Pengalaman Bersama IPM


Suasana kuliah hari ini benar-benar membosankan. Sangat membosangkan. Dosen dengan enaknya berceloteh sampai mulutnya membudah, sementara mahasiswanya sibuk dengan kepentingan diri sendiri. Ada yang sedang transaksi jual-beli online, ada yang sedang chatting dengan pacarnya. Sebagai jomblo ngenest, ada pula yang sedang memikirkan sesuatu yang liar dan itu saya.

Keliaran saya dalam berpikir berujung mesum. Ah sial! Angel Karamoy lagi. Tapi beruntung ada semilir angin berhembus dari jendela masuk dengan gagah ke ruang kelas. Saya merasakan angin itu begitu dahsyat membawa hawa segar. Alhasil, entah kenapa pikiran mesum pun berganti dengan ingatan ketika duduk di bangku SMP, yaitu saat saya masih aktif dalam organisasi Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) cabang Cibiuk, Kab. Garut.

Sekitar bulan Desember tahun 2008 atau tepat saat saya duduk di kelas VIII, Pimpinan Daerah IPM Garut mengadakan sebuah acara yang dinamai dengan “Kampung Kader” di daerah Kec. Bayongbong, Kab. Garut. Para peserta dari acara itu adalah perwakilan dari setiap cabang dengan maksimal lima orang wakil. Ayep Miftah dan Ramli Rifa’I yang ketika itu menjabat sebagai Ketua dan Sekretaris Pimpinan Cabang IPM Cibiuk, menunjuk saya, Sunan Alqo, Hikmah Muhajir dan Rudy Salam sebagai delegasi dari IPM cabang Cibiuk.

Sebagai penikmat Indomie goreng, saya waktu itu kurang mengerti, mengapa harus kami yang membawa nama IPM cabang Cibiuk dalam event sedaerah Garut itu ? sebab, waktu itu Saya, Alqo dan Rudy kelas VIII, sedangkan Hikmah kelas VII. Padahal, jika melihat usia, ada banyak kader IPM yang jauh lebih tua dan lebih berpengalaman daripada empat orang bocah itu. Dan yang lebih janggal lagi, kenapa harus memilih Alqo dan Hikmah yang notabenenya adalah siswa SMP Negeri ? what a shit funny logic. Padahal, masih banyak kader IPM cabang Cibiuk yang bersekolah di sekolah-sekolah Muhammadiyah.

Ilham, Rudy dan Hikmah
Tanpa pikir panjang, kami berempat pun resmi menjadi perwakilan IPM cabang Cibiuk untuk mengikuti acara Kampung Kader yang diselenggarakan di kec. Bayongbong itu. Hal yang menarik lainnya adalah kita kesulitan mencari dana! Sebab, dalam persyaratannya itu tertulis wajib membawa beras dan membayar sejumlah uang tunai. Mana mungkin bocah sekeles kami berempat mempunyai uang segagah itu. Minta dari uang kas pun hasilnya menghawatirkan. Alhasil, kami mempunyai inisiatif untuk meminta dana kepada masyarakat atasnama “Muhammadiyah”.

Karena kampung kami, kp. Nagrak begitu loyal terhadap Muhammadiyah, maka segala sesuatu yang berkaitan dengan Muhammadiyah akan diterima begitu saja bahkan didukung penuh. Tentu saja ini keuntungan bagi kami yang sedang kesulitan mencari dana. Memanfaatkan moment ini dengan sebaik mungkin dan akhirnya dana terkumpul, tinggal persiapan pribadi untuk keberangkatan menuju lokasi di keesokan harinya.

Pagi buta menyelimuti kampung Nagrak yang sepi. Burung bernyanyi, ayam berkokok. Persiapan telah usai, keberangkatan pun tiba. Bak ksatria yang hendak dikirim ke medan perang, kami berempat pun diantar menuju gerbang. Keberuntungan kembali hadir. Mang Eutik dengan senang hati mengantarkan kami berempat menuju SMP Muhammadiyah 1 Garut, tempat berkumpulnya para peserta sebelum berangkat ke lokasi utama di MTS 1 Muhammadiyah Bayongbong.

