Membela Imam Syafi'i, Membela Sunnah Nabi



Sarjana Barat seperti Josep Schacht menilai Nabi Muhammad sejak awal tidak memimpikan untuk membangun sebuah tatanan hukum yang sistematis. Hal tersebut terjadi lantaran sepanjang hidupnya dihabiskan dalam konfrontasi politik dan militer dengan lawan-lawannya, sering juga mendapat tekanan-tekanan sosial, alhasil tidak ada waktu untuk Muhammad membuat hukum-hukum yang rigid seperti cara bersuci (thaharah).

Asumsi di atas dibangun atas dasar bahwa kehadiran Nabi Muhammad di jazirah Arab hanya untuk mereformasi moral masyarakat Arab agar lebih beradab. Schacht mengatakan bahwa sarjana Barat memandang hukum-hukum yang termaktub dalam Sunnah Rasulullah berasal dari praktik administratif para qadi era Umayyah dan konsensus hukum mazhab-mazhab lokal, dan tidak ada hubungannya dengan sang Nabi.

Menurut Fazlur Rahman, terma ‘sunnah’ sebetulnya telah ada pada masa Arab pra Islam dengan makna tradisi, adat, dan kebiasaan nenek moyang bangsa Arab yang menjadi panutan. Tetapi dengan datangnya Islam, konsep ini berubah menjadi model perilaku Nabi, dan idealitas sunnah orang Arab pra Islam pun berakhir. Sementara itu, Josep Schacht memandang konsep ‘sunnah’ merupakan kreasi umat Islam belakangan (abad kedua hijriyah). Imam Syafi’i dianggap sebagai ahli hukum Islam pertama yang secara konsisten memberi batasan terhadap ‘sunnah’ sebagai model perilaku Nabi yang identik dengan tradisi Nabi.

Itulah mengapa Imam Syafi’i dijuluki sebagai penolong sunnah (nashiru al-sunnah), sebab dirinya menegaskan bahwa sunnah hanya merujuk kepada Nabi Muhammad, bukan pada ijtihad ulama-ulama regional. Konsekuensi yuridis dari pandangan Imam Syafi’i tersebut menjadikan sumber primer hukum Islam kedua setelah al-Qur’an adalah al-Sunnah. Imam Syafii dipandang sukses mengangkat derajat sunnah.

Dalam alur pikir Schacht, sebelum Imam Syafi’i menulis kitab al-Risalah, sunnah dimaknai sebagai amalan lokalitas penduduk Madinah dan konsensus ulama-ulama regional. Ketika itu sunnah tidak dipahami sebagai perkatan/perbuatan/persetujuan Nabi, sehingga tidak menjadikannya sebagai rujukan kedua setelah al-Qur’an. Dengan kata lain, sunnah awalnya hanya dipahami sebagai kebiasaan tradisional masyarakat lalu kemudian membentuk tradisi yang hidup (living tradition) pada basis yang sama dengan praktik yang disepakati secara umum.

Pemikiran Schacht yang menempatkan Imam Syafi’i sebagai tokoh sentral dalam perumusan hukum Islam ternyata memiliki implikasi yang cukup serius. Jika memandang Imam Syafi’i sebagai ulama yang satu-satunya meluruskan pemahaman ‘sunnah’ sebagaimana yang diungkapkan Schacht, maka konsekuensinya adalah semua hadis yang ada harus dipandang palsu terlebih dahulu sampai benar-benar bisa dibuktikan keasliannya.

Pelurusan definisi ‘sunnah’ oleh Imam Syafi’i secara tidak langsung mendorong upaya kodifikasi hadis. Pada abad kedua Hijriyah yakni pada masa penulisan hadis secara resmi dalam kutub al-sittah, alur periwayatan hadis (sanad) yang awalnya tidak terlalu diperhatikan berubah menjadi faktor yang paling dominan. Dalam pembuktian bahwa hadis itu valid (shahih), menurut imam Syafi’i, salah satunya harus melalui serangkaian rawi hingga sampai terhubung langsung kepada Nabi. Sehingga perkembangan sanad yang seperti itu dikenal dengan suatu proses proyeksi ide ke generasi yang lebih tua, atau disebut dengan teori projecting back.

