RUU PKS Rancu Sejak dalam Pikiran
Rancangan
Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (selanjutnya RUU PKS) telah diusulkan masuk program legislasi nasional (prolegnas)
DPR pada 26 Januari 2016. Komisi VIII DPR yang ditugaskan membahas RUU ini
sampai sekarang belum juga disahkan. Alotnya perdebatan di antara masyarakat
membuat pengesahan RUU ini berujung buntu. Ada yang mendesak DPR RI untuk
segera mengesahkannya agar menghentikan alfanya penindakan hukum bagi
pelaku kekerasan seksual
sekaligus menjamin keadilan bagi korban. Namun ada juga sebagian masyarakat
yang menganggap bahwa pengesahan RUU ini akan
memberi ruang terhadap seks bebas dan perilaku LGBT. Karenanya saat ini RUU PKS
masih di tahap mengumpulkan masukan atau Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU).
Melihat pro-kontra yang terjadi di tengah masyarakat, komisi VIII DPR RI telah meminta ormas-ormas keagamaan
maupun pemerhati perempuan dan anak dapat memberi masukan-masukan kritis
terkait RUU PKS tersebut. Saya beruntung
terlibat dalam perumusan tanggapan Majelis Tarjih PP Muhammadiyah
terkait materi yang ada dalam RUU PKS ini. Dalam
merumuskan hal tersebut, Majelis Tarjih melibatkan dua pakar hukum sebagai
narasumber, yaitu: Dr. Mudzakir, S.H. M.H. (Dosen UII, Yogyakarta) yang fokus
pada studi kritis RUU PKS perspektif hukum pidana, dan Dr. Neng Djubaidah, S.H.
M.H. (Dosen UI, Jakarta) yang akan membahas terkait studi kritis RUU PKS
perspektif hukum perdata/keluarga.
Materi
yang dikaji terfokus pada butir-butir pada RUU PKS pasal 11, antara lain
tentang aborsi, pelecehan seksual,
perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan pelacuran,
dan perbudakan seksual. Hadirnya butir-butir pasal tersebut diambil dari
aspirasi masyarakat yang menginginkan agar negara turut hadir di ranah
tersebut. Namun demikian, uraian definisi dan penjelasan dari butir-butir pasal
11 yang justru membawa RUU PKS ini menjadi polemik di tengah masyarakat.
Bagaimana cara menyelesaikannya?
Saya begitu menikmati pemaparan
Dr. Mudzakir terkait RUU PKS ini. Dosen senior dari Universitas Islam Indonesia
ini menurut saya adalah pembicara yang paling masuk dan mendekati ke dalam inti
persoalan. Beliau tidak bertele-tele dengan menyebut kuantitas produk hukum
lain untuk menyimpulkan bahwa RUU ini tiada berguna, namun yang beliau lakukan
sungguh mencerminkan begawan hukum Indonesia yang paling disegani. Menurutnya,
persoalan RUU PKS terletak pada filsafat hukumnya, atau tentang “nilai”. Nilai
yang dibagun dalam RUU PKS terfokus pada aspek kekerasan, bukan pada
seksualnya.
Dalam struktur hirarki sistem
hukum, nilai menjadi leading yang nantinya akan mengarahkan Asas Hukum, lalu ke
Norma Hukum, turun ke bawahnya lagi ada Bentuk Formal Hukum (Undang-undang),
setelah itu menjadi Masyarakat Hukum. Sepintas saya menyaksikan struktur ini
hampir mirip-mirip dengan Teori Pertingkatan Norma-nya Prof. Syamsul, yaitu
terdiri dari nilai-nilai dasar (al-qiyām al-asāsiyah),
asas-asas umum (al-uṣul al-kulliyah),
dan norma-norma konkret (al-ahkām al-far'iyyah).
Dari kemiripan ini saya jadi paham bahwa pergeseran “nilai” atau “al-qiyām al-asāsiyah”, akan sampai pada
perubahan dalam masyarakat hukumnya.
Dengan demikian mengapa RUU PKS
ini banyak ditentang sebab menampilkan “nilai” yang melenceng. Menurut Dr.
Mudzakir, pertama-tama yang harus didudukan terlebih dahulu bukan pada aspek
“kekerasan”, melainkan pada “seksualnya” terlebih dahulu. Kalau dibangun dalam
asumsi “kekerasan” maka Undang-undang itu akan ditafsirkan dengan cara a contrario atau dalam bahasa ushul
fikih disebut mafhum mukhalafah.
Misalnya, bagaimana kalau seks tidak dilakukan dengan kekerasan? Apakah seksnya
jadi legal apabila tidak dilakukan dengan kekerasan? Bagaimana bila aborsi
tidak dilakukan dengan pemaksaan? Dan lain-lain. Selain itu, perlu diperhatikan
bahwa batas kekerasan dalam hukum pidana bukan terletak pada perbuatannya,
melainkan pada akibatnya.
Menurut Dr. Mudzakir, RUU PKS ini terlihat berusaha untuk membangun sistem
hukum sendiri di luar sistem hukum Nasional Indonesia dan sistem hukum pidana
nasional Indonesia yang berlaku sekarang (hukum positif). Hal tersebut
akan terjadi lantaran RUU PKS berpotensi untuk memporak-porandakan tautan norma
hukum dalam sistem Nilai, Sistem Asas-Asas Hukum dan Sistem Norma Hukum
Indonesia. Sarannya, lebih baik aspek-aspek muatan ‘kekerasan seksual’ dalam
RUU PKS ini dimasukan dalam KUHP agar ‘nilai’ yang dibangun tidak bergeser, dan
Bentuk Forma Hukum tidak saling tumpang tindih, sehingga tidak diperlukan
membuat Undang-undang yang baru lagi.
Selain itu, Dr. Mudzakir
memberikan alasan mengapa menolak RUU PKS ini dan lebih baik memasukannya dalam
KUHP, sebab pembuatan Undang-undang nantinya harus dibuat pula komisi
teknisnya. Misalnya saja kelahiran Undang-undang Tindak Pidana Korupsi
(TIPIKOR) melahirkan anak bernama KPK. Nah, apakah dengan kelahiran RUU PKS ini
nantinya membuahkan anak bernama Komisi Pemantau Kekerasan Seksual (KPKS)?
Pertama kali
terbit di setengahnalar.id.
Post a Comment