Mendeteksi Hoax dengan Pola Kritik Matan Ibnu al-Jauzi



Sabtu kemarin (3/11) saya diminta ust. Qaem Aula Syahid untuk menggntikan beliau mengisi pengajian di Masjid An-Nur. Tawaran itu awalnya saya tolak karena dua pertimbangan; pertama, saya takut jamaah membandingkan saya dengan beliau yang secara keilmuan dan kepribadian akhlak jauh dibanding saya yang seorang mantan kriminal kelas pondok. Kedua, saya takut menurunkan kualitas pengajian yang sudah dirancang sedemikian bagus dengan standar minimal yang lumayan tinggi.

Tapi tawaran ust Qo, begitu beliau disapa, akhirnya saya kabulkan karena saya pikir mendapat kepercayaan dari orang yang saya kagumi merupakan bentuk penghormatan, saya tidak boleh mengecewakan beliau. Alhamdulilah amanah dari ust Qo saya jalankan dengan baik, walau saya tidak tahu bagaimana respon masyarakat setelah pengajian dari saya.

Hari ini kekaguman saya pada beliau bertambah setelah menengok status yang beliau tulis. Hanya dengan satu hadis maudhu’ saja, ust. Qo mampu menyiptakan narasi yang begitu padat dan sangat kontekstualable dengan kondisi sekarang. Narasi seperti ini tidak mungkin ditulis oleh orang dengan kapasitas ilmu yang masih mentah. Perlu perenungan dari orang yang memang telah lama akrab dengan ilmu hadis, dan teori integrasi dan interkoneksinya Prof. Syamsul Anwar.

Dengan segenap basa basi di atas, izinkan saya mengeshare tulisan antum, ust. Qo. Oh iya, FYI, malam jumat nanti (8/11) ba’da maghrib ust Qo biasa mengisi kajian rutin kitab Kayfa Nata’aamal ma’a al-Sunnah di masjid al-Furqan. Silakan dihadiri dengan gembira.

Seperti ini status facebooknya:

Mendeteksi Hoax dengan pola Kritik matan Ibnu al-Jauzi

"Janganlah kalian memaki ayam jantan, karena ia adalah temanku. Seandainya manusia tahu nilai suaranya, mereka pasti akan membeli bulu dan dagingnya walaupun dengan emas."

Di atas adalah salah satu contoh hadis maudhu yang ditulis oleh Ibnu al-Jauzi dalam kitabnya al-Maudhu'at. Tolak ukur yang dipergunakan oleh Ibnu al-Jauzi adalah kaidah kritik substansi matan, bahwa kandungan hadis tidak mungkin memuat sesuatu yang sangat berlawanan dengan karakteristik ucapan Sang Nabi yang luhur dan mulia. Berkaca dari tolak ukur ini, sehingga hadis di atas ditetapkan palsu karena tersurat makna tercela dan sarat kepentingan penjual ayam.

Beberapa pelajaran sederhana yang bisa kita ambil dari hadis maudhu ini kaitannya dengan hoax, salah satu di antaranya, kita bisa memeriksa sebuah informasi apakah benar atau tidak, dengan mengkonfirmasikan kepada sumber berita itu, seperti yang dilakukan oleh Ibnu al-Jauzi di atas.

Untuk itu, hendaknya kita berhati-hati untuk menyebarkan berbagai info yang dinisbatkan pada tokoh-tokoh tertentu, apalagi kita banyak menemukan tulisan-tulisan whatsapp dengan kutipan "perkataan Pak Din Syamsuddin", "Nasihat Buya Hamka", "Ajakan Habib Rizieq", "Bantahan Gus Mus", dan berbagai macam penisbatan lainnya.

Cara awal mendeteksinya, jika berkaca pada cara Ibnu al-Jauzi di atas, yaitu membandingkan konten tulisan tersebut dengan figur tokoh yang dianggap sumber perkataan tersebut.

Jika kontennya sarat dengan nada provokatif padahal figur yang dituju adalah orang yang sangat berhati-hati, mengedepankan Husnuzhan, lebih sering mengangkat isu-isu persatuan, maka infonya sangat perlu diteliti lebih jauh.

Dengan melakukan hal ini, setidaknya kita terhindar dari: (1) gegabah menerima dan menyebarkan berita yang belum tentu kebenarannya, (2) tidak ikut dalam bagian "fitnah berantai" atas tokoh yang dicuplik jika ternyata itu bukan perkataan beliau, (3) mencegah tersebarnya hoax-hoax dan (4) secara tidak langsung meredam titik-titik api yang bisa tersulut menjadi cacian, makian, prasangka buruk hingga perpecahan.

Jangan sampai, hanya karena kita kurang cermat memeriksa, lalu menyebarkan berita tidak benar, ada orang yang akhirnya berkata "iyaa.. emang dasar dia kyai penjilat", atau "ulama apa itu? maunya cuma memecah belah NKRI".

Wallahu a'lam.

No comments