2017: Tahun yang Paling Saya Benci
Bagi saya, 2017 merupakan tahun paling menyebalkan selain
1995. Di tahun 1995 saya dilahirkan, dan itu menyebalkan karena harus hidup di
dunia kemudian ke akhirat, sementara di tahun 2017 saya pernah berniat bunuh
diri.
Saya bukan pengidap skizofrenia, saya hanya seorang yang
memiliki gangguan bipolar. Perubahan mood saya begitu cepat, dari perasaan
gembira bisa mendadak panik luar biasa hanya karena persoalan sepele. Jika
persoalan sepele saja dapat membuat stress, depresi berat, apalagi persoalan
yang non-sepele.
Ketika saya berada di posisi mood yang baik, saya meresa memiliki banyak sekali ide yang
berkeliaran di kepala sampai-sampai tak terkontrol. Kadang-kadang juga saya
mengalami gejala psikotik berupa delusi dan halusinasi. Saat berhalusinasi,
saya merasa seperti mendengar atau melihat sesuatu yang sebenarnya tidak
ada. Saat mengalami delusi, saya akan meyakini sesuatu yang pada umumnya
tidak masuk akal atau tidak benar secara nalar.
Tetapi ketika berada dalam posisi depresi, saya sulit sekali untuk
berkonsentrasi dan mengalami penurunan daya ingat, bahkan tak jarang mengalami
penurunan produktivitas. Saya juga terkadang merasa hubungan dengan orang-orang
terdekat menjadi rusak akibat panik yang berlebih, kehilangan minat terhadap
aktivitas sehari-hari dan merasa tidak bisa menikmati segala sesuatu.
Tahun 2017 merupakan puncak dari gangguan bipolar ini. Jika
di tahun-tahun sebelumnya hanya depresi dan stress yang tergolong ringan,
khusus di tahun ini puncak dari kekejaman gangguan bipolar ini adalah saya
pernah berusaha untuk mati.
Kejadiannya begitu cepat sekali. Dimulai dengan skripsi saya
diterima, telah sah di-ACC dosen pembimbing, ditambah tugas PPL di suatu
sekolah telah usai, mood saya ketika itu sedang tinggi-tingginya. Bahkan saya
berhalusinasi sebagai wisudawan terbaik, dan bikin bangga kedua orang tua.
Karena mood saya sedang di puncak, ide di kepala saya begitu
banyak sehingga tidak terkontrol. Lalu saya menumpahkan semua ide itu dengan
menulis artikel. Alhamdulilah artikelnya berbuah viral. Saya pun jadi buah
bibir. Iya, buah bibir di antara “orang-orang suci”. Mood yang tadinya sedang
di puncak berpindah ke palung paling dasar. Dari titik sanalah ide untuk bunuh
diri bergejolak.
Artikel saya yang dimuat di bangor.in tersebut hampir menghancurkan masa depan
saya. Saya diancam Drop Out dari kampus, namun karena pertimbangan tertentu
akhirnya mereka memutuskan untuk menskorsing saya selama satu semester. Mimpi
saya wisuda di tahun 2017 harus dibatalkan gegara artikel itu.
Sebelum pihak kampus memutuskan untuk menskorsing saya selama
satu semester penuh, saya berada dalam kebimbangan karena ketidakjelasan status
apakah saya masih sebagai seorang mahasiswa atau bukan. Dua bulan saya dalam
depresi berat, stress tinggi, lantaran menunggu keputusan pihak kampus.
Beruntung sekali ada Alifta dan kedua orangtua saya yang
selalu mensuport, mendukung dan mendengarkan. Kalau tiada mereka mungkin saya
sudah di alam kubur sekarang.
Terakhir, saya tidak mau mengambil hikmah dari tahun 2017,
karena saya begitu benci dengan tahun ini. Benar-benar benci. Eyaaaaa…
Post a Comment