Episode I: Mengapa masuk pesantren ? PENJARA!
Oke,
sebenarnya menceritakan suatu kecelakaan sejarah ini sangat menyadihkan bagi
saya. Karena, seperti halnya dalam kasus hukum, antara das sein dan das sollen
tidak selalu berjalan bersama. Apa yang dikatakan das sein belum tentu secara
das sollennya seperti itu.. jadi, apa yang saya inginkan tidak seperti realita
yang tejadi. Saya ingin makan nasi tapi dikasih semen hahahaha saya ingin semen
malah dikasih kerikil. Menyedihkan. Serem. Kampret.
Saya ingin
masuk sekolah negeri, malah dimasukin sekolah berbasis pesantren (boarding
school). Dan perlu kalian ketahui bersama, bahwa keputusan saya masuk pesantren
ini adalah keputusan sepihak. Sangat merugikan! Mungkin orang tua saya nggak
belajar ushul fiqh, dimana dalam kaidah ushul yang dititik beratkan adalah
tidak ada yang dimudlaratkan dan mengedepankan maslahah mursala haha. Bener
nggak ?? Dalam kasus ini jelas tidak ada maslahah mursala dan begitu banyak
yang dimudlaratkan hahaha
Oke, dimulai
saja, daripada saya terus-terusan menyalahkan orang tua, kan dosa. Maaf Mak!
Pak! Kalian memang durhaka hahaha mecebloskan saya ke penjara batin! Membuang
saya ke tempat dimana demokrasi adalah kemustahilan dan melemparkan saya ke
pekarangan serigala yang buas, menapikan nilai-nilai kemanusiaan. Sehingga saya
nggak bisa merasakan bagaimana hidup hedonis itu hahaha (jangan ditanggapi
serius men)
Kedua Orang Tua saya sebelum berangkat ke Baitullah tahun 2013 M |
Jadi ceritanya
begini, Bapak saya menginginkan salah satu dari anaknya yang berjumlah delapan
orang itu, menjadi seorang ahli agama atau ‘Ulama. Entah setan berkelamin apa
yang masuk ke dalam pikiran Bapak saya, entah iblis jenis apa yang mempengaruhi
Bapak saya. Tapi yang pasti dia
menginginkan yang terbaik bagi anaknya. Thanks Pak! Cita-citanya mulia. Tapi
anda salah dan saya nggak bisa membantah. Nggak ada demokrasi dalam keluarga
saya! Apa yang dikatakan ‘diktator’, saya harus mengikutinya, kalo nggak, bisa
mati! Hahahaha
Karena nggak
ada demokrasi, maka Bapak saya sangat jarang mendengarkan keluhan rakyatnya.
Dia menyuruh mandi, maka kami harus mandi. Dia menyuruh untuk belajar, kami
belajar. Dia menyuruh ngaji, maka kami ngaji dan dia menyuruh merokok, kami
dapat tamparan yang keras di pipi kanan dan kiri Men! hahaha intinya, Bapak
kami yang sangat cintai itu nggak pernah menyuruh sesuatu yang buruk, tercela
dan nggak bagus baik bagi kesehatan.
Sang Diktator Keluarga, H. Iim Ibrahim |
Nah, dari
sinilah saya mulai berpikir dengan sangat mendalam, merenung di kamar seharian,
memandang masa depan dan menimbang antara baik dan buruknya saya masuk
pesantren. Akhirnya saya putuskan ketika itu untuk MENOLAK!
Dalam
perenungan saya itu, alam pikiran saya lari ke istilah revolusi men hahaha saya
nggak mau seperti proletar yang terus dijajah secara fisik dan psikis bahkan
materi oleh para kapitalis, saya nggak mau seperti rakyat yang tak berdosa
ditindas oleh penguasa yang dzalim. Yang saya inginkan adalah apa yang saya
harapkan hahaha. Egosi juga ternyata.
