Membongkar Pokok Pemikiran Thomas Aquinas (1225–1274)
Oleh:
Ilham Ibrahim
Filsafat
adalah induk ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, filsafat selalu diartikan sebagai seni bertanya dan
pernyataan. Misalkan, “who Am I ?” dari pertanyaan ini munculah suatu disiplin
ilmu antropologi dan psikologi. Selain berupa pertanyaan, filsafat juga selalu
bermula dari sebuah pernyataan. Seperti halnya ungkapan yang paling terkenal
dari Socrates “Sesungguhnya aku tau, kalau aku itu tidak tau.” Dari pernyataan
ini warga Athena langsung mempunyai ‘ghirah’ untuk menggunakan akalnya dan
mulai membuang perbudakan akal. Bagi warga Athena, lebih baik akal tetap
berjalan daripada akal harus berhenti karena doktrin dari para Dewa.
Oleh
karena itu, menurut Louis O. Kattsoff “perbudakan akal jauh lebih menyedihkan
daripada perbudakan raga. Apabila seseorang diperbudak secara ragawi,
setidak-tidaknya tubuhnya akan mendapatkan perawatan sedemikian rupa sehingga
mampu bekerja. Jika seseorang diperbudak secara akali, maka apapun akan
dilakukan untuk menjadikan akal pikirannya haus sehingga akal pikiran tersebut
tidak lagi bekerja.”[1]
Kisah seperti sama halnya dengan kisah para filosof Eropa di bawah kekuasaan
gereja di abad pertengahan. Kebebasan untuk berfilsafat adalah menggunakan akal
secara bebas memang harus dibatasi oleh pihak gereja. Bagaimana tidak,
andaikata gereja terus memperbolehkan semua orang untuk menggunakan akal secara
bebas, maka teologi Kristen yang irrasional dengan konsep trintasnya, lambut
laun akan hilang ditelan para filosof.
Namun,
semuanya berubah saat Thomas Aquinas lahir di bumi Italia. Prestasi yang paling
gemilang darinya adalah berhasil mengawinkan antara akal dengan doktrin
Kristen. Menurut Jostein Gaarder dalam novel filsafatnya yang berjudul Dunia Sophie, menyatakan bahwa “Thomas
Aquinas adalah filosof terbesar dan paling penting di abad pertengahan karena
berhasil ‘mengkristenkan’ Aristoteles seperti halnya St. Agustin
‘mengkristenkan’ Plato di awal abad pertengahan.”[2] Thomas
Aquinas adalah filosof sekaligus teolog yang tangguh. Beliau memberikan
pencerahan tentang etika, teologi, dan epistemologi yang nanti akan dijelaskan
secara rinci.
Biografi Thomas Aquinas[3]
Thomas Aquinas on fraternal correction |
Thomas
Aquinas lahir pada tahun 1225 di Italia. Ia adalah seorang filsuf dan ahli
teologi ternama dari Italia. Ia menjadi terkenal karena dapat membuat sintesis
dari filsafat Aristoteles dan ajaran gereja Kristen. Ia juga dikenal sebagai
ahli teologi utama Kristen, bahkan dianggap orang suci oleh Gereja Katolik dan
memiliki gelar Santo. Ayah
Aquinas adalah Pangeran Landulf dari Aquino, seorang peganut Kristen Katolik
yang shaleh. Itulah sebabnya, pada umur lima tahun, Aquinas diserahkan ke biara
Benedictus di Monte Cassino, Aquinas dipindahkan ke Naples untuk menyelesaikan
pendidikan bahasanya.
Selama
di Naples, Aquinas mulai tertarik pada pekerjaan kerasulan gereja dan berusaha
pindah ke Ordo Dominikan. Ketika itu, ordo ini hanya sebuah ordo keagamaan
Katolik Roma, akan tetapi ketika abad pertengahan, Ordo Dominikan memang sangat
berperan penting dalam pembentukan doktrin Kristen, itulah alasan utama mengapa
Aquinas ingin pindah kesana. Namun
sayangnya, keinginan Aquinas tidak mendapatkan restu dari orang tuanya,
sehingga ia harus tinggal di Roccaseca selama lebih dari setahun.
