Mengunjungi Museum Diponegoro dan Benteng Vredeburg #Dimuseumkan
Para filosof muslim umumnya menyifati manusia sebagai hewan yang berakal (hayawaan naathiq). Akan tetapi perbedaannya menurut al-Ghazali, manusia tidak hanya berakal tetapi juga memiliki ruh imajinatif dan diskursif yang berfungsi sebagai perekam informasi yang disampaikan oleh indera, kemudian akal mengaturnya ke dalam premis-premis, dan sesudah itu barulah mengambil pengetahuan informatif darinya.
Hal tersebut saya rasakan saat bersama Komunitas Dimuseumkan mengunjungi Museum Monumen Pangeran Diponegoro dan Museum Benteng Vredeberg. Di kedua museum tersebut, saya mengamati setiap reflika, miniatur, perkakas dan senjata masa lalu, ditambah keterangan-keterangan penting dari pemandu, lalu akal saya secara otomatis mengolah temuan-temuan indera tersebut hingga mendapatkan suatu pengetahuan.
Komunitas Dimuseumkan yang digawangi saya, Muhaimin, Zaki, Estu, dan Suryo saat mendarat di museum Diponegoro, kami menemukan berbagai pengetahuan menarik tentang sosok Pangeran Diponegoro yang lahir tanggal 11 November 1785 itu.
Sebagai seorang putra dari Sultan Hamengkubuwono III dan lahir dari seorang selir bernama RA Mangkarawati, Pangeran Diponegoro tahu diri kalau dia tidak berhak meneruskan tahta Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, walau pun beberapa kali desakan untuk menerima jabatan itu muncul, dirinya tetap menolak dan memilih hidup di luar istana keraton. Kediamannya di Desa Tegalrejo inilah yang kemudian disulap menjadi museum yang kami kunjungi.
Pangeran Diponegoro merupakan tokoh utama dalam peristiwa Perang Jawa yang terjadi pada tahun 1825 hingga 1830 untuk melawan kolonialisme Belanda. Dari fakta sejarah ini terlihat jelas bahwa darah kebangsawanan dan kekayaan harta duniawi tidak lantas membuat sosok Pahlawan Nasional ini takut untuk mati syahid. Melihat sebagian besar koleksi museum berupa peralatan perang di masa pra kemerdekaan seperti keris, tombak, pedang, tameng, perlengkapan kuda dan panah, saya berkesimpulan bahwa negeri ini merdeka dari tetesan syuhada.
Selain berbagai koleksi peralatan perang, di museum ini juga terdapat artefak berupa dinding tebal yang konon dijebol oleh Pangeran Diponegoro saat Belanda mengepung habis kediamannya pada tanggal 20 Juli 1925. Untuk mitos ini Suryo kurang begitu yakin keakuratannya, walau tidak menutup kemungkinan karomah dari Allah itu ada.
Sudah jangan terlalu banyak protes, kamu ke sini tanpa dipungut biaya alias gratis.
Setelah puas dengan berbagai suguhan di museum Diponegoro, kami melanjutkan perjalanan menuju tempat kedua, yaitu: Museum Benteng Vredeburg.
Harga tiket masuk ke Museum Vredeburg tergolong sangat murah. Kocek Rp. 3000,- sudah dapat merasakan benteng kokoh yang dibangun pertama kali tahun 1760-1765 di atas tanah miliki keraton. Museum ini telah berganti-ganti nama, pertama kali dikenal dengan sebutan Benteng Rustenberg, namun sekarang lebih dikenal dengan Benteng Vredeburg.
Memasuki sebuah benteng yang telah berdiri selama berabad-abad itu rasanya seperti ditarik ke masa lalu. Apalagi koleksi-koleksi museum yang dihadirkan seperti foto, miniatur, reflika, rekaman audio visual yang memuat peristiwa-peristiwa bersejarah dari masa-masa pra-kemerdekaan hingga proklamasi dibacakan, saya jadi semakin merasakan decak kagum dan bangga dengan perjuangan para Pahlawan Nasional.
Saya melihat miniatur yang menampilkan KH. Ahmad Dahlan sedang melakukan rapat dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah. Miniatur tersebut menampilkan sosok KH. Ahmad Dahlan dengan begitu detail sehingga saya seolah melihat sosoknya secara langsung.
Puas mengamati seluruh koleksi Vredeburg, tak lupa berfoto-foto sebagai bagian dari generasi milenial, kami pun bergegas keluar untuk pergi dan pulang. Akan tetapi masalah baru muncul: kunci motor hilang.
Sekian.
Post a Comment