Asrama Sibawaih
Penghuni asrama Sibawaih 2011-2012 |
Dulu pesantren saya menamai
asrama-asrama dengan nama-nama tokoh besar yang pernah hidup di panggung
sejarah perabadan Islam, di antaranya: Imam Syafi’i, Ibn Thufail, Ibn Taimiyah,
Sibawaih, dan lain-lain. Tanpa tahu siapa yang pertama punya ide memakai nama
tokoh-tokoh Islam untuk menamai sebuah asrama, sesungguhnya saya paham hal
tersebut dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada mereka, sekaligus agar
kita para santri menafakuri betapa tokoh-tokoh itu berjasa besar dalam
pengembangan ilmu pengetahuan Islam.
Imam Syafi’i (w. 820) disebut-sebut
sebagai peletak dasar jurisprudensi Islam. Ibn Thufayl (w. 1185) ahli filsafat
Islam dari Andalusia. Ibn Taimiyah (w. 1328) ulama kumplit yang bahkan dijuluki
“Syaikhul Islam”. Dan satu lagi, Imam Sibawayh (w. 793) ahli gramatikal Arab
dari Persia.
Keempat nama itu dipakai untuk
menamai asrama, namun sayangnya saat itu saya samasekali tidak menafakuri
bagaimana perjuangan mereka menyusun kanon-kanon tebal, atau memikirkan mengapa
nama mereka paling bertahan dalam sejarah Islam yang begitu kompleks. Kita tidak
sampai memikirkan itu, itu terlalu jauh, karena yang kita pikirkan saat itu semacam
pragmatisme transendental: asrama mana yang paling enak untuk tidur, kabur, dan
merokok.
Delapan dari sepuluh santri akan
menjawab asrama Sibawaih. Dari sudut pandang mana pun asrama ini memang begitu
cocok untuk ditinggali. Tidak seperti asrama Syafi’i yang telalu eksklusif,
atau asrama Ibn Taimiyah yang terlalu inklusif, struktur arsitektur asrama
Sibawaih seperti menggabungkan dua unsur peradaban timur yang spiritualistik
dan barat yang materialistik (saya ngarang aja ini haha).
Keunikan ini terangkum dalam
bentuk taman rindang yang tepat berada di tengah-tengah asrama. Taman tersebut selain
berfungsi sebagai pembuka sekat interaksi antar individu tetapi juga memungkinkan
adanya interaksi antara cahaya matahari dan bayangan. Kehadiran taman itu juga
membuat sirkulasi udara segar dan asap rokok semakin lancar sehingga menjadi
tempat interaksi paling aman dan damai bagi dua kelompok yang konon saling
bermusuhan: perokok aktif dan pasif.
Letak geografis asrama Sibawaih
juga sangat strategis. Kestrategisan ini terpotret dari tata ruang yang memungkinkan
para santri dapat kabur dengan leluasa tanpa harus takut ketahuan pengurus. Kabur
dalam dunia pesantren merupakan tindakan kriminal yang pelakunya dapat diganjar
hukuman minimum berupa potong rambut secara acak, hingga vonis maksimal berupa potong
rambut sampai kepala plontos seumur hidup.
Karena itu keuntungan bernaung di
asrama Sibawaih, kamu boleh datang dan pergi sesuka hatimu, dengan tenang, tak
perlu risau, karena saat kamu kabur dari pondok, hanya Allah semata yang tahu. Hanya
Allah.
Areal asrama Sibawaih juga kaya
akan buah-buahan milik kiai. Rambutan, mangga, kelapa, dan kayu jati. Walau pun
kalau kita minta buah-buahan itu pada kiai bakal dikasih, tapi lantaran malu
dan sungkan, serta ketamakan dan keserakahan, kita pakai cara-cara tradisional yang
biasa dilakukan santri-santri ortodoks: mencuri buah milik kiai.
Begitu melimpah buah miliki kiai,
namun karena keterbatasan teknis dalam pelaksanaannya, akhirnya kita
memanfaatkan kaidah ushul fikih yang berbunyi: ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu, jika tidak bisa meraih
semuanya, jangan tinggalkan semuanya. Artinya, ambilah
buah-buahan kiai sedapatnya dan sebisa mungkin, bila buah-buah yang segar itu
tidak dapat diamankan (dicuri) seluruhnya. Hehehe.
Kalau tertangkap tangan kedapatan mencuri buah, jauh-jauh kita sudah menyiapkan jawabannya dari kaidah ushul fikih yang paling digemari kebanyakan orang: adl-dlarurah tubihul-mahdhurah, keadaan darurat memungkinkan dihalalkannya apa yang dilarang.
Kalau tertangkap tangan kedapatan mencuri buah, jauh-jauh kita sudah menyiapkan jawabannya dari kaidah ushul fikih yang paling digemari kebanyakan orang: adl-dlarurah tubihul-mahdhurah, keadaan darurat memungkinkan dihalalkannya apa yang dilarang.
Selain dampak negatif di atas,
kestrategisan asrama Sibawaih juga memberi kontribusi positif. Hal tersebut
saya rasakan sendiri dengan mengacu pada intesitas berjamaah dan pengajian yang
saya lakukan lebih rajin dibanding saat berdiam di asrama Syafi’i.
Itulah keunggulan asrama
Sibawaih. Jadi, ketika ada orang yang bercerita seputar biografi Imam Sibawaih,
yang saya bayangkan adalah asrama itu, bukan sosok perintis ilmu nahwu yang
menulis kitab judulnya “al-Kitab”. Saya yakin teman saya juga demikian, sebab
sulit menghilangkan memori kolektif ini yang didalamnya tersimpan kisah kejayaan,
kegemilangan, dan penderitaan saat berada di asrama Sibawaih.
Post a Comment