Karena tekad
Aquinas begitu bulat, akhirnya orang tua Aquinas menyerah kepada keinginannya
dan pada tahun 1245, Aquinas resmi menjadi anggota Ordo Dominikan. Sebagai
anggota Ordo Dominikan, Thomas Aquinas belajar ke Universitas Paris, sebuah
universitas yang sangat terkemuka ketika itu. Ia belajar disana selama tiga
tahun dan disana pula ia berkenalan dengan Albertus Magnus, sosok sentral yang
telah memperkenalkan filsafat Aristoteles kepadanya.
Aquinas pernah menemani
Albertus Magnus ketika memberikan kuliah di Stadium Generale di Cologne,
Prancis pada tahun 1248-1252 M. Dalam
kuliahnya, Albertus Magnus mengajarkan bahwa Allah sebagai “ada yang tak
terbatas” (ipsum esse subsitens).
Allah adalah Dzat yang tertinggi yakni Dzat yang mempunyai keadaan yang paling
tinggi. Dan, Allah adalah penggerak yang tidak bergerak yang merupakan jalan
satu-satuya keselamatan.
Oleh
karena itulah, gereja dipandang Aquinas sebagai lembaga keselamatan yang tidak
dapat berbuat salah dalam ajarannya. Paus memiliki kuasa yang tertinggi dalam
gereja dan Pauslah satu-satunya pengajar yang tertinggi dalam gereja. Thomas Aquinas
adalah filsuf dan teolog yang sangat penting bagi gereja. Namanya terus
dikenang hingga kini sebagai seorang filsuf dan teolog yang canggih. Pada
tanggal 7 Maret 1274 di Fossanova,
Italia, Thomas Aquinas menghembuskan nafas terkahirnya.
Pokok Pemikiran Thomas Aquinas
Pemikiran
Thomas Aquinas yang terpengaruh oleh filsafatnya Aristoteles sangat Nampak
jelas. Namun, pengaruh Islam di Spanyol sangat terasa di sepanjang abad
pertengahan. Para filosof Muslim telah lama mempelajari dan menerjemakan
karya-karya Aristoteles. Bahkan, tidak sedikit pengamat memandang bahwa Thomas
Aquinas selalu disejajarkan dengan al Ghazali.
Menurut Margaret Smith dalam bukunya yang berjudul Al-Ghazali The Mystic yang diterbitkan di Loheren, Pakistan pada
tahun 1983, menyatakan bahwa: “The
greatest of these Christian writers who was influenced by Al-Ghazali was St.
Thomas Aquinas (1225–1274), who made a study of the Arabic writers and admitted
his indebtedness to them. He studied at the University of Naples where the
influence of Arab literature and culture was predominant at the time.”[4]
Selain
itu, menurut Hamid Fahmy Zarkasyi dalam bukunya yang berjudul Misykat: Refleksi Tentang Westerenisasi,
Liberalisasi dan Islam menyebutkan bahwa Thomas Aquinas menjadi “santri” setia Ibnu Sina dalam bidang
mantiq.[5] Lebih lanjut lagi, karena pengaruh pemikiran al Ghazali
yang begitu kuat dalam pandangan Thomas Aquinas, ia ikut ‘membela’ al Ghazali
dan mengkritik balik Ibnu Rusyd dalam bukunya yang berjudul De Unitate Intellectur: Contra Averroistas
atau dalam bahasa Indonesianya Kesatuan
Intelek: Kritik Terhadap Ibnu Rusyd.[6]
Akan tetapi, menurut Bertrand Russell “Saya mesti mengatakan
bahwa De Anima[7] lebih
memperlihatkan pandangan Averroes daripada Aquinas; namun demikian, pihak
Gereja, sejak Thomas, menganggap sebaliknya.”[8]
Artinya, Bertrand Russel menilai bahwa kemampuan Thomas Aquinas tidak lebih
baik dari filsuf muslim Ibnu Rusyd.
