Sastra Islam Nusantara
Datangnya Islam ke Indonesia tidak menyumbang bangunan
berupa candi atau patung, melainkan memberikan sistem berpikir. Karena sistem
berpikir inilah orang Nusantara mau menganut Islam secara sukarela tanpa pertumpahan
darah. Keyakinan akan paham animisme dan dinamisme dipukul rata oleh sistem
berpikir Islam yang titik fokusnya menjauhkan hal-hal mistik dari realitas.
Sumbangan yang datang dari sastra Islam inilah yang menurut saya kado terbaik
untuk publik nusantara.
Kita kenal Hamzah Fansuri seorang tokoh intelektual dan
kerohanian terkemuka pada zamannya. Pun demikian dengan Chik Pante Kulu yang
karyanya Hikayat Perang Sabil bisa
menjadi inspirasi bagi orang Aceh untuk mengusir penjajah Belanda. Demikian
pula pujangga Ronggowarsito dengan Serat
Kalatida-nya yang melukiskan kehidupan manusia ‘zaman edan’ yang isinya
masih relevan untuk kita renungkan hingga saat ini.
Apabila diperhatikan, karya para pujangga masa lalu itu telah
memperluas wacana keislaman dengan bahasa yang estetis. Andai sastra terus
bersentuhan dengan wacana keislaman, tak pelak lagi sastra akan menjadi
mikrofon bagi suara perjuangan menuju ridha Allah. Sebagai pendukung kebudayaan
Islam, sastra perlu diberi tempat dan perhatian khusus yang tidak kalah dengan
ilmu-ilmu lainnya. Sebab bagaimanapun karya sastra
Islam telah memberikan sumbangan berharga bagi perkembangan dunia sastra
Indonesia, terutama dalam aspek isinya. Sumbangan itu akan terus bertambah
apabila sastra Islam tersebut dikaji dan dipelajari.
Akan tetapi, lesunya kajian filologi di Indonesia dewasa ini
mungkin merupakan salah satu penyebab mengapa karya sastrawan sufi Nusantara
belum banyak diteliti dan dikaji. Hal demikian kemudian diperparah oleh
kebijakan pendidikan kita yang tidak memberi ruang perhatian serius terhadap
pelajaran sejarah kebudayaan dan tradisi intelektual bangsanya sendiri. Padahal
karya sastra yang cemerlang akan memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap
pola pikir masyarakat secara luas.
Post a Comment