Ketika saya
melakukan perlawanan untuk revolusi dan berusaha mendapatkan hak kemerdekaan,
sesuatu yang mengerikan pun terjadi secara alami. Bentrok antara Saya dan
‘aparat’ orang tua tidak bisa dihindarkan. Serem. Lalu saya bawa toa, melakukan
orasi di depan kamar Bapak. Hahaha
“Bebaskan
hak kami. Kami butuh perikemanusiaan bukan perikehewanan bukan pula peri
ketuyulan.”
Sekali lagi,
Sesuatu yang tidak saya harapkan pun terjadi. Ada seorang relawan yang
mengikuti dan mengulangi perkataan saya. Relawan saya ini adalah adik saya,
Ilyas Ibrahim. Karena senasib. Bagus. Memang kita harus melakukan revolusi
hahaha.
Si Ilyas
bawa banner dengan tulisan “Naikan uang jajan kami.” Sangat Bodoh! Hahaha lalu
dia bawa gitar dan bernyayi “Penguasa.. penguasa.. berilah hambamu uang..”
dipikir-pikir, adik saya yang satu ini sangat tolol yak ? hahaha
Hanya
beberapa menit melakukan unjuk rasa, permintaan si Ilyas dikabulkan lalu dia meninggalkan
saya sendirian yang tengah berjuang menegakan demokrasi. “aku pikir, demokrasi
itu ilusi.” Ilyas dikabulkan, saya nggak ? wah ternyata Bapak saya telah
mengkhianati ajaran pokok dari Pancasila Boss! Mulai dari nggak ada
kemanusiaan, nggak musyawarah dan nggak berperi keadilan lagi kepada rakyatnya. Separatis
kaffah juga bapak saya itu yak hahaha
Adik saya Ilyas dan Bapak |
Pesan
revolusi dari dalam diri saya pun punah luluh lantah, revolusi gagal total.
Disamping kekurangan massa, saya juga kekurangan materi untuk bisa meyakinkan
orang tua kalo saya itu nggak cocok masuk dunia pesantren.
“Pak, nggak
mau masuk pesantren.” kata saya
“Oke, kalo
kamu nggak masuk pesantren, mending ikut Bapak ke Sumatra nyari uang atau kalo
kamu mau dan masih kekeh ke sekolah
itu, pake uang sendiri.”
Yeaaah
Skakmat! Mau tidak mau saya harus mau, suka tidak suka saya harus suka, enak
tidak enak harus dimakan, bahagia atau tidak bahagia, itu mah urusan nanti dan
yang pasti nggak akan pernah bahagia kayaknya L hahaha
Oke,
akhirnya gugatan saya kepada orang tua tidak dikabulkan karena bukti dan semua
saksi kurang kuat untuk bisa meyakinkan mereka kalo saya itu nggak cocok hidup
di dunia pesantren yang penuh dengan dialektika dan pertentangan kelas hahaha
Tidak lama
kemudian, sidang gugatan saya menghasilkan beberapa kesimpulan, diantaranya:
1. Masuk ke Pesantren Salaf.
Jelas! Ini nggak bisa saya terima. Bayangkan, masuk pesantren salaf itu
bagi saya seperti makan sayuran hijau. Kalian tau ? saya nggak suka dengan
sayur! Artinya, bagi saya memilih pesantren itu seperti makanan. Yaa makanan
itu harus sesuai lidah, makanan itu harus sesuai dengan selera, karena selera
nggak pernah bohong. Apa kalian pernah dibohongi oleh selera kalian ? saya kira
belum pernah yak ? kalo pernah dibohongi oleh selera, berarti hidup kalian
tidak berselera hahaha. Alhamdulilah, masuk pesantren non salaf pun dikabulkan
oleh hakim yaitu Bapak saya hahaha
2. Menjadikan Saya Ulama.
Oh Shit! ini keputusan sepihak dan saya yang paling dirugikan. Bagaimana tidak,
sejak kelas 3 SMP cita-cita saya jadi Presiden bukan Ulama dan saya tidak
pernah mempunyai pemikiran atau minat yang sangat besar untuk jadi Ulama! Sudah
saya katakan, entah setan berkelamin apa yang masuk ke hati sanubari orang tua
saya. Tapi, setelah saya merenung selama 3 hari, saya yakin, bahkan sangat
yakin, bukan setan yang masuk ke dalam hati orang tua saya tapi hidayah Allah
yang paling berharga. “Ulama adalah pewaris para Nabi” begitu firman-Nya. Dalam
perenungan saya itu, terbesit sebuah kata yang pernah diucapkan Ayahanda
tercinta “Ulama itu seperti Dokter.” Saya berpikir, jelas sangat beda! Ulama yaa
ulama, dokter yaa dokter. Bahkan dokter lebih keren kan ? hahaha kalo ulama ?