Meskipun
tidak lebih baik dari Ibnu Rusyd, pemikiran Thomas Aquinas sangat berpengaruh
besar di zaman Skolastik terutama dengan gagasan utamanya yaitu mengawinkan
antara akal dan iman, agama dan filsafat. Pokok-pokok pemikiran Thomas Aquinas
telah dibahas secara rinci dan sistematis oleh Ahmad Tafsir dalam bukunya yang
diberi judul Filsafat Umum: Akal dan Hati
Sejak Thales sampai Capra, ia membagi pemikiran Thomas Aquinas kedalam
beberapa bagian, namun penulis membatasinya menjadi tiga pokok pemikirannya
sebagai seorang filosof dan teolog, diantaranya:
Pemikiran Thomas
Aquinas dalam Teologi
Ahli teologi selalu menganggap bahwa eksistensi Tuhan tidak
bisa diketahui oleh akal dan hanya dapat diketahui oleh iman. Namun, menurut
Aquinas, eksistensi Tuhan dapat diketahui oleh akal. Ia mengajukan lima dalil
atau argumen untuk menunjukan eksistensi Tuhan dengan akal, diantaranya:[9]
Pertama, diangkat dari sifat alam yang
selalu bergerak. Setiap yang bergerak pasti digerakan oleh yang lain sebab
tidak mungkin suatu perubahan dari potensialitas bergerak ke aktualitas
bergerak tanpa ada penyebabnya dan penyebabnya itu tidak mungkin ada pada
dirinya sendiri. Dengan kata lain, tidak mungkin sesuatu bergerak dengan
sendirinya. Oleh karena itu, menurut Thomas Aquinas, karena alam ini bergerak,
maka pastilah ada Penggerak Pertama, yaitu Penggerak Yang tidak digerakan oleh
yang lain. Itulah Tuhan.
Kedua, Disebut sebab yang mencukupi.
Didalam dunia inderawi kita saksikan adanya sebab yang mencukupi. Dalam
kenyataannya yang ada ialah rangkaian sebab dan musabab. Seluruh sebab
berurutan dengan teratur: penyebab pertama menghasilkan musabab, musabab ini
menjadi penyebab yang kedua yang menghasilkan musabab kedua, dan begitu
seterusnya sehingga terjadi rangkaian penyebab. Itu berarti jika membuang sebab
sama dengan membuang musabab. Artinya, bila ada Sebab Pertama, tentu tidak akan
ada rangkaian sebab. Dan pada akhirnya Thomas Aquinas menyimpulkan bahwa yang
menjadi Sebab Pertama adalah Tuhan.
Ketiga, argumen kemungkinan dan
keharusan. Alam semesta ini bermula dari tidak ada menjadi ada. Jika alam ini
ada, maka haruslah mengadakan Ada
Pertama. Artinya, Ada Pertama itu harus ada karena adanya alam semesta ini.
Akan tetapi, ada yang harus ada itu darimana ? terjadi rangkaian penyebab.
Thomas Aquinas beranggapan bahwa kita harus berhenti pada Penyebab yang harus ada. Itulah Tuhan.
Keempat, memperhatikan tingkatan yang
terdapat pada alam ini. Isi alam ini berkekurangan dan berkelebihan. Misalnya
dalam hal keindahan, kebaikan dan kebenaran. Ada yang indah, ada yang paling
indah dan ada pula yang terindah. Tingkatan tertinggi menjadi sebab tingkatan
dibawahnya. Artinya, Tuhan itu Yang Maha Sempurna, Yang Maha Benar adalah sebab
bagi sempurna dan benar pada tingkatan di bawah-Nya. Karena itu, harus ada
tingkatan yang tertinggi, dan Thomas Aquinas berpendapat bahwa tingkatan
tertinggi ialah Tuhan.
