Membayangkan Ibnu Rusyd, al-Ghazali, David Hume dan Thomas Aquinas dalam Satu Asrama
Di suatu pesantren salaf tersebutlah seorang santri bernama
Ibnu Rusyd dari Cordova, Spanyol. Ia tampaknya ingin memperdalam ilmu fiqh
meskipun kitab Bidayatul Mujtahid wa
Nihayatul Muqtashid menjadi rujukan terutama bagi para penikmat kajian
antar madzhab.
Di pesantren itu, Ibnu Rusyd bertemu dengan kawan
sepemikirannya yang sama-sama tercatat sebagai Aristotelian, kawannya itu
bernama Thomas Aquinas, santri dari Roccasecca, Italiano.
Keduanya merupakan santri yang cerdas. Dalam bidang ushul
fiqh, misalnya, Ibnu Rusyd mampu menghadirkan corak baru tentang qiyas meskipun Imam Syafi’I yang pertama
kali mengenalkannya dalam Kitab ar-Risalah.
Menurutnya, menggunakan qiyas dalam menalar
hukum yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah dengan mencari Illat
sebagai alat penghubung antara hukum baru dengan hukum asal adalah sebuah
keharusan.
Sedangkan
Thomas Aquinas cukup cerdas dalam ilmu kalam (teologi). Sebagai buktinya Aquinas pernah berhasil membantah
atheis tentang eksistensi Tuhan. Dengan meminjam Teori Gerak-nya Aristoteles
yang mengatakan bahwa alam selalu bergerak maka dibutuhkan sang Penggerak yang
tidak bergerak (unmoved mover) kemudian
Aquinas menyimpulkan bahwa Tuhan adalah sosok yang pas menyandang sebagai
Penggerak Pertama (causa prima) dari
rangkaian gerak. Argument Aquinas begitu telak menusuk relung jiwa sehingga si
atheis itu menjadi mualaf.
Selain Ibnu Rusyd dan Aquinas yang menjadi primadona para
santriawati karena kecerdasannya dalam berbagai disiplin ilmu kepesantrenan,
ada dua sosok lagi yang senantiasa sering mencuri perhatian para ustadz di
pesantren itu, kedua santri itu adalah David Hume dan al-Ghazali.
Al-Ghazali adalah santri yang berasal dari tanah anarki Khurasan
asli keturunan Persia. Dia merupakan teolog Asy’ariyah yang paling cemerlang.
Kehebatannya dalam berdialektika dan beretorika dapat anda saksikan di dalam
karya monumentalnya yang berjudul Tahafut
al-Falasifah.
Sementara itu David Hume adalah santri dari Edinburgh,
Skotlandia, yang nun jauh disana. Banyak orang menyebutnya sebagai seorang ultimate skeptic atau skeptis tingkat
tinggi, dimana ide rasio tidak melebihi
pengalaman. Bahkan Hume sangat menekankan aspek pengalaman daripada rasionalitas
dalam menjelaskan segala sesuatu.
Tahun ajaran baru, peraturan baru, asrama baru dan teman
baru. Di tahun ajaran ini, Ibnu Rusyd, al-Ghazali, David Hume dan Thomas
Aquinas berada dalam satu asrama. Karena keberadaan empat orang santri cerdas dalam
satu asrama ini, tampaknya banyak santri merasa iri dan ingin menjadi bagian
dari asrama Los Galacticos.
Banyangkan betapa ruwetnya asrama diisi oleh para pemikir
yang cermerlang seperti mereka, alih-alih Yaasinan
di malam jumat, bukan tidak mungkin justru mereka membuat makar dengan
lingkaran diskusi berfilsafat.
Pernah suatu ketika mereka pun terjebak dalam diskusi hal
yang sepele: tentang terbakarnya secarik kertas. Hal ini menjadi debatable lantaran
mereka berbeda pemahaman tentang sebab terjadinya kertas itu bisa terbakar.
Ibnu Rusyd yang merupakan perwujudan paling genial sebagai
komentator Aristoteles mengatakan bahwa kertas itu terbakar oleh api, tanpa api
kertas itu takan terbakar. Sejalan dengan Ibnu Rusyd, Aquinas mempunyai
pendirian yang sama, menurutnya, kertas itu bisa terbakar oleh beberapa sebab
seperti adanya oksigen, namun sebab utamanya kertas itu terbakar adalah api.
