Manusia Kurang Piknik
Akhirnya artikel saya kembali
dimuat di Mojok.co. Saya membahas fenomena yang sedang hangat-hangatnya
dibicarakan warganet: pembakaran bendera bertuliskan kalimat tauhid. Berhubung media
yang saya tuju merupakan situs pelopor penulisan satir di Indonesia, saya
melakukan protes terhadap pernyataan-pernyataan tokoh NU dalam menyikapi kasus
pembakaran bendera ini dengan gaya bahasa sindiran atau satir.
Alasan saya menggunakan gaya
bahasa satir sebagai cara protes sosial, sebab saya berusaha menyesuaikan
dengan kepribadian tradisional bangsa kita yang tidak suka dikritik secara
langsung.
Dalam artikel itu saya mengungkapkan
bahwa perbedaan yang cukup mencolok antara Muhammadiyah dan NU adalah selera
humor. Muhammadiyah sulit diajak becanda, orangnya serius-serius, gak punya rasa
humor yang tinggi. Berbeda dengan NU yang lebih cair, apa saja dapat
diguyonkan, pengajian-pengajian NU tidak hanya mengandung hikmah tetapi juga
membuat orang terbahak-bahak. Termasuk sikap mereka tentang pembakaran bendera
berkalimat tauhid. Muhammadiyah serius, NU lucu.
Bila tanpa memperhatikan konteks
pembakaran bendera, sekilas paragraf di atas seolah ingin menyampaikan bahwa
humor atau kelucuan menjadi sistem nilai tersendiri. Bahwa ormas terbaik
ditentukan oleh selera humor yang baik. Standar moral sebuah ormas seolah ditentukan
oleh humor. Dalam konteks ini jelas NU lebih baik dari Muhammadiyah. Bagi orang
yang tidak akrab dengan dunia literasi akan berkesimpulan seperti ini. Saya
menyebut mereka sebagai manusia kurang piknik.
Lima jam setelah artikel itu
terbit, saya mendapat screenshoot dari orang-orang yang kurang piknik. Mereka memprotes
saya karena dianggap melakukan penghinaan terhadap Muhammadiyah. Tapi orang
seperti ini masih mending tabayyun ke saya, setelah dijelaskan cukup gamblang mereka
terbuka dan mau menerima. Nah yang merepotkan adalah mereka yang menyebarkan artikel
saya disertai dengan caption yang galak: “Tidak sepantasnya kader Muhammadiyah
seperti ini”, “Jadi bakar bendera kemarin itu untuk lucu-lucuan?”. Tidak kalah
merepotkannya lagi mereka yang berkomentar di bawahnya: “Astagfirullah miris
ada kader Muhammadiyah seperti itu”. “Ahmad Dahlan akan nangis kalau pengikutnya
seperti dia”. Dan lain-lain.
Mereka tidak paham artikel yang
saya tulis itu bergenre satir. Satir merupakan gaya bahasa yang dipakai dalam
kesusastraan untuk menyatakan sindiran atau ejekan terhadap suatu keadaan atau
seseorang. Gaya bahasa ini sebuah ungkapan ironi, sebuah tragedi yang dibungkus
dalam sebuah komedi sehingga bersifat parodi. Bukan menjadi hal yang aneh
apabila muatan satir tersebut memiliki kejanggalan yang bisa menertawakan namun
memiliki makna memprihatinkan.
Intinya, pesan satir ini memang
dimaksudkan untuk menyakiti orang yang dituju, hanya saja dengan simbol-simbol dan
punchline-punchline yang kerap memiliki makna implisit. Karena itu, jika secara
eksplisit saya seolah “merendahkan” Muhammadiyah, maka sebetulnya secara
implisit saya sedang “menjatuhkan” NU. Saya
mempersoalkan pembenaran-pembenaran tokoh NU terkait pembakaran bendera
berkalimat tauhid itu seperti tidak serius, bahkan cenderung dijadikan guyon-guyonan.
Masak bendera bendera berkalimat tauhid dibakar dengan alasan
tercecer di tanah? masak bendera itu dibakar sama dengan pemurnian kalimat tauhid? Terus NU bilang Muhammadiyah dan MUI jangan bikin resah masyarakat. NU sedang guyon apa gimana. Selama ini yang sering bikin resah itu mereka, malah nyalahin Muhammadiyah dan MUI. Nah ini yang hendak saya sampaikan.
Karena itu pesan utama saya dalam
artikel itu adalah makna implisitnya. Tapi kalau anda menangkap makna
eksplisitnya, saya harus kembali menegaskan bahwa anda manusia kurang piknik,
mainnya kurang jauh, tidurnya kurang malam.
Jadi kalau anda mempersoalkan artikel saya, itu persoalan anda bukan persoalan saya. Siapa suruh jarang baca buku, wleek! :p
Jadi kalau anda mempersoalkan artikel saya, itu persoalan anda bukan persoalan saya. Siapa suruh jarang baca buku, wleek! :p
Post a Comment