harus berjenggot, bersarung, bawa-bawa kitab, bawa sajadah dan segala jenis
aksesoris keagamaan.
Oh tidak, sama sekali bukan seperti itu. Saya telah salah paham terhadap
ayahanda tercinta (maaf Pak hahaha). Mengapa Ulama seperti dokter ? karena
ulama harus menyembuhkan pasien yang terluka akibat arus pemikiran dari
berbagai pemikiran yang ada di dunia ini. Liberal kah, secular kah, kapitalisme
kah atau hedonis kah. Semua itu adalah tugas seorang “dokter” untuk menyembuhkan
pasiennya agar tidak jauh dari nilai-nilai keagamaan. Akhirnya, berkat
perenungan itu, bagi saya Ulama kembali terkesan keren haha dan yang pasti, saya
tidak lagi melihat ulama itu sebagai orang yang tidak berpengetahuan luas,
karena saya telah melihat dan membaca peran Ahmad Dahlan yang berkemajuan dalam
membangun Agama dan Negara hahaha.
3. Pasal no 1 diganti dengan masuk ke
Pesantren Modern.
Nah, karena memilih persantren itu seperti memilih makanan, maka saya
diberikan hak preriogatif oleh orang tua yaitu bisa memilih pesantren sesuai
dengan selera saya. Akhirnya, meskipun masuk pesantren bukanlah opsi terbaik
bagi saya tapi setidaknya pesantrennya itu memiliki pengetahuan yang modern,
nggak kolot, berkemajuan dan yang paling penting mengajarkan jiwa nasionalisme
hahaha. Saya berpikir, masuk pesantren yang berkemajuan itu bagi saya seperti makan
sayur dicampur santan hahaha. Meskipun saya tidak suka sayur tapi ada “nilai”
santannya yang lebih lezat hahaha!
Yeah! Saya resmi
mendaftar ke salah satu Pesantren modern di daerah priangan timur. Saya ikut
tes dan lulus. Terlihat dengan retina dan mata hati saya ketika memberikan
surat kelulusan kepada Ayahanda, dia begitu bahagia dan menyimpan harapan yang
besar kepada saya.
Hahaha
perjuangan membela hak mendapatkan pelajaran yang tak terhingga bagi saya. Saya
menulis catatan di buku harian (sayang sekali, buku hariannya hilang. Kampret
haha) “Dengan pergi ke Pesantren, saya dapat memperluas cakrawala mengenai
kehidupan dunia dan spiritual, menghancurkan batasan-batasan ruang pemikiran
sempit yang terus menggerogoti dan membodohi akal.” Bagi saya yang paling
penting agar manusia jauh lebih berkembang dan lebih menghargai karya-Nya,
memperdalam rasa syukur dan cinta, karena kita sebagai manusia hanyalah bagian
terkecil dari ciptaan Sang Penguasa Alam sehingga menyerahkan semua urusan
dunia kepada-Nya. karena terlalu luas untuk kita genggam.
Berarti
benar menurut Alm. KH. Irfan Hielmy "Sejengkal
kenangan dan setetes ilmu yang diperoleh dari mondok akan membuka cakrawala
kehidupan sejati seorang santri saat mereka hidup di tengah-tengah ummat"
Hahaha Bersambung…
Haha ditunggu episode selanjutnya, mang. :D
ReplyDeleteEmang lu baca semuanya Bro ? :)
Deletebung lagunya judulnya apa? enakeun. mauuuu
ReplyDeletenggak tau, ciptaan si Tile Bung..
Deletelagu mana?
ReplyDelete