Kelima, berdasarkan keteratuan
alam. Keteraturan alam adalah tujuan dari alam diciptakan. Alam tidak mempunyai
akal namun benda-benda yang ada di dalam alam semesta ini diatur oleh sesuatu
dalam bertindak mencapai tujuannya. Sesuatu yang tidak berakal tidak mungkin
mencapai sebuah tujuan. Namun, nyatanya alam mencapai tujuan itu. Adalah
mustahil jika tidak ada yang mengarahkan untuk alam ini. Yang mengarahkan itu
pasti mempunyai akal dan mengetahui. Yang mengarahkan alam semesta dan isinya
ini harus ada. Haruslah berakal dan berpengetahuan pula. Thomas Aquinas
menganggap bahwa yang mengarahkan alam untuk mencapai tujuannya—keteraturan
alam— ialah Tuhan.
Demikianlah lima dalil tentang eksistensi Tuhan menurut
Thomas Aquinas. Argument ini menurut Ahmad Tafsir sangat terkenal di Abad
Pertengahan dan bisa dilihat dalam karya klasik Thomas Aquinas yang berjudul Summa Teologica.
Teori Pengetahuan
Thomas Aquinas
Dalam seluruh teorinya tentang pengetahuan, Thomas Aquinas
konsisten dengan pandangannya bahwa akal dan iman itu tidak bertentangan. Baginya,
filsafat ditentukan oleh penjelasan sistematis akliyah, sedangakan agama
ditentukan oleh keimanan. Dengan demikian, pengetahuan sebenarnya adalah
gabungan dari kedua-duanya.
Ahmad Tafsir menyebut bahwa Thomas Aquinas selalu mengajarkan
untuk menyeimbangkan akal dan iman; akal membantu membangun dasar-dasar
filsafat Kristen. Akan tetapi, harus selalu disadari bahwa hal itu tidak selalu
dapat dilakukan karena akal terbatas. Akal tidak dapat memberikan penjelasan
tentang kehidupan kembali dan penebusan dosa. Akal tidak akan mampu membuktikan
kenyataan esensial tentang keimanan Kristen. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa
dogma-dogma Kristen tetap sebagaimana yang disebutkan dalam firman-firman
Tuhan.[10]
Dengan demikian, pengetahuan dalam filsafat Thomas Aquinas
mempunyai dua jalur. Jalur itu ialah jalur akal yang dimulai dari manusia dan
berakhir pada Tuhan, lalu yang kedua ialah jalur iman yang dimulai dari Tuhan,
didukung oleh akal.
Etika dalam Pandangan
Thomas Aquinas
Nilai etika yang tertinggi pada etika Aquinas adalah Kebaikan
Tertinggi.[11] Pandangan etika Aquinas
menekankan superioritas kebaikan keagamaan. Karenanya ia banyak membahas
persoalan keimanan. Ia sangat toleran terhadap orang-orang yang tidak beriman
dan bekerja sama dengan mereka, tetapi terang-terangan menuduh mereka kafir.
Dasar kebaikan secara universal adalah kemurahan hati yang
menurut Aquinas lebih dari sekedar kedemawanan atau belas kasihan. Kemurahan
hati itu terdapat di dalam jiwa yang penuh dengan cinta. Cinta kepada Tuhan
datang pertama kali, dari situ muncul cinta kepada selain Tuhan. Akan tetapi
konsepnya tidak menyeluruh karena tidak mencakup orang kafir.
Menurut Ahmad Tafsir, kehidupan pertapa memainkan peran
penting di dalam etikanya. Oleh karena itu, Aquinas setuju kepada st.
Augustinus yang mengajarkan bahwa kehidupan membujang lebih baik daripada
kawin. Hidup dalam perkawinan itu rendah.[12]
Selain itu, Thomas Aquinas berpendapat bahwa perkawinan itu tidak boleh
berujung pada perceraian karena perceraian itu berlawanan dengan hukum
masyarakat dan menentang Tuhan. Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa monogami
adalah watak asli manusia dan ia juga menentang pembatasan kelahiran.
