Tari Gustiani: Prosa Mariposa



Tidak sedikit perempuan yang mengeluh karena identitas kelamin mereka. Anggapan bahwa wilayah perempuan dalam hal mengekspresikan diri lebih kecil dibanding laki-laki merupakan salah satu alasan mereka untuk kadang membenci identitas seksualnya. Tapi anggapan tersebut merubah pola pikir saya setelah mengenal Tari Gustiani, tukang gehu dari Dago.

Tari boleh dibilang adalah sederet perempuan yang berhasil keluar dari kurungan tembok-tembok norma. Dia bebas menjadi dirinya sendiri. Hal tersebut diperlihatkan dari tampilannya yang kadang kasual, parlente, bohemian, punk, bahkan hijabers. Ambivalensi gaya berpakaiannya yang berubah-ubah bagi saya merupakan bentuk perlawanan Tari untuk mendobrak standarisasi ‘cantik’ yang dibentuk oleh golongan patriakhi. Dia seolah ingin keluar dari belenggu pesona tubuhnya sendiri.

Walau pun saya berani bertaruh si Tari ini belum pernah mencicipi pemikiran para top feminisme internasional semacam Mary Wollstonecratf, Eilizabenth Cady Stanton, dan Sejeourner Truth, tapi rasa-rasanya melihat tingkah laku dia seolah mempraktekan seluruh isi buku Vindication Right of Women yang terbit tahun 1792. Dia berani untuk berhijab di tengah gempuran pakaian minim, tapi dia juga berani menanggalkan hijab di tengah hujatan ukhti-ukhti yang baru hijrah.

Tapi memang tidak adil juga bila saya memvonis kelakuannya atas dasar feminisme, mungkin juga karena masih bimbang jalan mana yang harus dipilih. Hal ini wajar untuk perempuan yang baru bertelur dari dunia sekolah menengah, mereka masih mencari pola seperti apa yang cocok untuk dijadikan pijakan dalam perjalanan karir hidupnya. Akan tetapi yang penting untuk dicatat dari perjalanan hidup Tari adalah bagaimana dirinya menafsirkan dunia.

Kalau Anda pernah melihat kartun (aminasi?) Mariposa, maka akan dengan mudah membayangkan sosok tukang gehu asal Dago ini. Cerita Mariposa umumnya memanjakan penonton dengan suguhan pemandangan yang indah, musik-musik yang mengalun lembut mengiringi cerita, tarian yang memukau dan kisah yang tak terlalu njelimet yang mana tokoh baik di akhir cerita pasti bisa mengalahkan tokoh jahat. Polanya seperti itu terus sampai kiamat. Namun bukan itu yang penting, tapi sosok Mariposa sendiri begitu menggambarkan sosok Tari.

Mariposa adalah satu-satunya peri yang tidak ingin hidup di zona nyaman bernama City of Light. Tempat itu digambarkan telah memenuhi setiap kebutuhan peri-peri yang ada di dalamnya. Mereka beranggapan bahwa dunia di luar sana nampak berbahaya. Akan tetapi Mariposa justru selalu bermimpi untuk dapat keluar dari tempat tersebut, atau tuk sekedar menjelajah dan memuaskan rasa ingin tahu tentang bagaimana kehidupan yang ada di luar sana.

Bagi saya, pengalaman si Mariposa dalam bentuk dunia nyata ada di Tari. Dia tidak pernah mau untuk tunduk pada sistem yang membuatnya nyaman. Pernah merasa putus asa karena tidak bisa lanjut kuliah setelah lulus SMK, tapi karena jiwa penjelajahannya tinggi, Tari mendobrak itu semua dengan bekerja di sebuah cafe, kemudian di butik, dan sekarang jadi tukang gehu. Tak apa, hidup memang harus mendobrak. Ibarat kata Buya Hamka, kalau perahunya telah dikayuh ke tengah, kau tak boleh surut palang, meskipun bagaimana besar gelombang. Biarkan kemudi patah, biarkan layar robek, itu lebih mulia daripada membalik haluan pulang.

Itulah mengapa Tari begitu mengidolakan sosok Mariposa. Walau pun secara struktur anatomi antara keduanya sangat kontradiktif, tapi falsafah hidup mereka sama. Walau bentuk hidung Mariposa mancung manjah dan hidung Tari cukup beukeh kos daun saledri, keduanya memiliki denyut rasa ingin tahu tentang dunia yang lama-lama menyebalkan ini.

Akhir kata, tiada rugi dapat berkenalan dengan Tari, sebab rugi hanyalah persoalan sudut pandang.

Adios, ma fren, Adios..

No comments