Dia Santri dan Dia Atheis
Jangan
kaget yah, saya adalah seorang alumni santri di salah satu pesantren di daerah
Ciamis, Jawabarat. Namun yang saya sayangkan terkadang manusia melihat sebuah
objek hanya dari permukaan, sehingga fakta sesungguhnya di balik layar kurang
ditangkap yang mungkin berbeda 180 derajat dari yang nampak. Orang-orang di
sekitar saya, misalnya, tidak percaya bahwa saya adalah lulusan pesantren.
Itulah alasan kenapa saya sering bercurhat kepada cermin: “apa diri ini tidak
pantas menjadi seorang alumni santri ?”
Jika
saya saja yang setiap hari ba’da shalat maghrib mengaji di mushala dan kadang
jadi khatib di beberap masjid masih dipertanyakan ke-santri-an-nya, bagaimana
pula dengan teman saya yang mengaku sebagai seorang santri sekaligus atheis ?
Di pesantren itu saya punya teman yang cukup unik. Sulit untuk tidak dikatakan unik, ia hidup dan berbaur menyatu di lingkungan yang serba religious sedangkan ia sendiri masih memegang teguh keimanannya tentang ketiadaan Sang Pencipta. Setiap hari dia shalat, ngaji bareng, kadang lebih rajin dan khusyuk dibanding santri yang lain.
Bahkan
dalam pelajaran ilmu mantiq (ilmu logika) ia lebih unggul dari santri yang
lain. Karena kepintarannya dalam logika, ustadz saya menjulukinya sebagai
titisan Raden Kian Santang, eh, Ibnu Rusyd. Namun teman saya itu bukanlah atheis
lebay yang sok-sokan kritis dengan nalar orang-orang yang beragama. Walau
dirinya tahu betul kekurangan umat Islam, dirinya tidak mengekspresikan suatu
pandangan yang merendahkan umat Nabi Muhammad.
Sikap
tersebut berbanding terbalik dengan sebagian umat Islam sendiri yang kadang menjadi
“Uncle Tom”. Uncle Tom adalah istilah kulit hitam yang belagak baik di depan
orang kulit putih rasis agar eksistensinya diakui. Dalam konteks agama, umat
Islam kadang setuju dengan orang kafir karena tekanan stigma, hingga akhirnya
mereka saling menyalahkan dan melecehkan saudara seimannya, demi diakui toleran
oleh agama lain.
Nah
teman saya itu, meskipun dia hidup di lingkungan yang serba bertentangan dengan
prinsip dasar ke-atheis-an-nya, ia tidak pernah melakukan suatu tindakan ceroboh
seperti berdakwah mengajak santri yang lain untuk tidak percaya kepada Tuhan,
atau mengajak ke hal-hal yang dilarang oleh Syariat. Tampaknya ia sudah hafal
betul tentang urgensi dari betapa nikmatnya hidup berdampingan bercover
toleransi yang hakiki. Dalam perilaku sehari-harinya itu, ia jauh lebih
“Islami” dibandingkan kelompok yang menyandangkan namanya dengan kata “Islam”.
Secara
tidak langsung saya pun merasa ditampar keras oleh perilakunya yang ramah
lingkungan, bersahaja dan dermawan. Sulit dibayangkan, ia begitu rajin shalat
tahajud, mengucapkan salam tatkala bertemu dengan santri yang lain, bahkan
dalam beberapa kali perlombaan membaca kitab kuning, ia kerap juara pertama dan
kedua atau setidaknya… tidak juara sama sekali. Meskipun perilakunya yang “over
religious” jika dibandingkan dengan santri yang lain, ia tetap berkesimpulan
bahwa Tuhan tidak ada.
Saya
pun mulai penasaran dengan pola pikirnya, kemudian saya menanyakan tentang
kepribadiannya yang unik, dia menjawab dengan mantap: “Tuhan itu tidak ada,
namun saya menikmati “aturan-aturan” yang dibuat-Nya. Saya senang dengan
syariat Islam. Kalo diterapkan secara kaffah sungguh seisi dunia ini adil dan
makmur. Tidak seperti sekarang. Demokrasi hanya menghadirkan keadilan semu.”
Jawaban itu membuat saya JLEB!! Dia memandang bahwa aturan kehidupan yang sudah digariskan oleh al-Quran dan as-Sunah sangat paralel dengan kehidupan yang harmonis dan cocok diterapkan di dalam tatanan masyarakat yang plural. Bayangkan, katanya, tersenyum saja di dalam Islam dipandang sebagai shadaqah, memelihara kebersihan saja sudah bergelar orang yang beriman, dan membiarkan jenggot tumbuh subur seperti Surya Paloh saja dikateogrikan sunnah.
“Oh
sungguh indahnya jika suatu hari nanti Khilafah dapat berdiri tegak di bumi ini”,
katanya dengan mata yang berbinar-binar.
Dia rajin shalat, puasa, zakat bahkan kabarnya akan naik haji tapi masih belum mampu karena hutangnya ke warung sebelah masih menggunung. Tampaknya teman saya itu hanya menjadikan Islam sebagai “life style”, hanya sebagai gaya hidup, bukan sebagai system “worldview” dalam melihat realitas. Kemudian saya menanyakan satu hal yang paling “sensitif” bagi dirinya, kutanya, “kenapa kamu tidak percaya saja kepada Tuhan ?”
