Bung Besar Bilven Benar, Jokowi Layak Mendapat Piala Oscar 2019
Bung Besar Bilven Sandalista benar. Ternyata Pak Joko Widodo punya
bakat lain selain jadi presiden dan pengusaha. Dia pandai jadi aktor. Sexy
Killer adalah film pertamanya yang langsung sukses menyedot perhatian
publik. Sampai saat ini, film tersebut telah ditonton lebih dari 6 juta views.
Diputar di berbagai daerah tanpa bantuan bioskop. Didiskusikan secara massif
baik di sosial media maupun di dunia nyata. Ditonton dari yang baru akil baligh
sampai post-baligh. Anda yang sedang membaca ini pun pasti telah khatam
menonton film ini. Tentu selain pak Jokowi, nama-nama lain yang biasa kita
lihat di berita-berita politik tapi punya bakat lain jadi aktor adalah pak
Sandi Uno dan pak Luhut.
Dengan besarnya animo masyarakat terhadap film tersebut, panitia
Oscar 2019 perlu mempertimbangkan mereka bertiga masuk nominasi dalam kategori
aktor terfavorit. Sebagai perbandingan, Rami Malek yang memerankan musisi legendaris
Freddie Mercury di film Bohemian Rhapsody, dan Eddie Redmayne untuk
aktingnya sebagai Stephen Hawking di film The Theory of Everything,
keduanya sukses menyabet penghargaan bergengsi itu dengan susah payah menjadi
orang lain. Ya, menjadi orang lain. Saya yakin Rami Malek dan Eddie Redmayne
belum tentu mampu memerankan dirinya sendiri.
Pak Sandi, pak Jokowi, dan pak Luhut tanpa perlu diperankan aktor
profesional, ketiganya mampu menampilkan akting yang khas, berkelas, dan jauh
dari bayangan publik. Selama ini ketiganya dikhayalkan oleh khalayak ramai
sebagai sosok yang (mungkin) tanpa cacat. Dipandang sebagai tokoh nasional yang
berdedikasi tinggi pada bangsa dan negara. Pak Jokowi selalu diilustrasikan
sebagai pejabat yang sederhana oleh awak media. Pak Sandi sering dibayangkan
sebagai manusia religius tanpa cacat oleh organisasi emak-emak. Sementara pak
Luhut sebagai mantan jenderal sering merasa tidak punya rekam masa lalu yang
buruk oleh dirinya sendiri.
Tapi kehadiran film Sexy Killer ini membuat publik jadi
tercengang betapa hebatnya mereka berdrama dalam mengurus negeri ini. Mereka
seperti keluar dari sifat asli mereka yang sering dicitrakan oleh berbagai
media dan manusia. Film tersebut menampilkan bagaimana all out-nya
mereka menjalankan profesi baru sebagai aktor. Kita sebagai masyarakat awam
melihat ketiganya seperti tidak sedang akting, seperti benar-benar sifat asli
mereka itu bobrok. Tentu kalau bukan karena kualitas akting mereka yang
mempuni, tidak mungkin film tentang tambang batu bara ini akan meledak di
tengah masyarakat.
Syahdan! Saking hebatnya pengaruh film Sexy ini, teman saya
sampai-sampai terbius dengan olah akting yang ditampilkan pak Jokowi, pak Luhut
dan pak Sandi hingga dirinya benar-benar mantap untuk Golput. Dia mengatakan
watak sesungguhnya para elit di negeri ini benar-benar ancur dan rakus. Dirinya
selama ini seperti dibohongi oleh citra media yang cenderung menipu menampilkan
sosok mereka yang seakan tanpa cela. Berdasarkan film tersebut teman saya lalu
menyimpulkan bahwa siapa pun yang menang di Pilpres tahun 2019 ini, yang kalah
adalah rakyat.
Sayangnya teman saya itu tidak cukup asupan akal untuk membedakan
mana film dan mana realitas nyata. Dia tidak mengerti kalau film hanyalah
cerita fiktif yang dibuat-buat oleh sutradara dengan tipuan audio visual.
Selain bantuan teknologi, faktor utama keberhasilan sebuah film terletak pada
olah drama yang dilakukan para aktornya. Dengan logika seperti ini, bila sebuah
film mampu memberikan pengaruh nyata pada gerak masyarakat, maka film tersebut
dianggap telah sukses menyihir setiap penontonnya.
Pasca film Lima 5 cm, misalnya, orang-orang mulai
termotivasi menulis puisi sambil mendaki gunung. Film ini memberikan kontribusi
positif untuk industri wisata di tanah air. Setelah film Filosofi Kopi
tayang di bioskop, muncul manusia-manusia yang sok-sokan paling mengerti ihwal
kopi hingga membuli peminum kopi Kapal Api dan Good Day. Sama seperti Lima 5
cm, film Filosofi Kopi sukses memberikan kontribusi positif untuk
petani kopi di seluruh Nusantara. Dari sana dapat kita cerna bahwa secara
subtansial film yang hebat mampu memberikan power yang akan berimplikasi pada
gerak masyarakat.
Termasuk film Sexy Killer. Film yang berdurasi satu jam
lebih ini memberikan pengaruh luarbiasa pada gerakan Golput di PEMILU 2019.
Semua pengaruh ini tentu saja tidak terlepas dari para aktor yang luarbiasa
memainkan perannya masing-masing di dalam drama Sexy Killer. Itulah kenapa saya
merasa mereka layak masuk nominasi aktor terfavorit, sebab daya ledak
pengaruhnya yang luarbiasa pada gerakan sosial-politik. Setahu saya, hampir
tidak ada film di dunia ini yang output-nya melahirkan ide untuk Golput
secara massal, selain Sexy Killer. Sekali lagi, ini berkat akting pak Jokowi,
pak Luhut, dan pak Sandi.
Akan tetapi, film adalah film. Segala yang ditampilkan Sexy
Killer hanyalah citra imajinatif yang diciptakan oleh para pembuatnya. Jadi
kalau kita mempercayai sebuah film sebagai suatu kebenaran, lalu apa kita harus
percaya juga pada setiap drama azab di Indosiar?
Jadi, apa yang Sexy Killer tampilkan tentang sosok pak
Jokowi, pak Luhut, dan pak Sandi sepenuhnya tidaklah benar. Mereka hanya sedang
berusaha menjadi aktor profesional yang mungkin punya niatan meruntuhkan para
oligarkhi seperti Reza Rahardian, Vino G. Sebastian, dan Ridwan Kamil. Harapan
saya semoga ke depannya mereka fokus meniti karir sebagai aktor saja, tidak
menjadi yang lain, apalagi jadi pejabat publik. Nanti terlalu banyak drama.
Post a Comment