Oscar Wilde, Muhammadiyah dan Densus 88 dalam Lingkaran Siyono
Ketika saya hendak menulis artikel ini,
entah kenapa saya teringat kepada seorang sastrawan Anglo-Irlandia: Oscar Wilde,
salah satu penulis favorit saya.
Oscar Wilde adalah seorang penyair yang
mempunyai kepribadian
bohemian dan flamboyant, kemampuan alamiahnya dalam mengolah kata adalah
anugrah Tuhan yang paradoks. Disatu sisi ia adalah seorang penulis berbakat,
satu yang lain, ia adalah seorang homo.
Tulisan dengan gayanya yang jenaka, kontemplatif,
provokatif dan terkadang bombastis, seakan Wilde mencoba menyentuh tema-tema yang
“sensitive” dengan jalan yang berbeda. Maka tidak heran bila ada orang yang mengukuhkan
dirinya sebagai salah satu kritikus sosial terkemuka di Inggris, terutama atas moralitas
borjuis-aristokrat Victorian yang menguasai pada masa itu.
Menurut Iqra Anugrah, seorang kandidat doktor ilmu politik di
Northern Illinois University, meskipun kritik
Wilde lahir dari konteks masyarakat Victorian, kritik dan pemikirannya terasa relevan
hingga sekarang. Setidaknya, saya bisa membayangkan relevansi kritik Wilde
untuk konteks Indonesia, untuk mengupas berbagai persoalan mulai dari korupsi,
suap-menyuap, politik kotor, standar ganda, moralitas sok suci, hingga
mengungkap kebusukan Densus 88.
Oke kita mulai saja.
Sejujurnya saya tidak bisa memisahkan frasa
“kebusukan” dengan frasa “Densus 88”, karena bagi saya kedua frasa itu satu
kesatuan yang utuh, tidak terpisahkan. Keyakinan saya itu ternyata berbuah
kebetulan ketika kematian Siyono yang sulit dicerna akal sehat secara alami
menjadi perbincangan publik. Dengan sangat arogan Densus 88 membunuh seseorang
yang baru berstatus “terduga”. Untuk menggambarkan drama Densus 88 dan Siyono secara
menyeluruh, mungkin ungkapan terkenal dari Oscar Wilde sangat tepat, “Indeed, their remedies are part of the disease”, sesungguhnya jawaban mereka adalah
bagian dari permasalahan.
Niat Densus 88 menghapuskan terorisme patut
diapresiasi bahkan didukung. Kepekaan mereka terhadap segala sesuatu yang
berbau terror tentu sudah barang tentu menjadi pekerjaan primer. Namun dalam
menjawab persoalan pemberantasan terorisme jangan sampai membuat aksi “terror”
yang baru. Karena bagaimana pun Densus 88 mempunyai prosedur yang harus
ditempuh dan dipenuhi, tidak asal tangkap kemudian dikeroyok sampai meninggal. Jawaban
mereka adalah bagian dari permasalahan.
Jika memang Siyono melakukan penyerangan
secara terbuka, maka ditembak mati pun tidak menjadi masalah. Kalau pun Siyono,
seperti yang diduga oleh pihak kepolisian, mempunyai kontak langsung dengan
Jamaah Islamiyah, kenapa Densus 88 begitu “bego” (maaf saya menggunakan kata
ini karena tidak ada lagi kata yang pas) membunuhnya ? Andaikan mereka cukup
pintar, seharusnya Siyono dijadikan sebagai narasumber utama, bukan sebagai
binatang yang dikoyak hingga meninggal.
Karena itu, sangat wajar bila Polri begitu “terguncang”
akibat masalah ini, sebab mereka ada pada posisi yang bersalah. Disamping itu,
profesionalitas kepolisian Indonesia dipertanyakan oleh khalayak ramai,
terutama oleh hampir seluruh organasasi Islam yang merasa “dirugikan.” Mereka
mengutuk, memojokan bahkan membully terhadap apa yang Densus 88 tontonkan
kepada public terkait kematian Siyono.
Ketika semua ormas Islam tenggelam dalam
kemarahan yang tidak berujung sehat dan cenderung asbun (asal bunyi),
Muhammadiyah tampil sebagai penawar solusi: mengadvokasi dan menyingkap kebenaran
apa yang terjadi di balik layar. Mungkin Muhammadiyah yang mempunyai segudang
pengalaman sudah begitu paham bahwa menyelesaikan sebuah masalah bukan dengan
amarah namun dengan langkah yang konkrit.
Langkah Muhammadiyah menempuh advokasi
dengan tahapan awal otopsi, menurut saya, menjadi sangat berarti bagi seluruh
elemen masyarakat sipil yang mencari keadilan di negeri yang serba hiprokit
ini. Sebab mengungkapkan kebobrokan Densus 88 dalam kasus Siyono ini harus
dibarengi dengan bukti ilmiah yang kuat, agar di pengadilan nanti menjadi
pertimbangan hakim untuk menghukumi tersangka dengan seberat-beratnya. Dengan demikian,
langkah otopsi yang dilakukan oleh Muhammadiyah cs menjadi jalan yang tepat
untuk mencari kebenaran serta keadilan.
Saya yakin ada begitu banyak tekanan yang
bertubi-tubi terhadap pengungkapan fakta ini, beruntungnya Muhammadiyah
konsisten dengan julukannya sebagai Sang Pencerah. Karena itu, mau bagaimana
pun halangannya, sekuat apa pun tekanannya, bagi Muhammadiyah tidak menjadi tembok
penghalang, sebab dari awal berdirinya tekanan memang sangat besar sehingga
untuk menggoyahkan Muhammadiyah agar lari dari kebenaran, menurut saya, adalah
sesuatu yang utopis.
Dari hasil otopsi yang dilakukan oleh
Muhammadiyah cs ini setidaknya ada tiga poin yang secara tidak langsung sebagai
bantahan terhadap klaim kepolisian, yaitu: pertama,
Kepolisian pernah melakukan otopsi ternyata tidak benar. Kedua, menurut kepolisian Siyono melakukan perlawanan ternyata
tidak benar juga. Ketiga, menurut
kepolisian kematian Siyono akibat pendarahan di kepala ternyata bohong, melainkan akibat patah
tulang iga yang sampai merusak jantung.
Fakta ilmiah dari hasil otopsi ini memang
menyakitkan hati. Marah, wajar. Sedih, tentu saja. Karena bagaimana pun
pahitnya, kebenaran harus diungkapkan. Setidaknya ungkapan Oscar Wilde ini
cocok untuk mereka yang berusaha menutupi kesalahan, “Pukullah aku dengan
kebenaran, tetapi jangan siksa aku dengan kebohongan..” ~
Post a Comment