Syamsul Anwar Fans Club



Satu abad setelah para pendiri mazhab meninggal, para ulama yang mengikuti mereka membuat struktur hirarki tokoh-tokoh mazhab (thabaqat) berdasarkan kemampuan mereka dalam menyelesaikan hukum-hukum praktis dan kapasitas mereka saat berinteraksi langsung dengan teks al-Quran dan Sunah.

Di dalam mazhab Syafi’i, misalnya, ada dua jenis mufti berdasarkan kapasitas keilmuannya. Pertama, mujtahid independen (mustaqil), disebut juga sebagai “mujtahid muthlaq” yang memiliki kapasitas mumpuni segala bidang ilmu agama. Peringkat ini tentu saja ditempati oleh Imam Syafi’i. Kita tidak mungkin meragukan kapasitas beliau sebagai jurist. Kedua, mujtahid yang “magang” (ghair mustaqil), disebut juga “mujtahid muntasib”, merekalah yang mengikuti metode imam pendiri mazhab dan berafiliasi di dalamnya.

Menurut beberapa ahli, adanya struktur hirarki tokoh mazhab (thabaqat) di atas merupakan katalisator paling bertanggungjawab terhadap munculnya fenomena taklid dalam diskursus fikih. Taklid jadi semacam penanggungjawab utama matinya kreativitas pemikiran hukum Islam. Akan tetapi kabar baik adanya orang yang bertaklid (muqallid) adalah pandangan imam mazhab terpelihara hingga sekarang, bahkan kadang dengan pembelaan yang berlebihan.

Jika kita membayangkan Majelis Tarjih sebagai sebuah “mazhab”, maka yang duduk sebagai “mujtahid muthlaq” adalah seseorang yang telah menyusun manhaj Tarjih, dialah Prof. Syamsul Anwar. Melalui pemikiran beliau, Putusan Tarjih harus tersusun melalui alur norma berjenjang: nilai-nilai dasar (al-qiyam al-asasiyah), asas-asas umum (al-ushul al-kulliyah), dan norma-norma konkret (al-ahkam al-far'iyyah).

Sedangkan mereka yang duduk sebagai mujtahid “magang” (ghair mustaqil), atau yang sering disebut “mujtahid muntasib”, adalah mereka yang mengikuti pemikiran Prof. Syamsul Anwar, di antaranya: Ayub, Niki Alma Febriana Fauzi, dan Qaem Aula Syahid. Ketiga orang ini percaya bahwa dengan adanya asumsi hirarkis yang telah disusun oleh Prof. Syamsul Anwar di atas, fikih Muhammadiyah tidak akan terjebak dalam perdebatan halal-haram, dosa-pahala, dan sunnah-bid’ah, namun justru menawarkan gagasan yang lebih holistik, karena nantinya akan memadukan semua aspek syariah, yaitu teologis, moral-etik, dan yuridis.

Jika taklid dapat menjamin keberlangsungan hidup mazhab, maka dalam “mazhab” Syamsul Anwar, sayalah muqallid-nya. Taklid di sini dalam pengertian positif, maksudnya, saya memegang dan mengikuti panda­pat orang lain—dalam hal ini Prof. Syamul Anwar dan murid-muridnya— yang saya anggap memiliki pengeta­huan fikih yang mumpuni di dalam masyarakatNamun bila di kemudian hari taklid ini melahirkan fanatisme buta, hingga melahirkan apa yang dikatakan Arkoun “penyakralan pemikiran keagamaan” (taqdis al-afkar al-dini), apa boleh buat kita harus segera meninggalkannya.



Dengan demikian, perkumpulan rahasia ‘Syamsul Anwar Fans Club’ ini bukan untuk membentuk suatu mazhab, atau bertujuan menguasai dunia, melainkan hanya cara kita untuk lebih bersemangat belajar, berdiskusi, menulis, dan bergerak. Syukur-syukur saya jadi “mujtahid muntasib”. Tapi bila naik jabatan jadi “mujtahid muthlaq” juga gagapa sih. Lumayan. Hahaha.

No comments