Muhammad ‘Abduh dan Ahmad Dahlan
Ada beberapa cendekia muslim
maupun sejarawan yang meragukan keterpengaruhan Muhammad ‘Abduh terhadap
gerakan Muhammadiyah khususnya pemikiran Ahmad Dahlan. Mereka berpendapat bahwa
kendati pun ‘Abduh adalah salah satu tokoh utama dalam arus pembaharuan dunia
Islam abad 19, boleh jadi Dahlan dipengaruhi oleh faktor-faktor lain.
Saya mengira keraguan mereka
terhadap hipotesa yang berkembang selama ini secara diam-diam hanya untuk
menunjukan bahwa Ahmad Dahlan secara pemikiran lebih dekat kepada Abdullah bin
Abdil Wahab daripada Muhammad ‘Abduh.
Salah satu peneliti yang mencoba
untuk menyanggah anggapan adanya pengaruh ‘Abduh dalam alam pikir Dahlan adalah
Alfian. Dalam sebuah artikel yang berjudul The
Muhammadiyah, Alfian berpendapat bahwa Dahlan dan ‘Abduh berada dalam
konteks sosial politik yang benar-benar berbeda. Menurutnya, Dahlan dilahirkan
di dalam sebuah masyarakat yang peran Islamnya jauh lebih kecil dibandingkan
dengan Mesir. Singkatnya, pemikiran ‘Abduh secara kontekstual hanya dapat
diterapkan di masyarakat yang peran Islamnya lebih besar daripadi budaya lokal.
Yogyakarta, sebagaimana kita tahu, pengaruh budaya Jawa begitu kuat memengaruhi
pandangan masyarakatnya, sehingga pemikiran ‘Abduh tentang perlunya purifikasi dalam
ajaran Islam rasa-rasanya mustahil diterapkan.
Walaupun saya kurang setuju
dengan asumsi di atas, alhamdulilah, saya membaca artikel Alfian yang
diterbitkan di University of California tahun 1966 ini tidak menemukan
pandangan yang mencoba untuk menghubung-hubungkan dan mencocok-cocokan gerakan
Muhammadiyah dengan sekte Wahabi. Kendati begitu, ada beberapa hal dari pandangan
Alfian yang memang perlu diluruskan.
Muhammad ‘Abduh merupakan pelopor
gerakan pembaharu di dunia Islam dengan tujuan ganda sekaligus: memurnikan
ajaran Islam dari bidah dan khurafat, dan melawan dominasi Barat. Walau pun ‘Abduh
menggunakan bendera Salafisme sebagai kampanye intelektualnya, namun jangan pula
disamakan dengan gerakan salafi versi Wahabi, sebab salafisme yang dikomandoi Abduh
merupakan respon intelektual atas kolonialisme Eropa dan keterbelakangan dunia
Islam di abad modern.
Di dalam buku Membendung Arus yang ditulis Alwi Shihab
menerangkan bahwa pada abad ke 18 sebelum masuknya pembaharuan Islam di
Indonesia, dua disiplin Islam yang mendominasi pusat-pusat pendidikan Islam di
Nusantara adalah mistitisme dan fikih mazhab Syafi’i. Kedua disiplin Islam itu
sama sekali tidak mampu membendung masuknya praktik budaya lokal ke dalam ajaran
Islam, juga tidak mampu melawan dominasi kolonialisme Belanda di Indonesia.
Munculnya pemikiran Muhammad ‘Abduh
dalam wujud Ahmad Dahlan menandai jatuhnya posisi dominan aliran mistik seperti
bidah dan khurafat dalam Islam di Indonesia, sekaligus perlawanan terhadap
kolonial Belanda dengan cara non-konfrontatif seperti pengembangan mutu pendidikan.
Sederhananya, Ahmad Dahlan menganggap pemikiran Muhammad ‘Abduh merupakan obat
paling mujarab untuk menyembuhkan penyakit yang diderita oleh umat Islam
Indonesia.
Menurut Deliar Noer dalam The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942,
masuknya gagasan ‘Abduh ke dalam pemikiran Dahlan melalui majalah al-‘Urwah al-Wustqa dan al-Manar yang diselundupkan melalui
pos-pos rahasia. Isi kedua majalah itu secara umum menjelaskan tentang pentingnya
membersihkan ajaran Islam dari bidah dan khurafat, juga ajakan ‘Abduh kepada
masyarakat muslim agar tidak tertinggal dalam kompetisi mereka dengan
masyarakat Barat. Intinya kedua majalah itu menjadi bukti kekaguman Dahlan
terhadap tulisan-tulisan ‘Abduh.
Ada sebuah kisah menarik yang sering
diceritakan dalam mata kuliah Kemuhammadiyahan tentang betapa berartinya tafsir
al-Manar bagi Ahmad Dahlan. Saat
Ahmad Surkati (pendiri al-Irsyad) berada satu gerbong dengan Ahmad Dahlan,
duduk berhadap-hadapan, tetapi uniknya saat itu mereka tidak mengenal satu sama
lain. Menariknya adalah perkenalan mereka didorong atas hobi yang sama, yaitu:
membaca tafsir al-Manar karya
Muhammad ‘Abduh dan Rasyid Ridha. Pertemuan
itu akhirnya membuahkan ikrar bersama untuk bekerja menyebarkan gagasan-gagasan
‘Abduh di masyarakat masing-masing.
Hal menarik lain yang menunjukan
penghormatan Ahmad Dahlan pada sosok Muhammad ‘Abduh ialah dimasukannya
karya-karya ‘Abduh di dalam kurikulum sekolah-sekolah Muhammadiyah.
Pemikiran Dahlan memang didominasi
oleh ‘Abduh. Hal tersebut terlihat dari sikap gerakan Muhammadiyah dalam
politik tidak bersikap oposisional terhadap kemapanan. Dalam agenda pembaharuan
‘Abduh, seperti juga Dahlan, lebih memberikan perhatian lebih kepada
upaya-upaya memajukan aspek pendidikan ketimbang politik. Inilah alasan mengapa
gerakan Muhammadiyah dilakukan dengan cara non-konfrontatif dengan kekuasaan
kolonial, agar misi pembaharuan mereka dapat disebarluaskan secara bebas
melalui pendidikan.
Dari uraian singkat di atas telah
menunjukan bahwa pengaruh Muhammad ‘Abduh dalam gerakan Muhammadiyah khususnya pemikiran
Ahmad Dahlan begitu kuat. Walau pun konteks sosial masyarakat antara Jawa dan
Mesir berbeda, akan tetapi fakta sejarah telah menunjukan bahwa pemikiran ‘Abduh
dipandang perlu untuk mengusir bidah dan khurafat dari ajaran Islam, juga
diperlukan untuk mengusir kolonial Belanda dari negara Indonesia.
Post a Comment