Muhammadiyah Meluruskan: Dari Kiblat Shalat sampai Kiblat Bangsa
“Jihad Konstitusi adalah sebuah gerakan untuk meluruskan
kiblat bangsa. Karena kami menyimpulkan, telah terjadi penyimpangan dari
cita-cita nasional, yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945. Khususnya, sejak era
Reformasi,” Ujar Prof.
Dr. KH. Muhammad Sirajuddin Syamsuddin, MA (Sumber: Republika)
Muhammadiyah
adalah salah satu ormas Islam yang masih segar dan tegar dalam pergerakan Islam
sejak abad ke 20 yang harus dicacat sebagai sebuah pergerakan yang tahan
banting dalam sejarah. Menurut Syafi’I Ma’arif “Di seluruh dunia Islam, tidak
banyak gerakan sosial kemanusiaan dengan nafas keislaman yang kental yang bertahan
mengatasi rintangan: politik, social dan budaya, seperti yang telah ditunjukan
oleh Muhammadiyah dan NU.”
Sejarah
berdirinya Muhammadiyah adalah sejarah perjuangan tokoh pembaharu Islam di
Indonesia, Kh. Ahmad Dahlan. Menurut Muhammad Asratillah Senge, Koordinator
Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah Sulawesi Selatan (JIMM), Ahmad Dahlan
adalah salah satu ulama Islam yang berusaha mendekatkan antara rasionalitas dan
pengamalan serta pengalaman keberagamaan. Menurutnnya, Sang Pencerah tersebut berusaha
menjadikan ilmu pengetahuan sebagai teman akrab bagi agama.
Kh. Ahmad Dahlan adalah seorang ulama yang gigih dalam
menegakan kebenaran. Dengan bekal ilmu agama yang diperolehnya dari timur
tengah, Kh. Ahmad Dahlan mempunyai amanah dakwah untuk meluruskan umat Islam
dari penyakit TBC, mencerdaskan kehidupan umat dari kebodohan dan membenarkan
setiap kekeliruan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Salah satu
perjuangannya yang masih dapat kita rasakan adalah meluruskan kiblat shalat.
Bekal ilmu falak yang diperoleh dari Kyai Termas, Kyai Shaleh
Darat, Syekh Muhammad Jamil Jambek, dan Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, Kh. Ahmad Dahlan menilai bahwa ada
beberapa masjid yang tidak lurus dengan arah kiblat. Masjid agung yang terletak
di beberapa wilayah menjadi rujukan bagi masjid atau surau yang ada
disekitarnya, sehingga jika dibiarkan, maka akan terus terjadi penyimpangan.
Karena itulah, Kh. Ahmad Dahlan merasa mempunyai tanggung jawab untuk
meluruskan akan hal ini.
Pada satu malam di tahun 1898, Ahmad Dahlan mengundang 17
orang ulama yang ada di sekitar kota Yogyakarta untuk melakukan musyawarah
tentang arah kiblat di surau milik keluarganya di Kauman. Diskusi diantara para
ulama itu mempunyai kesimpulan bahwa apa yang telah dipaparkan oleh Kh. Ahmad Dahlan
tentang kelirunya arah kiblat Masjid Agung Yogyakarta dianggapnya sesat bahkan
kafir, karena merujuk sebuah peta buatan Belanda yang ketika itu menjajah
Indonesia.
Perjuangan Kh. Ahmad Dahlan dalam meluruskan arah kiblat memang
begitu hebat tantangannya. Ia dituduh kafir, hingga surau tempat ia shalat
beserta keluarga dan muridnya dirobohkan secara paksa oleh masyarakat sekitar.
Walaupun diliputi rasa marah dan kecewa, Kh. Ahmad Dahlan kembali membangun
surau itu sesuai dengan arah masjid besar Kauman namun arah kiblat yang
sebenarnya ditandai dengan membuat garis petunjuk di bagian dalamnya.
Muhammadiyah sebagai masterpiece-nya Kh. Ahmad Dahlan telah
berhasil meluruskan arah kiblat shalat secara perlahan dengan hambatan yang
begitu kuat menghantam. Karena itulah, kalau membaca
beberapa catatan sejarah mengenai manuver-manuver yang dilakukan Kh. Ahmad
Dahlan beserta para muridnya, kita bisa melihat citra yang santun, bahkan
gugatan yang dilakukan terhadap praktik keagamaan pada saat itu bukanlah tanpa
disertai dengan dialog yang mencerdaskan.