Merasa terketuk jiwanya sebagai seorang skeptic, Hume tidak
sependapat jika kertas yang terbakar akibat api. Hume paham betul bahwa watak
dasar dari api adalah membakar, namun ia tidak menyukai hukum sebab-akibat
sebagai landasan berpikir sehingga cepat menyimpulkan bahwa kertas itu terbakar
oleh api.
Jika David Hume menolak api sebagai sebab dari terbakarnya
kertas didasarkan pada kepentingannya sebagai penganut empirisme, maka
al-Ghazali menolak logika itu karena kepentingannya sebagai seorang mutakallim
yang bercorak Asy’ariyah. Menurut al-Ghazali, api bukanlah sebab utama dari
terbakarnya kertas, melainkan Allah-lah yang menyebabkan kertas itu terbakar.
Lagi pula, menurutnya, api bisa membakar kertas itu hanyalah faktor kebiasaan
buka keniscayaan.
Sebagai penguat argument, Al-Ghazali pun mengutip kisah Nabi
Ibrahim yang tidak terbakar oleh api. Menurutnya, Allah bisa membuat api tidak
membakar tubuh Nabi Ibrahim, karena itu kertas yang terbakar itu bukan oleh
api, melainkan oleh Allah. Jika kita menerima logika sebab-akibat, menurut
al-Ghazali, sama saja kita menolak mukjizat para Nabi.
Lingkaran diskusi filosofis terkait terbakarnya kertas oleh
api semakin menarik ketika Ibnu Rusyd menanggapi pernyataan al-Ghazali yang
secara tegas mengatakan bahwa sebab-akibat bukan sesuatu yang pasti. Penolakan
al-Ghazali bermotif mukjizat, kemudian Ibnu Rusyd mengatakan, apa yang terjadi
dengan Nabi Ibrahim termasuk ke dalam mukjizat al-Barraniy, yaitu mukjizat yang diberikan kepada seorang Nabi,
namun tidak sesuai dengan risalah kenabiannya. Karena itu, menurut Ibnu Rusyd, tidak
terbakarnya Nabi Ibrahim harus ditakwilkan. Sehingga mengandung pemahaman bahwa
penyebab utama Nabi Ibrahim tidak terbakar oleh api karena Allah memberikan
sifat pada dirinya (Nabi Ibrahim) yang tidak bisa dibakar.
Diskusi semakin mendalam, Aquinas kembali bersuara,
menurutnya, hukum sebab-akibat adalah sesuatu yang pasti. Menolak hukum ini
sama saja menolak hukum alam karena apa yang ada di alam raya ini adalah
rangkaian sebab yang menghasilkan akibat. Aquinas menutup argumennya dengan
tegas, apakah pengetahuan dapat diperoleh selain dengan sebab-akibat ?
Hume pun angkat bicara, menurutnya hubungan sebab-akibat
hanyalah harapan subyektivitas sehingga bukan sebuah keniscayaan. Sebab dan
akibat pun, kata Hume, tidak memberikan pengetahuan karena ia hanyalah hubungan
yang saling berurutan dan terjadi secara konstan. Selain itu, rangkaian
sebab-akibat tidak bisa digunakan untuk menetapkan peristiwa yang akan datang
berdasarkan kejadian-kejadian terdahulu. Karena itu, menurutnya, pengalaman
inderawilah yang memberikan kepastian dan pengetahuan.
Perdebatan mereka bukan lagi pada persoalan api dan kertas
yang terbakar, mereka tenggelam dalam mempertahankan dasar pijakan
pemikirannya. Al-Ghazali yang berideologikan Asy’ari bercorak kalam, Ibnu Ruyd dan
Aquinas yang dijejali pikiran Aristoteles, dan Hume yang fanatic terhadap
pemikiran John Locke, sehingga sangat sulit untuk meredam mereka menjadi satu kesatuan
dalam kesepakatan bersama.
Sepanjang hari asrama itu gaduh karena banyak hal yang mereka
perdebatkan sehingga setiap permasalahan ditelaah semendalam mungkin. Hingga
akhirnya semangat rasionalisme yang diusung Ibnu Rusyd, al-Ghazali, David Hume
dan Thomas Aquinas pun sirna di asrama itu ketika Abu Bakar al-Baghdadi menjadi
Pimpinan Pesantren.
“FILSAFAT ITU HAROOOOM!!!” katanya lirih.
Ada kesamaan antara ibnu rusyd dengan sosok ilham ibrahim. Keduanya tidak akan tertolak oleh santriwati : v
ReplyDeleteHahaha sialan. Ibnu Rusyd karena emang ahlinya merayu, sementara aing cuman mengandalkan perdukunan. Sial! :(
Delete