Di dalam mobil, menurut saya terdapat pernyataan yang lumayan subtansial. Yaitu ketika mang Eutik menyatakan, ”kalian harus beruntung menjadi perwakilan Muhammadiyah Cibiuk. Perjuangan kakek kalian harus diteruskan.” Menurutnya, kakek saya dan Alqo yaitu KH. Sarbini, adalah tokoh Muhammadiyah Cibiuk bersama Kakek si Rudy yaitu KH. Engkos Kokasih. Begitu pula dengan Kakek si Hikmah, membawa nama besar Muhammadiyah di pundaknya yang kemudian dikembangkan di Cibiuk. Motivasi pun bertambah setelah mang Eutik mengatakan seperti itu. Kami pun semakin yakin untuk menjadi kader Muhammadiyah yang gigih dan loyal.

Tanpa terasa kita sudah sampai di SMP Muhammadiyah 1 Garut. Mang Eutik pergi meninggalkan sebuah nasihat agar kami berhati-hati dan menjaga kesehatan selama acara berlangsung. Di sekolah itu terlihat beberapa peserta yang sebagian besar dari Garut Utara sudah berkumpul. Karena kami masih mental SMP sedangkan peserta yang lain sudah masuk kelas menengah atas, sempat kebingungan juga mau ngapain di tempat baru, di tempat yang sangat asing bagi kami.

Beruntung ada panitia yang segara sigap, dia meminta formulir peserta, setelah lolos sesi administrasi, kami disuruh untuk masuk ke dalam ruangan karena sebentar lagi keberangkatan menuju lokasi acara akan dimulai.

Yosh! Dengan angkot butut berkarat, berkumpul bersama peserta lainnya. Malu-malu sekitar satu sampai dua jam, setelah itu sampai di lokasi. Terlihat dengan kedua bola mata, semua siswa MTS Muhammadiyah 1 Bayongbong baru saja menerima rapot hasil belajar selama 6 bulan yang ditemani hujan kecil, turun dari langit bersama sunyi. Siswa-siswi sekolah ini mempunyai badan yang subur, hampir semua struktur fisiknya merata. Ada yang membawa rapot disertai tawa senang, ada yang biasa-biasa saja dan ada yang mengerutkan dahi sembari menundukan kepala seakan menerjemahkan rasa kecewa.

Setelah upacara pembagian rapot itu usai, barulah kami para peserta Kampung Kader berkumpul di dalam kelas. Ya seperti acara pada umumnya, semua peserta disuruh untuk memperkenalkan dirinya masing-masing. Perkenalan dalam bentuk permainan. Menarik. Tapi saya rasa tak perlu diceritakan karena tidak mengandung azas manfaat.

Perkenalan begitu singkat. Dari Sore sampai magrib setelah itu makan dan isya pembagian kelompok. Hikmah melirik seorang gadis ayu, sayang sekali saya lupa nama gadis anggun itu. Alqo menatap atap sekolah yang penuh dengan sarang laba-laba seakan ingin mengatakan “Aku ada dimana?”. Rudy menggigit pulpen dengan mata memerah pertanda ingin pulang dan saya menunduk lesu karena satu kelompok dengan Zainuddin.

Hari pertama, cobaan pertama. Zainuddin. Bisa dibilang dia adalah malapetaka yang dikirim Tuhan khusus bagi saya. Ketika satu kelompok makan bersama di atas daun pisang nan hijau yang sama, saya lebih memilih untuk makan sendiri. Persetan dengan orang yang menyatakan egois. Napsu makan saya selalu berkurang tatkala menatap wajah Zainuddin. Entah setan apa yang merasuki alam pikiran saya sehingga harus membenci Zainuddin secara bathin. Alqo hanya bisa tertawa melihat penderitaan saya tanpa memberikan secuil solusi. Bajingan!

Sunan Alqo, bukan salah satu Walisongo
Dengan Zainuddin, saya melalui hari pertama dengan singkat. Berharap hari esok bisa sesingkat hari pertama. Namun faktanya tidak demikian. Hari kedua di tempat yang dingin itu diisi oleh materi yang menurut anak SMP kurang waras. Saya baru menyadari bahwa hanya IPM cabang Cibiuk yang mengirimkan delegasinya dari anak SMP. Mungkin karena semalam penuh dengan pertarungan bathin tentang Zainuddin, saya sampai lupa untuk menganalisa umur setiap peserta yang diisi oleh anak-anak SMA kelas XI dan XII. Sial. IPM Cibiuk hanya bisa mengirimkan bocah ingusan dengan akal seadanya.

