Ma Icin
Sudah sejak lama saya ingin
meneliti bagaimana Islam masuk ke kampung Nagrak, dan agama apa yang dianut masyarakat
sebelum Islam akhirnya diterima. Tapi sebelum jauh ke arah sana, sejujurnya
saya juga ingin tahu bagaimana sosok nenek saya dari ibu yang bernama Ma Icin.
Sejauh ini foto amatir inilah yang paling eksklusif menampilkan sosok beliau. Bukannya
puas, kehadiran foto tersebut justru semakin menguatkan rasa penasaran saya.
Di usia muda ma Icin telah meninggal
akibat penyakit liver yang dideritanya. Beliau meninggalkan beberapa anak
kandung, dua di antaranya yang masih belia: Rina (kami biasa menyebut Bi Ena),
dan Ramzy (kami biasa menyebut Uwokkk). Tiada yang diingat Bi Ena saat ibunya,
ma Icin, meninggalkan dunia untuk selamanya. Usia tiga tahun terlalu muda untuk
mengingat kejadian seperti apa yang dialaminya ketika itu. Sedangkan Uwok saat
kejadian itu usianya sekitar umur 7 tahun. Saat ibunya meninggal, Uwok malah
jadi kuli angkut padi untuk sekedar membeli es Cingcau.
Ditinggalkan sosok ibu saat masih
kecil mungkin tidak terlalu menyesakan dada. Tetapi seseorang yang ditinggalkan
ibunya sejak kecil baru akan terasa pedih saat melihat orang lain atau teman
sebayanya bercerita soal ibunya. Tentang masakannya, pengalamannya,
keegoisannya, semuanya.
Selain itu, saat sendiri. Saat hanya detak jantung yang terdengar, ada lubang
menganga di hati. Ada yang kosong dalam dirinya. Ada ruang sepi dalam dadanya. Yang
terlintas dalam benak adalah sosok ibu yang diinginkan. Ingin bercerita tentang
ikan-ikan di kolam, atau sekedar curhat tentang kejadian di sekolah. Tapi seketika
akan sadar yang membuat semuanya menjadi terasa pedih adalah saat tahu dirinya
telah pergi selamanya.
Momen pedih lainnya
adalah saat kita berhasil meraih mimpi. Ingin kita bisa selalu berbagi
momen bahagia dengan ibu. Tapi saat tahu kalau ibu sudah tiada, rasa bahagia
yang kita dapat seolah hampa. Bukannya tersenyum dan tertawa dengan pencapaian
yang berhasil diraih, malah sedih yang terasa. Sedih karena tak lagi memiliki
kesempatan untuk mempersembahkan keberhasilan itu untuk orang yang disayangi.
Saya yakini perasaan pedih di
atas dialami oleh Bi Ena dan Uwok. Mereka tidak tahu samasekali sosok ibunya, namun
saat setelah foto itu beredar, air mata akan otomatis keluar, rasa haru bahagia
semuanya tercampur. Rasa penasaran tentang sosoknya mungkin telah terbayar,
namun rasa ingin memeluknya tetap akan menjadi hutang.
Semoga dengan kejadian ini
menjadi pemicu semangat untuk hidup lebih baik. Dan semoga nenek yang sebelum
aku lahir telah tiada itu ditempatkan bersama orang-orang shaleh.
Walau belum pernah berjumpa, aku
rindu padamu, nek. Sungguh.
Post a Comment