apa,
ideologinya apa dan sebagaianya karena AD/ARTnya belum ada. Akhirnya, saya
memelihat IMTM itu seperti Indonesia muda, mereka berdua memiliki dua persamaan
yang mungkin bisa dijadikan solusi dari problematika yang terjadi dalam tubuh
IMTM itu sendiri, yaitu:
Pertama, Indonesia muda belum
menemukan ciri yang ideal, begitu juga dengan IMTM yang belum mengenal ciri
khas dan bentuknya. Dulu, Ir. Soekarno pernah mengatakan “Revolusi Indonesia menuju kepada Sosialisme!
Revolusi Indonesia menuju kepada Dunia Baru tanpa exploitation de l‘homme par l‘homme dan exploitation de nation par nation.”
Kata-kata di atas merupakan isi pidato Bung Karno pada
tanggal 17 Agustus 1964. Jika dilihat dengan cermat, Ir.
Soekarno baru memikirkan bentuk paling ideal bagi Indonesia adalah Sosialisme
tahun 1964 atau 19 tahun setelah Indonesia merdeka. Bukan hanya itu, cita-cita
Indonesia sebagai Negara hukum secara resmi dituliskan dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 45 amandemen ketiga. Artinya,
pada tanggal 10 November 2001 Indonesia
secara resmi menjadi negara hukum jauh setelah proklamasi kemerdekaan itu
dibacakan.
Persamaannya
dengan IMTM adalah Indonesia tahun 1945 adalah sebuah Negara yang belum menemukan
identitasnya, belum mendapatkan bentuk yang ideal, hal ini sama dengan IMTM
yang baru berumur kurang dari setahun yang belum menemukan jati dirinya sebagai
sebuah organisasi kemahasiswaan. Maka, adalah hal yang lumrah bila IMTM ini
amburadul, kacau dll karena belum mengetahui jenis kelaminnya.
Kedua, Indonesia muda sah
secara de facto dan belum sah secara de jure. Secara sederhana pengakuan secara
de facto adalah pengakuan seseorang atau suatu pihak terhadap sesuatu yang
dapat dilihat pada kenyataan yang terjadi, sedangkan pengakuan secara de jure
adalah pengakuan seseorang atau suatu pihak terhadap sesuatu dimana pengakuan
itu dituangkan dalam dokumen hukum atau peraturan tertentu secara tertulis.
Dilihat
dari penjelasan diatas, maka Indonesia mendapatkan pengakuan secara de facto
pada tanggal 17 Agustus 1945 dan mendapatkan pengakuan secara de jure pada
tanggal 10 Juni 1947 yaitu ditandai dari sikap pengakuan Mesir terhadap Negara
Indonesia. Nah, Indonesia menjadi menjadi Negara yang sah secara hukum
internasional 2 tahun setelah proklamasi dibacakan oleh Ir. Soekarno. Artinya,
selama 2 tahun status Indonesia sebagai Negara berdaulat mengalami krisis
legitimasi dan terjadi kevakuman hukum.
Begitu
juga dengan IMTM yang mendapatkan pengakuan secara de Facto dengan ditandai oleh
pelantikan anggota IMTM oleh Wakil Mudir pada tanggal 10 Februari 2014. Namun,
secara de jure masih belum bisa dikatan sebagai sebuah organisasi yang sah
karena pengakuan secara tertulis belum ada. Itu artinya, IMTM mengalami nasib
yang sama dengan Indonesia muda, yaitu mengalami krisis legitimasi dan terjadi
kevakuman hukum yang harus secepatnya dipecahkan.
10/02 2014 secara de facto IMTM berdiri |
Akan
tetapi, meskipun terjadi krisis legitimasi, saya masih optimis IMTM akan
berkembang lebih baik, karena saya sangat percaya pada salah satu aksioma besar dari kaum Freemason, yaitu "Ordo ab
Chao" atau "keteraturan dari kekacauan.” Bukan hanya itu, dalam QS.
As Sharh: 5-6 disebutkan yang artinya "Maka,
bersama kesukaran terdapat kemudahan” atau dengan bahasa yang sederhana
‘dimana ada kesukaran, disana ada kemudahan.’
