Muhammadiyah Meluruskan: Dari Kiblat Shalat sampai Kiblat Bangsa

Ketua Umum PP Muhammadiyah Periode 2006-2015, Din Syamsuddin
“Jihad Konstitusi adalah sebuah gerakan untuk meluruskan kiblat bangsa. Karena kami menyimpulkan, telah terjadi penyimpangan dari cita-cita nasional, yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945. Khususnya, sejak era Reformasi,” Ujar Prof. Dr. KH. Muhammad Sirajuddin Syamsuddin, MA (Sumber: Republika)

Muhammadiyah adalah salah satu ormas Islam yang masih segar dan tegar dalam pergerakan Islam sejak abad ke 20 yang harus dicacat sebagai sebuah pergerakan yang tahan banting dalam sejarah. Menurut Syafi’I Ma’arif “Di seluruh dunia Islam, tidak banyak gerakan sosial kemanusiaan dengan nafas keislaman yang kental yang bertahan mengatasi rintangan: politik, social dan budaya, seperti yang telah ditunjukan oleh Muhammadiyah dan NU.”

Sejarah berdirinya Muhammadiyah adalah sejarah perjuangan tokoh pembaharu Islam di Indonesia, Kh. Ahmad Dahlan. Menurut Muhammad Asratillah Senge, Koordinator Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah Sulawesi Selatan (JIMM), Ahmad Dahlan adalah salah satu ulama Islam yang berusaha mendekatkan antara rasionalitas dan pengamalan serta pengalaman keberagamaan. Menurutnnya, Sang Pencerah tersebut berusaha menjadikan ilmu pengetahuan sebagai teman akrab bagi agama.

Kh. Ahmad Dahlan adalah seorang ulama yang gigih dalam menegakan kebenaran. Dengan bekal ilmu agama yang diperolehnya dari timur tengah, Kh. Ahmad Dahlan mempunyai amanah dakwah untuk meluruskan umat Islam dari penyakit TBC, mencerdaskan kehidupan umat dari kebodohan dan membenarkan setiap kekeliruan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Salah satu perjuangannya yang masih dapat kita rasakan adalah meluruskan kiblat shalat.

Bekal ilmu falak yang diperoleh dari Kyai Termas, Kyai Shaleh Darat, Syekh Muhammad Jamil Jambek, dan Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, Kh. Ahmad Dahlan menilai bahwa ada beberapa masjid yang tidak lurus dengan arah kiblat. Masjid agung yang terletak di beberapa wilayah menjadi rujukan bagi masjid atau surau yang ada disekitarnya, sehingga jika dibiarkan, maka akan terus terjadi penyimpangan. Karena itulah, Kh. Ahmad Dahlan merasa mempunyai tanggung jawab untuk meluruskan akan hal ini.

Pada satu malam di tahun 1898, Ahmad Dahlan mengundang 17 orang ulama yang ada di sekitar kota Yogyakarta untuk melakukan musyawarah tentang arah kiblat di surau milik keluarganya di Kauman. Diskusi diantara para ulama itu mempunyai kesimpulan bahwa apa yang telah dipaparkan oleh Kh. Ahmad Dahlan tentang kelirunya arah kiblat Masjid Agung Yogyakarta dianggapnya sesat bahkan kafir, karena merujuk sebuah peta buatan Belanda yang ketika itu menjajah Indonesia.

Perjuangan Kh. Ahmad Dahlan dalam meluruskan arah kiblat memang begitu hebat tantangannya. Ia dituduh kafir, hingga surau tempat ia shalat beserta keluarga dan muridnya dirobohkan secara paksa oleh masyarakat sekitar. Walaupun diliputi rasa marah dan kecewa, Kh. Ahmad Dahlan kembali membangun surau itu sesuai dengan arah masjid besar Kauman namun arah kiblat yang sebenarnya ditandai dengan membuat garis petunjuk di bagian dalamnya.

Muhammadiyah sebagai masterpiece-nya Kh. Ahmad Dahlan telah berhasil meluruskan arah kiblat shalat secara perlahan dengan hambatan yang begitu kuat menghantam. Karena itulah, kalau membaca beberapa catatan sejarah mengenai manuver-manuver yang dilakukan Kh. Ahmad Dahlan beserta para muridnya, kita bisa melihat citra yang santun, bahkan gugatan yang dilakukan terhadap praktik keagamaan pada saat itu bukanlah tanpa disertai dengan dialog yang mencerdaskan.

Namun, ada hal yang menarik dari Muhammadiyah di abad kedua, yaitu sangat tampak keinginan kuat untuk mengembangkan bidang dakwah dalam konteks kekinian. Salah satu hal yang perlu dicatat adalah keberhasilan Muhammadiyah dalam Jihad konstitusi. Menurut Din Syamsuddin, Jihad Konstitusi adalah jihad untuk berjuang meluruskan Undang-undang yang tidak pro rakyat. Dengan kata lain, Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan di Indonesia, menjadi leading pengajuan judicial review UU ke Mahkamah Konstitusi.

