Burjo Khas Mataram Rasa Pasundan
Harga miring dan keberadaannya yang tersebar di seluruh
jantung kampus-kampus yang ada di Jogja, Burjo menjadi magnet yang menarik
mahasiswa-mahasiswa kelas proletar saat perut keroncongan datang mendera.
Bisnis franchise makanan murah meriah semacam burjo ini memang bukan hanya
menjadi penolong bagi mahasiswa kelas menengah ke bawah, tapi juga jadi messias
bagi pahlawan-begadang-pengejar-deadline, sebab warung makan ini biasanya buka
24 jam, unstoppable banget.
Walaupun kebanyakan penjaja Burjo berasal dari tanah
pasundan, namun di daerah tempat asalnya, di Jawabarat, keberadaan warung ini
terbilang sepi bahkan mungkin tidak ada, sebab saya sendiri yang lahir dan
besar di tatar sunda, baru tahu sepak terjang mengenai Burjo ini saat kuli-ah
di Jogja. Entah mengapa, Burjo dan Jogja cocok sekali, seolah tak mau
dipisahkan. Boleh saja Nasi Padang menusantara bahkan mendunia, tapi Burjo
seakan enggan beranjak menyebar keluar dari Jogja, maunya di sini terus.
Burjo sudah telampau nyaman di tanah Mataram, kenyamanan yang
mungkin akan menjadi pisau pemutus urat nadi bila mereka tidak bersikap elastik
terhadap perubahan sosial. Ah, tapi lupakan itu, hanya omong kosong belaka,
makan di Burjo tak lebih dari gaya hidup mahasiswa urban yang dalam dirinya
terkandung sejumlah hal yang menarik. Ia mencerminkan penggabungan antara
gejala finansial dan selera logistik dalam kehidupan.
Dengan ornamen-ornamen yang tidak terlalu mencolok, serta
ukurannya yang tidak terlalu luas, Burjo seolah telah sukses menjadi tempat
dinamika demokrasi paling beradab daripada gedung DPR RI. Semua orang boleh
membicarakan apa saja di tempat ini, semua orang boleh bertanya segala hal,
satu peraturan yang tidak boleh dilakukan di tempat ini adalah mencela makanan.
Sebab sadar dirilah, warung makan ini sudah murah, dicela lagi. Makan di tempat
ini jangan mempedulikan soal rasa, tapi harga yang menjadi pertimbangan.
Burjo menjadi salah satu tempat paling aman untuk ngobrol
tentang banyak hal hingga kadang mereka tak sadar akan waktu. Tak perlu takut
diciduk tentara atau polisi, tak perlu takut dikafirkan atau dibidahkan, Burjo
terbuka untuk para pemimpi liar dari pendamba revolusi paling kiri bersama PKI,
sampai batas paling kanan bersama HTI. Karena itulah di Burjo, kita dapat
menyaksikan gejala-gejala mahasiswa ini tergelar dalam bentuknya yang sempurna.
Post a Comment