Maksudnya, meskipun IMTM itu kacau balau dan tidak jelas,
namun di sisi lain, berdasarkan prinsip 'ada kemudahan dalam kesukaran' itu ada
nilai positifnya bagi perkembangan organisasi ini yaitu menuju kedewasaan.
Perlu kita ingat bahwa pada dasarnya kelahiran ushul fiqh,
hukum dan perdamaian juga tidak lain dan tidak bukan muncul dari sebuah
'kegaduhan'. Karena itulah, saya optimis dengan banyaknya kekacauan didalam
tubuh IMTM ini, lama kelamaan akan tertutupi dan ditutupi oleh sebuah solusi
yang segar dari anggotanya. Namun, kapan solusi itu muncul ?
Solusi: Surat Keputusan sebagai
Sintesa
Memang
ada persamaan yang mendasar antara IMTM dan Indonesia muda, namun argument
diatas jangan dijadikan sebagai pembenaran, kalau IMTM itu amburadul dan tidak
jelas adalah hal yang wajar serta lumrah lalu dibiarkan seperti itu selamanya
tanpa ada sedikit pun perubahan. Kalau terus meratapi nasib, maka selamanya
tidak akan berubah. Karena itulah, saya melihat problem yang paling harus
segera diatasi dari IMTM ini adalah persoalan kevakuman hukum.
Memang,
legitimasi tidak harus secara tertulis. Kumpulan Funk Rock di jalanan tidak
perlu membuat pengakuan secara tertulis mendirikan perkumpulan untuk
melegitimasi keberadaannya. Kalau masyarakat menamainya sebagai Perkumpulan
Funk Rock, yaa perkumpulan Funk Rocklah mereka, legitimasinya sosiologis. Tapi berbeda dengan
mendirikan organisasi intra di sebuah perguruan tinggi yang memerlukan
legitimasi secara yuridis.
Oleh
karena itu, bila melirik teori dialektikanya Hegel, harus dicarikan sebuah
sintesis dari tesis dan antitesis yang ada. Jika tesisnya adalah berdirinya
IMTM dan antitesisnya adalah legalitas IMTM sebagai organisasi intra, maka
Sintesisnya adalah Surat Keputusan dari Mudir dan Wadir PUTM! Ini harga mati
bila IMTM ingin terus eksis.
Jika
dulu Indonesia tidak sah secara de jure lalu mendapatkan pengakuan dari Mesir
yang menjadikan Indonesia sebagai Negara yang sah secara hukum internasional,
maka anggota IMTM pun harus mendasak agar Mudir dan Wakil Mudir mengeluarkan
Surat Keputusan mengesahkan secara de jure berdirinya IMTM ini. Setidaknya akan
ada dampak positif yang ditimbulkan dari dikeluarkannya Surat Keputusan, yaitu
:
Pertama,
Dampak Yuridis. Karena Indonesia adalah Negara hukum yang sudah diatur dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 45 amandemen ketiga, maka
semua tindakan harus sesuai dengan hukum positif. Oleh karena itu, IMTM sebagai
sebuah organisasi kemahasiswaan yang berdiri dan bergerak di Indonesia, maka
harus mempunyai legitimasi hukum yang sah dan konstitusional.
Diatas
telah disinggung bahwa organisasi yang sah menurut Pasal 7 ayat 1 UU No 17
tahun 2013 harus mempunyai AD/ART. Selain itu, dalam Pasal 111 ayat 2 Peraturan
Pemerintah No 60 tahun 1999 serta Pasal 2 Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 155 tahun 1998 organisasi
kemahasiswaan harus bergerak dari, oleh dan untuk mahasiswa yang mempunyai
maksud yang sama yaitu harus mempunyai AD/ART. Maka, IMTM sampai
sekarang belum bisa dikatakan sebagai organisasi yang sah dan kosntitusional
karena AD/ART belum ada.