Mengenai free will
atau kebebasan berkendak, menurut Ahmad Tafsir, Thomas Aquinas menyatakan bahwa
manusia berada pada kedudukan yang berbeda dari Tuhan. Tuhan selalu benar
sedangkan manusia kadang salah. Dalam memilih, manusia selalu dipengaruhi oleh
materi. Karena itulah, kemauan manusia itu datang dari dalam diri sendiri bukan
ditentukan oleh sesuatu yang di luar dirinya. Artinya, jika seseorang memilih
salah, maka layaklah orang itu mendapatkan hukuman.
Kesimpulan
Thomas Aquinas adalah filsuf yang lahir di bumi Italia.
Keseluruhan pemikirannya selalu mendorng untuk tidak mempertentangkan antara
filsafat dengan agama dan akal dengan iman. Karena menurutnya kedua sama sekali
tidak bertentangan. Akal membantu memahami agama dan agama menjadi pembatas
dari akal.
Selain itu, dengan akal, Thomas Aquinas dapat membuktikan
adanya Tuhan dengan argument yang filosofis-ilmiah. Dari segi epistemologi, ia
berpendapat bahwa iman dan akal adalah sumber dari pengetahun dan dalam segi
etika, manusia berada dalam pengawasan Tuhan, maka barang siapa yang berbuat
kesalahan, ia akan dihukum karena kesalahan itu bentuk tidak tunduknya manusia
kepada Tuhan.
[1] Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, Yogyakarta, Tiara
Wacana Yogya, Cetakan IX 2014, h. XXI.
[2] Jostein Gaarder, Dunia Sophie, Bandung, Mizan, Cetakan
VIII 2013, h. 282.
[3] Biografi dari Thomas Aquinas ini,
penulis mengutip pokok-pokok pentingnya dari salah satu buku. Lihat: Wahyu
Murtiningsih, Para Filsuf dari Plato
sampai Ibnu Bajah, Yogyakarta, DIVA Press, Cetakan I 2012, h. 68-71.
[4] Margaret Smith, Al-Ghazali The Mystic: A Study of the Life and
Personality of Abu Hamid Muhammad al-Tusi al-Ghazali, Lahore, Pakistan, Al-Hijra Publishers,
1983, h. 220.
[5] Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat: Refleksi tentang Westernisasi,
Liberalisasi dan Islam, Jakarta, INSIST – MIUMI, Cetakan II 2012, h. 82-83.
[6] Ibid, h.
83.
[7] De
Anima adalah sebuah buku yang ditulis oleh Aristoteles, keseluruhannya berisi
tentang psikologi. Lihat: Adelbert Snijder, Seluas Segala Kenyataan¸Yogyakarta,
Penerbit Kanisius, Cetakan V 2013, h. IX.
[8] Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Cetakan III
2007, h. 599-600.
[9] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra, Bandung,
Rosda, Cetakan X 2013, h. 98-100.
[10] Ibid,
h. 104.
[11] Ibid,
h. 105.
[12] Ibid,
h. 106.
Izin berbagi artikel ini untuk Templum Scientia ya gan.
ReplyDeleteHaha suatu kehormatan. Silahkan, Bang :D
DeleteIrasional itu ada dalam semua nilai nilai tentang KeTuhanan.
ReplyDeleteTentu. Agar Tuhan tetap menjadi diskursus yang menyenangkan dan membuatnya segar terus :D
DeleteMohon bantuan
ReplyDeleteApakah kekuasaan dari rakyat atau tuhan. Pendapat Aristoteles di dukung oleh Thomas Aquinas. Bagaimana Thomas Aquinas mendamaikan pendapat tersebut.
terima kasih
Aquinas ini unik sih, dia menggunakan argumen "gereja" untuk mendukung pandangan politik Aristotelian..
DeleteThomas Aquinas dalam bidang ilmu dan pemikiran nya di jabarkan seperti apa saja yang menyangkut filsafat dan ilmu pengetahuan
ReplyDelete