Alasan Muhammadiyah Sulit Viral



Sangat sulit bagi Muhammadiyah untuk menjadi viral di dunia maya. Kalau konten viral yang selama ini kita saksikan berupa berita hoax, komedi-komedi nir-hikmah, joke-joke yang merendahkan agama, pembubaran pengajian, pernyataan kontroversial, perbuatan tidak senonoh, dan hal-hal unfaedah lainnya, Muhammadiyah jelas tidak mungkin mampu bertengger di panggung viral. Sebab Muhammadiyah hanya dapat viral di lingkungan korban bencana, mustadl’afin, dan kegiatan sosial kemasyarakatan lainnya.

Watak Muhammadiyah yang seperti ini terpelihara dengan baik sejak KH. Ahmad Dahlan masih hidup. Menurut Alwi Shihab dalam buku Membendung Arus, informasi mengenai Muhammadiyah dan KH. Ahmad Dahlan pada tahun-tahun awal begitu minim, atau dapat dikatakan hampir tidak ada catatan kesarjanaan yang serius tentang organisasi terbesar di Indonesia ini pada masa pemerintahan kolonial. Alwi Shihab berasumsi bahwa ketika Dahlan masih hidup, gerakan Muhammadiyah tidak dipandang sebagai ancaman potensial terhadap rezim kolonial Belanda, sehingga menjadikan mereka kurang diminati para penulis dibandingkan dengan gerakan-gerakan lain yang bercorak politis.

Sederhananya, di mata sarjana Barat ketika itu, menuliskan tentang Dahlan tidak akan menaikan trafik penjualan koran atau buku, atau sekurang-kurangnya takan ada orang yang peduli dengan apa yang mereka tulis. Wartawan ketika itu dapat dengan mudah membuat berita yang “click bait” saat mereka membicarakan para pahlawan kita yang bergerak di bidang politik, ketimbang mengupas Dahlan tentang membenarkan kiblat shalat. Mereka lebih tertarik mengupas Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, dan pahlawan-pahlawan lainnya karena mungkin lebih menjanjikan secara trafik daripada membahas Dahlan yang hanya fokus pada pengajiaan al-Ma’un bersama murid-muridnya. Ketika itu, sesungguhnya nama Ahmad Dahlan jauh dari kata viral.

Watak gerakan Muhammadiyah dalam politik memang selalu tidak oposisional terhadap kemapanan. Hal tersebut membawa prasangka yang tidak mengenakan dengan menuduh Muhammadiyah bekerja sama dengan rezim Belanda dengan bukti berupa penggunaan aksesoris Barat ketika kegiatan belajar mengajar berlangsung. Sikap seperti ini dikecam oleh beberapa kelompok pergerakan selain karena dianggap mendukung rezim kolonial Belanda, atau sekurang-kurangnya tidak menentangnya.

Sikap Muhammadiyah yang non-konfrontatatif menurut saya secara tidak langsung terinspirasi dari Muhammad Abduh yang lebih memilih mengembangkan pendidikan ketimbang politik. Menurut Alwi Shihab, ekspresi politik Muhammadiyah yang lebih memilih untuk tidak konfrontasi langsung dengan kolonial Belanda bertujuan agar pengembangan mutu pendidikan dapat dengan leluasa digalakan serta misi pembaharuan dapat disebar secara bebas. Hingga saat ini Muhammadiyah lebih memilih untuk tidak viral di panggung politik, di dunia maya.

Inilah alasan mengapa followers Muhammadiyah di semua akun resmi sosial media followersnya begitu sedikit bila dibandingkan dengan NU dan FPI, padahal konon katanya jamaah Muhammadiyah kurang lebih berkisar di angka 30 juta jiwa. Hal tersebut mungkin terjadi karena Muhammadiyah bukanlah ormas caper yang haus akan panggung politik tai kucing!


No comments