Akan
tetapi, sebelum pembentukan AD/ART sebagai salah satu syarat sahnya sebuah
organisasi, harus ada Surat Keputusan secara tertulis yang menyatakan bahwa
organisasi itu telah berdiri. Dengan kata lain, tidak akan ada AD/ART sebelum
Surat Keputusan dibuat, dibacakan dan diserahkan kepada organisasi yang
bersangkutan.
Apabila
Surat Keputusan telah dibuat oleh Mudir dan Wadir, maka jalan untuk membuat
AD/ART semakin cerah. Sebab, Surat Keputusan tersebut akan dijadikan sebagai
sumber legitimasi, sumber program kerja dan sumber kebijakan sebagaimana posisi
UUD 45 dalam hierarki hukum yang ada di Indonesia. Jika semua ini berjalan
lancar dan baik, maka IMTM akan menjadi organisasi yang kuat secara hukum dan
sah secara konstitusional.
Kedua,
Dampak Psikologis. IMTM telah berumur 1 tahun namun kinerjanya belum maksimal.
Bahkan, ketika Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ) yang untuk pertama kalinya
dilaksanakan pada tanggal 27 Desember 2014, saya melihat tidak ada satu bidang
pun yang dengan sukses menjalankan seluruh program kerjanya dalam satu tahun
itu.
Saya
berpikir, semua itu terjadi karena ketidakjelasan dari status legalitas IMTM
itu sendiri. Pada akhirnya, anggota pun enggan untuk menjalankan program kerja
karena status IMTM sendiri dipertanyakan legitimasinya. Orang lebih enak
menjalankan sesuatu yang sah secara hukum daripada yang tidak sah sama sekali.
Saya
ambil contoh di dunia nyata. Seorang suami yang mempunyai dua istri. Istri
pertama yang sah secara hukum dan istri kedua yang tidak sah secara hukum
positif. Maka dengan demikian sang suami lebih nyaman berduaan dengan si istri
yang sah secara hukum. Sebaliknya, sang suami sedikit takut dengan warga
sekitar untuk memasuki rumah si istri kedua karena tidak sah secara hukum.
Artinya, legitimasi hukum mempunyai dampak psikologis yang dapat mempengaruhi
pola pergerakan seseorang.
Nah,
apabila AD/ART belum dibuat karena Surat Keputusan belum dikeluarkan, maka
jangan harap kedepan IMTM akan lebih baik dan lebih progresif. Sebab saya
berkeyakinan bahwa dengan adanya Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh Mudir
dan Wadir PUTM lalu membuat anggota menyusun AD/ART, maka anggota itu akan
merasa mempunyai tanggung jawab tersendiri untuk menjalankan program kerjanya.
Dengan kata lain, jika ingin IMTM maju, maka keluarkan Surat Keputusan sebagai
jalan kelaur dari problem ini.
Ketiga, Dampak
Sosiologis. Diatas telah disinggung mengenai dampak yuridis yaitu akan
mengahasilkan organisasi yang kuat secara hukum dan dampak dari psikologis juga
menyatakan bahwa anggota IMTM akan bekerja dengan mempunyai rasa tanggung jawab
yang tinggi. Maka, dampak yang ketiga secara tidak langsung masyarakat akan
mengakui keberadaan dari IMTM ini.
Sehingga,
orang tidak akan lagi bertanya “IMTM itu apa ?” akan tetapi orang akan berkata
“IMTM itu sebuah gerakan sosial dari Mahasiswa untuk bangsa.” Maka inilah akhir
yang indah bila Surat Keputusan dikeluarkan, bukan hanya berdampak pada
persoalan yuridis dan psikologis tapi juga akan memliki dampak yang hebat dalam
segi sosiologis.
Maka,
saya sangat mendesak kepada Mudir dan Wadir PUTM untuk segera mengeluarkan
Surat Keputusan sebagai legitimasi dari berdirinya IMTM ini. Akhir kata dari
saya “Jangan membuat sebuah kebijakan lalu hukumnya dibuat belakangan. Kalau
masih saja terjadi kevakuman hukum,
maka apa boleh buat kita bubarkan saja IMTM!”
Post a Comment