Al-Ghazali (w. 1111) Sang Pembela Status Quo!



Setelah baca status ust Ayub Elmarhoum atau Ayub Daud, saya kembali mengingat waktu menulis skripsi di bagian bab 4 halaman 63 posisi kanan atas. Waktu saya membaca beberapa biografi tentang al-Ghazali sebagai referensi, sempat saya berpikir ulama sejenius beliau kok bisa-bisanya membela status quo dan memuji pemerintah pada masanya. Al-Ghazali dalam salah satu karyanya misalnya pernah bilang bahwa Khalifah al-Mustzahir adalah khalifah terbaeqqq yang pernah ada. Tak hanya itu, beliau kadang menjadi tokoh yang melegitimasi setiap kebijakan penguasa.

Tapi kalau kita tidak melihat konteks yang dihadapi al-Ghazali, mungkin kita bisa tersesat menyamakan beliau dengan Ngabalin atau Ruhut Sitompul. Pujiannya pada khalifah al-Mustazhir yang dilantik di usia remaja (sekitar 17 tahun) bukan untuk mempertahankan jabatannya sebagai rektor di Nizhamiyyah, melainkan sebagai bentuk pembelaan intelektual terhadap serangan kelompok Bathiniyyah yang tidak mengakui penguasa politik selain dari “Imam makshum” keturunan Ali bin Abi Thalib. Selain itu, Kekhilafahan Abbasiyah pada waktu itu memang sedang melemah sehingga pelaksanaan kekuasaan sepenuhnya ada di Sultan Saljuk.

Kelompok Bathiniyyah yang bergerak dengan nama Hasyasyin (Assassin) ini merupakan otak di balik pembunuhan sejumlah tokoh penting di masa al-Ghazali, misalnya: Nizam al-Muluk dan Sultan Maliksyah. Setelah terjadinya pembunuhan brutal tersebut, disertai dengan rentetan ancaman yang ditujukan kepada pemimpin agama dan Negara, Khalifah al-Mustazhir meminta al-Ghazali untuk menulis kritikan terhadap golongan Bathiniyyah. Tulisan al-Ghazali yang berjudul Fadhaih al-Bathiniyyah wa Fadhail al-Mustazhiriyyah (kebobrokan aliran Baitiniyah dan keutamaan khalifah al-Mustazhir) ini kemudian disambut dengan positif karena kecapakan intelektual dan kehendak publik.

Setelah al-Ghazali menghujam kritik, penetrasi Bathiniyyah mulai menyusut, yang ada hanya kritikan biasa terhadap karya al-Ghazali tersebut dan tidak ada lagi surat kaleng ancaman pembunuhan terhadap para pemimpin agama dan negara. Hal tersebut dibuktikan karena dua hal menurut (saya lupa namanya, maaf, nanti dicari lagi): pertama, khalifah al-Mustazhir langgeng berkuasa selama 25 tahun; kedua, hubungan Kesultanan Saljuk dan Kekhilafahan Abbasiyah terjalin harmonis karena diikat oleh “nasionalisme” Sunni dan merasa punya musuh bersama yaitu “radikalisme” Syiah.

Al-Bathiniyyah merupakan kelompok radikal yang berusaha mengganti seluruh instrument Kekhilafahan Abasiyah. Bagi mereka, segala kebobrokan Abasiyah bisa ditangani cukup dengan satu solusinya: Khilafah Imamah. Jika Anda seorang nasionalis sejati, mungkin pengalaman al-Ghazali ini bisa jadi justifikasi historis untuk membuat status facebook dengan judul “Fadhaih Hizbu al-Tahrir wa Fadhail al-Jukuwiyyah”.

(Nanti akan lebih panjang dan detail untuk santricendekia[dot]com kalau sudah punya laptop!)



No comments