Akal dalam Tradisi Ushul Fikih
Sore tadi saya diskusi dengan dua
orang adik kelas yang sekarang jadi mahasiswa filsafat di salah satu perguruan
tinggi negeri di Yogyakarta. Sebagai mahasiswa tahun perdana dan kuliah di
jurusan filsafat, sangat memalukan bagi keduanya bila tidak pamer bersikap
skeptik tentang eksistensi Tuhan. Dengan penuh semangat mereka menyimpulkan
bahwa orang beragama akalnya terkungkung oleh nalar-nalar Tuhan. Mereka seperti
tidak memiliki tradisi berpikir yang baik karena memiliki pegangan berupa kitab
suci yang anti-kritik. Keyakinan, bagi mereka, adalah sesuatu yang melemahkan
akal sehingga harus dibabat dengan meragukan segala sesuatu.
Melihat semangat mereka sebagai
mahasiswa yang baru belajar filsafat tentu dalam hati saya tertawa geli, tapi
tidak dinampakan demi menghormati semangat mereka mencari kebenaran. Saya pernah
berada di posisi kedua teman saya itu ketika membaca artikel-artikel liar di
internet secara otodidak. Bahkan mungkin lebih parah dari mereka berdua yang “hanya”
baru meragukan Tuhan. Perbedaannya adalah saya bukan mahasiswa filsafat, tapi
minat saya terhadap disiplin ilmu ini begitu tinggi sehingga sedikit-sedikit
tahulah bagaimana tabiat norak orang yang baru belajar filsafat.
Tidak semua pandangan keduanya
saya koreksi karena dua alasan: pertama,
agar mereka mencari tahu sendiri. Kedua, saya
belum cukup mantap menguasai tema yang diangkat seperti teori evolusi, cerita Nabi
Adam, dan lain-lain. Sub-tema yang saya pandang paling fundamental untuk
dikoreksi adalah tentang akal dalam tradisi berpikir para ulama, khususnya ushul
fikih, yang menurut keduanya terlalu tekstualis, menafikan fungsi akal.
Kemudian saya tanya mereka, “apa
kalian sudah baca kitab Ibthal al-Qiyas
wa al-Ra’yu wa al-Taqlid wa al-Ta’lil karya Ibn Hazm yang kamu sebut sebagai
ulama yang menafikan akal?”
“Belum.”
“Apakah Ibn Hazm menulis kitab
itu tanpa memakai akal?”
Hening. Tiada jawaban.
Kata “akal” secara resmi telah
dipakai dalam bahasa Indonesia. Kata tersebut berasal dari bahasa Arab, yakni al-aql, yang berarti memahami,
menghayati, merenung. Ibn Mandzur dalam Lisan
al-‘Arab menjelaskan bahwa al-aql berarti
menahan. Derivasi dari mufradat ini
melahirkan sebuah konsep bahwa seseorang dikatakan berakal jika mampu menahan hawa nafsunya. Karena itulah para ulama
menyebutkan bahwa peran akal memiliki tiga bentuk, yaitu: membimbing pemahaman,
memberikan persepsi, dan melakukan pengamatan.
Menurut Yusuf Qardlawi, al-Quran
memberikan penghargaan kepada mereka yang menggunakan akalnya, dengan penyebutan
khusus; ulul-albab, ulul-‘ilm, ulul-abshar, dan ulun-nuha.
Oleh sebab itu, berakal atau mempunyai akal, di samping baligh, menjadi syarat
sah diterimanya suatu ibadah dalam Islam.
Dalam tradisi ushul fikih, peran
akal secara signifikan terlihat dalam aktivitas ijtihad yang dilakukan para
ulama. Penggunaan akal telah berhasil melahirkan beragam metode ijtihad. Terbaginya
hukum Islam menjadi naqli dan aqli menjadi bukti shahih bahwa Islam
menempatkan posisi akal di dua tempat yang strategis. Pertama, akal sebagai jembatan dan pengarah dalam melahirkan hukum
Islam, dan kedua, akal berperan
sebagai mesin dalam mengkonstruksi teori-teori ushuliyyah. Melihat kitab-kitab fikih yang ditulis para ulama, yang
tebalnya bisa hampir dua meter, disandingkan dengan wahyu yang mendasarinya
hanya berjumlah ratusan halaman saja, tentu menjadi bukti betapa peran akal
begitu penting dalam melahirkan suatu hukum.
Penggunaan akal dalam aktivitas
dialektika fikih memang bukanlah kegiatan baru, Syafi’iyyah, Mu’tazilah, Hanafiyyah,
Zhahiriyyah, dan lain-lain merupakan intelektual sejarah yang menjadikan ushul fikih
sebagai pusat teoritisasi aktivitas praksis, teoritisasi perbuatan, logika
perlaku, serta metodologi pembacaan, dan pengambilan hukum dari nash. Hal tersebut sangat lumrah, sebab
ketika Nabi Muhammad wafat, sumber material utama hukum Islam tidak mungkin
dapat diproduksi kembali, tidak bisa ditambah atau dikurang, sehingga akal memainkan
peranan penting saat al-Quran dan Hadis tidak membicarakan satu persoalan
hukum.
Setelah saya menjelaskan akal
dalam tradisi ushul fikih (tidak semua saya tulis di sini karena simpel saja:
malas), kedua teman saya begitu takjub dengan para ulama yang sedemikian dalam
membahas persoalan peranan akal, padahal itu baru dilihat dari aspek ushul
fikih sahaja. Dalam aspek filsafat dan ilmu kalam jauh lebih canggih lagi. Namun
karena kopi yang kami pesan telah habis, sehingga kami mengakhiri diskusi sore
itu dengan kalimat pamungkas dari saya:
“Yuk main yuk.”
Post a Comment