Mereka yang Tidak Bersosmed



Hampir separuh dari penduduk Indonesia memiliki akun sosial media, baik itu facebook, twitter, instagram, maupun smule. Banyak dari mereka menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bertamasya di rimba internet, mereka cukup bangga dengan sebutan sebagai ‘netizen’, atau warga media sosial.

Umumnya netizen ini dikuasai oleh kaula muda, namun tak jarang kaula kanak-kanak dan tua-tua pun ikut andil dalam keganasan bertamasya di rimba internet ini. Sehingga boleh jadi netizen tidak memiliki prasyarat batas usia, karena dunia daring tidak mengenal istilah ‘belum baligh’.

Para netizen ini menuangkan segala keresahan sekaligus kebahagiaannya di berbagai medium akun-akun media sosial, mereka berwatak ‘show off’, berwatak pamer. Pamer kemesraan, pamer keberhasilan, pamer permasalahan asmara, pamer masalah, serta pamer material dan intelektual. Dalam istilah Sherry Turkle yang memplesetkan quote terkenal Rene Descartes, bahwa bersosial media hanyalah untuk mempertegas eksistensi, I share, therefore I am. Aku update status, maka aku ada. 

Hal ini semakin jelas terlihat, jika dulu rakyat menjadi pedoman utama dalam kegiatan perpolitikan, sehingga rakyat mempunyai kuasa dalam pemerintahan Negara, maka sekarang justru ‘netizen’-lah yang memegang tampuk kekuasaan. Saya kira pernyataan Abraham Lincoln pada tahun 1863 yang menyebut demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, harus diamandemen menjadi dari netizen, oleh netizen dan untuk netizen.

Jika bukan karena suara senyap netizen, adalah mustahil Jokowi menjadi orang nomer satu di Indonesia. Begitu pula dengan Donald Trump. Sadiq Khan. Fans Erdogan kebanyakan netizen. #TemanAhok pun terbentuk karena netizen. Demo paling legendaries abad ini yang bertajuk Aksi Bela Islam 212 juga tidak boleh kita lupakan sebagai buah hasil dari nyanyian sunyi para netizen.

Dengan menyaksikan berbagai kisah besar yang ada di Indonesia ini, saya beranggapan seluruh kepala yang di Negara ini memiliki akun media sosial, setidaknya akun facebook atau twitter, tapi ternyata hipotesa saya salah, ada beberapa orang-orang yang pernah saya temui enggan bahkan anti untuk bersosial media. Bukan karena mereka tidak memiliki akses, atau samasekali awam tidak mengenal sosial media, tapi lebih kepada menjaga kewarasan di tengah-tengah panasnya viralitas yang semakin menjamurkan media-media hoax.

Andai saja Multatuli—nama pena dari Eduard Douwes Dekker— masih hidup, saya kira novelnya yang terkenal, Max Havelaar, akan mengisahkan orang-orang anti media sosial yang ada di Indonesia sebagai stabilisator, atau penyeimbang dari bisikan netizen yang termakan oleh media-media hoax.

Orang-orang ini bagi saya cukup unik, sebab ketika media sosial menjadi gaya hidup bagi sebagian besar orang, mereka justru enggan untuk mengikuti tren ‘warga dunia’. mereka lebih memilih kehidupan dunia yang nyata dan pasti, daripada harus menjadi manusia yang banyak mengumbar informasi pribadi kepada public, atau membagikan sebuah berita yang kita sendiri tidak tahu tingkat validitasnya.

Lebih dari itu orang-orang yang tidak bersosmed tidak memercayai dogma bahwa sosial media adalah salah satu cara untuk menghubungkan teman, namun mereka mengklaim justru sosial medialah yang menjadi dalang dari lahirnya virus yang bernama kepo. Pada kenyatannya, medsos bukannya menjadikan seseorang lebih care dengan sebuah problem dan lebih akrab, malah bikin makin kepo! Jadi bikin pengen tauuu aja urusan orang yang samasekali tidak ada hubungannya dengan kita. 

Mungkin karena timing-nya yang nggak terkontrol, seperti sebelum tidur buka sosmed, bangun tidur, sebelum mandi, setelah mandi, pas mandi #eh! Lagi galau, sedih, gembira, terharu, pokoknya medsoslah yang pertama dituju, membuat mereka yang anti dengan sosial media beranggapan bahwa sosmed tidak lebih dari sekedar wasting time belaka. Hanya membuang-buang waktu. Dan inilah yang disayangkan oleh mereka, oleh orang-orang yang bertindak nyata tanpa media sosial, yaitu lahirnya clictivism.

Clictivism adalah penggunaan media sosial untuk tujuan tertentu, biasanya dicirikan oleh klik pada suatu situs kampanye. Walaupun bisa membuat suatu kampanye lebih terdengar, aktivisme dengan bentuk seperti ini sebetulnya tidak memberikan dampak lain yang cukup besar, yang ada malah berpotensi mengurangi bentuk aktivisme yang memberikan kontribusi lebih nyata dan pasti. Nah, dari sinilah istilah slacktivism lahir.

Slacktivism adalah aksi yang dilakukan via Internet untuk tujuan tertentu dengan ciri minimnya waktu dan usaha yang diperlukan. Dalam hal ini secara tegas UNICEF Swedia menentang kecenderungan pengguna media sosial dan internet umumnya yang melakukan Slacktivism. Sebab merasa cukup puas dengan hanya memberikan support virtual, misalnya dengan memberikan LIKE, Retweet, mengganti foto profil, main hastag, mengisi petisi online, tanpa satupun aksi nyata yang dilakukan.

“Saya udah klik sana klik sini, wah dunia sudah berubah menjadi lebih baik!”, “saya sudah bikin hastag #SavePalestine, berarti peduli dengan saudara muslim.”, “Saya sudah menghujat Habieb Rizieq, saya merasa lebih humanis.”

Sekarang menjadi semakin jelas mengapa ada sebagian kecil dari kita enggan untuk berselancar di dunia sosial media, karena bentuk mereka hanya jempol tanpa tindakan nyata. Mereka lebih memilihi berdiaspora dengan interaksi langsung melalui tatap muka. Face to face. Bagi mereka, melangkah dengan tindakan nyata lebih mulia dibanding dengan jempol like atau emoticon di media sosial.

Sebagai penutup dari uraian tidak jelas ini, satu kutipan dari teman saya yang tidak bersosmed mengatakan bahwa “bersosmed hanya mampu menelurkan masalah yang tidak ada solusinya, atau menawarkan solusi dari masalah yang tidak ada.”

No comments