Merasa tersinggung dia pun berpikir cukup lama, kemudian menjawab: “saya lahir dan dibesarkan dari keluarga atheis yang cukup shaleh, saya tidak mau murtad. Saya senang menjadi atheis. Saya senang tidak percaya kepada Tuhan.”
Menurut
saya wajar saja dia percaya tidak ada Tuhan, wong ke-atheis-an-nya hanya
warisan yang didapat secara nepotik dari keluarganya, bukan hasil observasi
diri sendiri seperti Ahmad Husain Harqan yang dulunya seorang salafi bahkan hafal
Quran. Tidak pula hasil perenungan mendalam, melainkan hasil konstruksi
keluarganya. Jadi wajar saja.
Namun,
lagi, dugaan saya kembali melenceng dari mistar gawang. Ternyata teman saya
itu, setelah membaca Quran dan menghafal hadits yang bisa memakan waktu hingga 3
jam, ia sering membaca buku-buku ilmiah dari para intelektual atheis top dunia
semacam Stephen Hawking dan Richard Dawkins. Setelah saya amati, ternyata ia
juga sering mendownload ceramah-ceramah kerohanian dari Samuel Benjamin Harris
dan Christopher Hitchens di youtube, tentu saja, setelah melaksanakan
sembahyang shalat tahajud.
Ada satu segmen yang paling menarik ketika saya duduk diskusi dengannya tentang hukum Islam. Walau
pun dirinya dengan Richard Dawkins memiliki aqidah yang sama, namun beberapa
pandangan Dawkins tidak dapat diterima oleh akal sehat teman saya. Misalnya
Dawkins ingin menerapkan sistem sekular di seluruh dunia agar tiada lagi
penindasan terhadap kaum perempuan dan anak-anak lantaran penerapan syariat
Islam. Klaim bahwa Islam mengatur seluruh aspek kehidupan dari bangun tidur
sampai tidur lagi, menurut Dawkins, justru akan memberatkan umat Islam sendiri.
Kalau melanggar, harus dihukum, dapat dosa, neraka.
Menurut
teman saya yang ateis itu, Dawkins keliru dalam memandang hukum Islam. Hukum Islam itu tidak melulu
tentang hukum, tapi juga menjadi sistem etik dan sistem epistemologis. Karena
itulah, tidak semua ketentuan syariah ditegakkan secara yuridis.
Untuk menjelaskan hal ini, teman saya mengilustrasikannya dengan tiga perintah
berbeda yang terdapat dalam al-Quran.
Pertama,
tentang perintah menjawab salam (penghormatan). Perintah ini merupakan
kewajiban moral-etik yang diberlakukan kepada Muslim, tapi penegakannya tidak
bersifat yuridis. Artinya, ketika ada seorang Muslim yang menolak atau tidak
mau menjawab salam, maka pelanggaran ini tidak dapat dibawa kepada pengadilan
syariah, meskipun secara jelas al-Quran memerintahkan menjawab salam.
Kedua,
perintah tentang kewajiban melaksanakan haji. Sama seperti jenis perintah
pertama, kewajiban haji merupakan perintah yang penegakannya tidak bersifat
yuridis, karena ia merupakan perintah yang kaitannya dengan ibadah dan akidah.
Pelanggaran terhadap perintah ini, tidak mengakibatkan si pelanggar diadili
dalam pengadilan syariah, meskipun jelas al-Quran memerintahkan berhaji.
Ketiga,
perintah atau ketentuan tentang waris. Berbeda dengan dua jenis ketentuan atau
perintah sebelumnya, ketentuan tentang hak waris tidak hanya soal moral-etis
tapi juga yuridis. Oleh karena itu, seseorang dapat menuntut anggota
keluarganya di pengadilan syariah ketika misalnya ia tidak diberikan hak waris
yang semestinya.
Bantahan
tersebut begitu telak bagi saya. Dia memang menguasai filsafat hukum Islam,
namun tetap enggan masuk Islam. Akhirnya saya pun menyerah untuk membujuk
dirinya percaya kepada Tuhan. Meskipun begitu, saya melihat bahwa dia adalah
seorang sahabat, dia adalah santri yang cerdas, dia adalah atheis yang dermawan, dan dia adalah... tokoh FIKTIF!
TAMAT!
~
saya ndak kaget, memang begitulah manusia
ReplyDeleteMaaf Mas saya baper :(((
Deletesaya ndak kaget, memang begitulah manusia
ReplyDeletePaan sih euy ?
ReplyDeleteDia adalah tokoh fiktif wkwkwkwk
ReplyDeleteHeheheeee
DeleteSebelum tau kalau dia itu tokoh fiktif. Saya kefikiran untuk mencari dia di sosmed dan baca tulisan2 dia. Eh ternyata saya di php-in penulisnya -_-
ReplyDeleteCari aja, namanya Ilham Ibrahim haha
Deletekeren tulisannya
ReplyDeletesesaat kukira memang beneran ada.
ternyata tidak ada yang begituan yah
Kalau ada harus masuk 7 keajaiban dunia versi Calon Sarjana hehe
DeleteDia adalah tokoh fiktif, baca ini sambil membayangkan orang yang menulis ini.
ReplyDeleteHahaha mon maap
DeleteHahaha rasanya saya mengerti pemikiranmu, cuma beda kondisi doang km islam dan saya katholik, setelah baca2 tulisan sampeyan rasanya setiap agama permasalahannya gak beda jauh.. 😂😂
DeleteSalam :))))))
DeleteDan dia adalah...kepribadian anda yang lain... Multiple disorder 😃😃😃
ReplyDelete