Pemahaman Agama sebagai praksis sosial-kemasyarakatan membuat Muhammadiyah terketuk hatinya untuk melakukan pengajuan judicial review terhadap  UU yang menyimpang dari cita-cita bangsa. Karena itulah Menurut Biyanto, ketua Majelis Dikdasmen Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur, menurutnya  Muhammadiyah telah memahami, pengajuan judicial review terhadap UU yang kurang berpihak kepada kepentingan rakyat merupakan bagian dari komitmen untuk meluruskan kiblat bangsa.  

Dengan demikian, meluruskan kiblat bangsa dalam konteks Muhammadiyah di abad keduanya adalah menggugat UU yang tidak pro rakyat. Sampai sejauh ini, Muhammadiyah telah beberapa kali melakukan judicial review terhadap UU yang terus memicu kontroversi. Akan tetapi, jihad yang paling fenomenal menurut Fadh Ahmad Arifan, Dosen STAI al-Yasini, adalah ketika menang gugatan terhadap UU Migas. Menurutnya, gugatan itu didasari karena kebijakan pemerintah dan juga regulasi yang kurang berpihak pada pembentukan kesejahteraan. Apalagi dalam bidang ekonomi, terlalu membuka pintu bagi asing.

Selain sukses dalam menggugat UU Migas, Muhammadiyah juga telah sukses menggugat UU Sumber Daya Air. Dengan keberhasilan itu, Muhammadiyah mendesak agar semua pihak terkait untuk membatalkan kontrak-kontrak kerjasama perusahaan swasta asing maupun dalam negeri. Selanjutnya perusahaan tersebut harus dikuasai oleh Negara untuk kepentingan bersama sesuai dengan amanat yang termaktub dalam UUD 45. Dengan keputusan MK itu juga, seharusnya DPR dan pemerintah membahas UU Sumber Daya Air yang baru, karena yang lama telah dibatalkan MK.

Kemenangan Muhammadiyah di MK dalam menggugat UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, dan  UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air adalah bukti bahwa Muhammadiyah sedang meluruskan arah kiblat bangsa yang cenderung pro kapitalis asing dan merugikan Negara. Selain itu, Muhammadiyah juga pernah sukses dalam menggugat UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dan ormas Islam ini pun berada di garda terdepan dalam menggugat  UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas  yang terlalu mengikat kebebasan berserikat.

Muhammadiyah selama ini selalu menjadi eksekutor Jihad konstitusi di Mahkamah Konstitusi. Kini, Muhammadiyah kembali akan menjadi momok yang menakutkan bagi perusahaan-perusahaan yang menganut sistem ala kapitalisme dan liberalisme, karena pada bulan April ini, Muhammadiyah akan kembali mengajukan judicial review 3 UU ke Mahkamah Konstitusi. Ketiga UU tersebut, Muhammadiyah menilai bertentangan dengan UUD 1945 pasal 33 ayat 1, 2 dan 3.

Ketiga UU yang dimaksud adalah UU Nomor 24 tahun 1999 tentang Sistem Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, UU Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan UU Nomor 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. Menurut Din Syamsuddin, pengajuan judicial review ini merupakan upaya menegakkan konstitusi sebagai asas kehidupan negara sekaligus mengahalau liberalisme ekonomi. Saya pikir ini logis, sebab saat penyusunan ketiga UU itu tidak lepas dari pengaruh IMF dan World Bank yang ketika itu Indonesia lemah pada sektor ekonomi.

Oleh sebab itu, jihad konstitusi ala Muhammadiyah harus didukung oleh semua pihak karena masih banyak peraturan perundang-undangan yang diskriminatif dan merugikan perekonomian pribumi secara global. Semoga saja Muhammadiyah akan terus menjadi panglima jihad di Mahkamah Konstitusi agar Negara Indonesia ini lebih berdaulat baik secara hukum maupun secara ekonomi. 

Ilham Ibrahim, Sekretaris Umum Ikatan Mahasiswa Tarjih Muhammadiyah (IMTM)

Selain itu, jika dulu ketika awal berdirinya, Muhammadiyah meluruskan kiblat shalat, maka jihad konstitusi ini adalah bentuk upaya dari Muhammadiyah dalam meluruskan arah kiblat bangsa untuk lebih berkemajuan tanpa bayang-bayang asing lagi. Hal itu tidak terlepas spirit Al-Maun yang selalu menjadi pengingat sekaligus penyemangat yang menyengat agar tidak tidur ketika umat berada dalam ketidakadilan.

No comments