Hari kedua diawali dengan perdebatan sengit diantara peserta. Karena panitia dalam acara ini sebagai fasilitator, maka hukumnya wajib untuk menganggkat seseorang sebagai ketua peserta untuk tiga hari ke depan. Perdebatannya adalah tentang system pemilihan. Ada yang berpendapat harus dengan jalan demokrasi, ada yang menginginkan dengan aklamasi. Kekaguman saya adalah argument mereka baik yang aklamasi maupun demokrasi. Segala retorika busuk sampai retorika kelas tai kucing dikeluarkan. Dalil Quran-Hadits. Pendapat para tokoh. Fakta sejarah. Segala macam argument mereka keluarkan demi kemenangan arogansi.

Demokrasi yang menang. Pemilihan ketua diantara peserta pun berjalan panas. Hasilnya, peserta dari Darul Arqam keluar sebagai pemenang mengalahkan 2 kandidat utama dari Pameungpeuk dan Kadungora. Saya waktu itu memilih peserta dari Kadungora karena sama-sama dari Garut Utara. Ketua peserta ini sekilas menurut saya loyo, tidak mempunyai kemampuan memimpin, lamban, sepertinya mempunyai IQ di bawah rata-rata karena melihat gaya berjalannya yang aneh akan tetapi dia mempunyai kemampuan berbicara yang komunikatif.

Lupakan soal ketua peserta, karena memang tugasnya hanya mengambil nasi dan membuat jadwal kebersihan. Setelah pemilihan itu, acara dilanjutkan dengan materi yang kurang waras. Muhammadiyah dan Perpolitikan Nasional. Bocah ingusan sekelas SMP mana ada yang mengerti dan paham materi segila itu. Apa yang Alqo, Rudy, Hikmah dan saya dapatkan ? TIDUR DI SIANG BOLONG!

Disitu kadang saya merasa wakwaw!

Malam hari yang dingin menembus kulit, membuat sekujur tubuh merinding. Jaket dipake, sarung dimanfaatkan untuk menutupi hawa dingin masuk ke dalam kulit leher. Dengan dingin pula, napsu makan saya kembali. Tapi ketika Zainuddin menghampiri, napsu makan pun hilang dengan alami. Malam itu hanya makan sedikit karena ada terror dari Zainuddin. Perut kosong tanpa dibarengi dengan napsu makan, membuat tidur di malam itu melupakan segala bentuk materi kurang waras di tadi siang.

Hari ketiga temanya tetap sama, yaitu: materi yang kurang waras. Tidak. Lebih tepatnya, materi sangat tidak waras. Semua peserta menikmati sajian materinya, hanya IPM perwakilan cabang Cibiuk yang kembali molor di atap yang bolong. Saya hanya bisa menangkap materi ketika hampir selesai. Si pemateri berkampanye. Sial ternyata dia calon legislative dari PAN yang memanfaatkan momen ini untuk meraup dukungan. IPM sudah tidak perawan lagi jika kepentingan politik masuk kedalamnya.

Habis materi ini, masuk materi selanjutnya. IPM kembali disusupi politisi. Kali ini dari PMB. Partai Matahari Bangsa. Tapi seperti biasa, Alqo hanya menggambar, Hikmah setia memandangi si gadis desa yang anggun, Rudy terlelap tidur dan saya ngelamun karena memang materi yang disampaikan, secara pendidikan psikologis tidak cocok untuk anak SMP. Konsekuensi logisnya adalah setelah materi selesai, semua peserta wajib nulis point-point penting dari materi yang telah dipaparkan. Anjing.

Hari ketiga isinya adalah materi. Malam harinya adalah diskusi tentang problem yang ada di setiap cabang IPM. Berat. Kami berempat adalah anggota IPM cabang Cibiuk yang status keanggotaannya pun masih samar. Jadi, mau tahu problem apa jika saat di Cibiuk tidak terlalu aktif ?

Hari keempat atau terakhir adalah perpisahan. Karena tahun 2008 belum “sehebring” sekarang dalam penggunaan sosial media, maka kami bertukar nomer rumah, hape dan email. Namun sayangnya empat bocah ingusan ini tidak mempunyai email. Bahkan ketika itu kami tidak tahu sedikit pun tentang Email.

Ketika ada pertemuan, maka harus ada perpisahan. Jujur, pengalaman bersama IPM ini sangat menakjubkan. Banyak yang ingin saya tuliskan, namun tidak bijak jika menulis panjang lebar di blog yang murahan ini. jadi, lebih baik saya menuliskan hal yang dianggap penting dan yang masih bisa diingat oleh akal. So, Alqo, Rudy, Hikmah masih ingat kisah kegeleoan kalian di Bayongbong, Garut ? haha

No comments