Setelah Imam Syafi’i mengangkat derajat sunnah, ulama-ulama regional merasa perlu mencari dalil sunnah untuk memperkuat pendapatnya. Begitu pula dengan ahl al-hadis yang menentang ahl al-ra’y, termotivasi untuk memproduksi hadis lalu membuat-buat sanadnya secara fiktif seolah itu datang dari Nabi. Hal tersebut tidak jauh berbeda dengan ulama-ulama mazhab. Dalam misi mempertahankan pandangan mazhabnya, mereka memerlukan justifikasi sunnah agar kuantitas pengikutnya tidak turut menyusut.

Karena itulah, teori Projecting Back yang diperkenalkan Schacht memiliki implikasi yang serius, implikasi dari teori tersebut menghasilkan asumsi bahwa hadis yang berkembang sampai sekarang ini boleh jadi hanyalah kreasi fiksional para ulama abad kedua Hijriyah.

Tesis di atas mendapatkan banyak kritikan baik dari sarjana Islam maupun sarjana Barat. Salah seorang sarjana Islam yang mengkritik tesis Schacht adalah Muhammad Mustafa Azami. Azami berangkat dari asumsi bahwa kata sunnah sudah merujuk langsung ke Nabi sebelum Imam Syafi’i menulis kitab al-Risalah. Dalam membangun arguemennya, Azami menilai Schacht tidak bisa membedakan penyebutan ‘sunnah’ dalam versi alif lam sebagai penanda ma’rifat (al-sunnah), dan versi tanpa alif lam yang nakirah (sunnah). Jika ma’rifat (al-sunnah), maka itu merujuk langsung kepada Rasulullah, sehingga lama kelamaan penggunaan nakirah akhirnya sirna.

Sarjana Islam selain Azami yang mengkritik Schacht adalah seorang intelektual asal Pakistan bernama Ahmad Hasan. Menurutnya, Schacht terlalu membesar-besarkan pengaruh kitab al-Risalah karya Imam Syafi’i terhadap dunia Islam. Sedangkan peneliti Barat seperti Wael B. Hallaq justru mempertanyakan kadar pengaruh pasca Imam Syafi’i menulis kitab al-Risalah dalam sebuah jurnal internasional dengan judul yang agak tendensius: ‘Was al-Shafi’i the Master Architect of Islamic Jurisprudence?

Kesimpulan utama dari kedua peneliti di atas mereka ingin menunjukan bahwa terma ‘sunnah’ yang diperkenalkan Imam Syafi’i tidak memiliki pengaruh apa pun dalam dunia Islam, sebab kata ‘sunnah’ sendiri memang tidak pernah berubah menjadi sesuatu yang lain, selain datang dari Rasulullah.

Alasan Hallaq dan Hasan tidak membesar-besarkan keterpengaruhan Imam Syafi’i dalam dunia Islam, khususnya dalam bidang ushul fikih, karena mereka memiliki misi untuk melucuti hegemoni orientalis yang termanifestasi dalam klaim-klaim ekstrem seperti yang ditulis oleh Josep Schacht. Kedua tokoh ini berusaha menempatkan Imam Syafi’i dalam posisi yang proporsional, sehingga mematikan asumsi Schacht bahwa posisi sunnah setelah dan sebelum Imam Syafi’i berubah drastis.

Jadi, pujian Schacht atas Imam Syafi’i sesungguhnya memiliki motif terselubung untuk merendahkan konsep sunnah. Argument yang seakan “mengecilkan” peran Imam Syafi’i dari Hallaq dan Hasan dalam sejarah Hukum Islam itu justru bertujuan untuk membuat sang Imam terbebas dari jejaring teori yang tujuannya merendahkan sunnah—konsep yang Imam Syafi’i sendiri perjuangkan.

Kesimpulannya Imam Syafi’i memang penolong sunnah (nashiru al-sunnah) dari ancaman ahli kalam dan ahl ra’y, tapi pengaruhnya dalam dunia Islam tidak selebay apa yang ditakatan Josep Schacht.

No comments