Full Day School
Sehabis
kultum dan shalat tarawih berjamaah biasanya saya duduk mengajari anak-anak dan
sebagian ibu-ibu mengaji Qur’an. Semangat mereka membunuh kebutaan huruf bacaan
Quran patut kita apresiasi.
Pada
waktu tersebut selain membaca al-Quran biasanya kita berbincang-bincang
berbagai hal, tetapi kemudian saya manfaatkan untuk mewawancarai anak-anak
terkait isu full day school dari Pak Menteri, sebab mereka adalah obyek
sesungguhnya dari kebijakan tersebut.
“Setuju
gak sama full day school ?”
“full
day school itu apa, Mas ?” kata Parid (Farid ?) anak kelas 4 SD.
“Itu
seharian sekolah, 8 jam lho. Jadi pulangnya sore. Kalian mau ?”
“Yoo
rapopo, Mas…” Adam, anak kelas 3 SD ikut nimbrung.
“Kalian
gak takut waktu bermain hilang ?”
“Yoo
waktu sekolah juga bisa sambil main, Mas. Malah lebih banyak temannya.”
“Jadi
kalian mau sekolah sampe sore ?”
“Lha
yoo…”
“Manut..”
kata Adam.
“Kalo
denger-denger ya, Mas. Sekolahnya jadi sampai hari Jumat ya ?” Kata Parid
(Farid ?).
“Iyaa
betul”
“Tuh
malah lebih enak, mainnya jadi dua hari penuh…”
Salah
satu argument utama orang dewasa yang menolak gagasan Mendikbud adalah
kekhawatiran anak-anak mereka mengalami defisit bermain. Mereka, para orang
tua, khawatir anak-anaknya stress lantaran jadwal yang padat menyekat
ruang-ruang kebahagiaan masa kecil.
Tetapi
obrolan kecil saya dengan dua orang bocah sedikit banyak memberikan keterangan
bahwa terkadang orang dewasa yang beranggapan anak kecil masih labil, rapuh,
dan gegabah adalah sebentuk bias orang dewasa yang sok tahu, yang merasa paling
otoritatif tentang menentukan hal baik dan buruk bagi orang lain.
Walaupun
riset kecil-kecilan saya itu tadi jauh dari kaidah penelitian kuantitatif,
tetapi ada baiknya kita menanyakan hal tersebut kepada pihak yang bersangkutan
yaitu anak-anak itu tadi. Sebab merekalah obyek yang sesungguhnya, bukan orang
dewasa. Tapi sayangnya, hajat hidup anak kecil seringkali menjadi perdebatan
orang dewasa.
*Ditulis
saat bulan Ramadhan tahun kemarin (2017)
Post a Comment