Namun, ada hal yang menarik dari Muhammadiyah di abad kedua, yaitu
sangat tampak keinginan kuat untuk mengembangkan bidang dakwah dalam konteks
kekinian. Salah satu hal yang perlu dicatat adalah keberhasilan Muhammadiyah
dalam Jihad konstitusi. Menurut Din Syamsuddin, Jihad Konstitusi adalah jihad
untuk berjuang meluruskan Undang-undang yang tidak pro rakyat. Dengan kata
lain, Muhammadiyah sebagai organisasi
keagamaan di Indonesia, menjadi leading pengajuan judicial review UU ke
Mahkamah Konstitusi.
Pemahaman Agama sebagai praksis sosial-kemasyarakatan membuat
Muhammadiyah terketuk hatinya untuk melakukan pengajuan judicial review
terhadap UU yang menyimpang dari
cita-cita bangsa. Karena itulah Menurut Biyanto, ketua Majelis Dikdasmen Pimpinan
Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur, menurutnya Muhammadiyah telah memahami, pengajuan
judicial review terhadap UU yang kurang berpihak kepada kepentingan rakyat
merupakan bagian dari komitmen untuk meluruskan kiblat bangsa.
Dengan demikian, meluruskan kiblat bangsa dalam konteks
Muhammadiyah di abad keduanya adalah menggugat UU yang tidak pro rakyat. Sampai
sejauh ini, Muhammadiyah telah beberapa kali melakukan judicial review terhadap
UU yang terus memicu kontroversi. Akan tetapi, jihad yang paling fenomenal
menurut Fadh Ahmad Arifan, Dosen STAI al-Yasini, adalah ketika menang gugatan
terhadap UU Migas. Menurutnya, gugatan itu didasari karena kebijakan pemerintah
dan juga regulasi yang kurang berpihak pada pembentukan kesejahteraan. Apalagi
dalam bidang ekonomi, terlalu membuka pintu bagi asing.
Selain sukses dalam menggugat UU Migas, Muhammadiyah juga
telah sukses menggugat UU Sumber Daya Air. Dengan keberhasilan itu,
Muhammadiyah mendesak agar semua pihak terkait untuk membatalkan
kontrak-kontrak kerjasama perusahaan swasta asing maupun dalam negeri.
Selanjutnya perusahaan tersebut harus dikuasai oleh Negara untuk kepentingan
bersama sesuai dengan amanat yang termaktub dalam UUD 45. Dengan keputusan MK
itu juga, seharusnya DPR dan pemerintah
membahas UU Sumber Daya Air yang baru, karena yang lama telah dibatalkan MK.
Kemenangan Muhammadiyah di MK dalam menggugat UU Nomor 22
Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, dan UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air adalah
bukti bahwa Muhammadiyah sedang meluruskan arah kiblat bangsa yang cenderung
pro kapitalis asing dan merugikan Negara. Selain itu, Muhammadiyah juga pernah
sukses dalam menggugat UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dan ormas
Islam ini pun berada di garda terdepan dalam menggugat UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas yang terlalu mengikat kebebasan
berserikat.
Muhammadiyah selama ini selalu menjadi eksekutor Jihad
konstitusi di Mahkamah Konstitusi. Kini, Muhammadiyah kembali akan menjadi
momok yang menakutkan bagi perusahaan-perusahaan yang menganut sistem ala kapitalisme dan liberalisme, karena pada bulan April
ini, Muhammadiyah akan kembali mengajukan judicial review 3 UU ke
Mahkamah Konstitusi. Ketiga UU tersebut, Muhammadiyah menilai bertentangan
dengan UUD 1945 pasal 33 ayat 1, 2 dan 3.
Ketiga UU yang dimaksud adalah UU Nomor 24 tahun 1999 tentang
Sistem Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, UU Nomor 25 tahun 2007
tentang Penanaman Modal dan UU Nomor 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. Menurut Din Syamsuddin, pengajuan judicial review ini
merupakan upaya menegakkan konstitusi sebagai asas kehidupan negara sekaligus
mengahalau liberalisme ekonomi. Saya pikir ini logis, sebab saat penyusunan
ketiga UU itu tidak lepas dari pengaruh IMF dan World Bank yang ketika itu
Indonesia lemah pada sektor ekonomi.
Oleh sebab itu, jihad konstitusi
ala Muhammadiyah harus didukung oleh semua pihak karena masih banyak peraturan
perundang-undangan yang diskriminatif dan merugikan perekonomian pribumi secara
global. Semoga saja Muhammadiyah akan terus menjadi panglima jihad di Mahkamah
Konstitusi agar Negara Indonesia ini lebih berdaulat baik secara hukum maupun
secara ekonomi.
Ilham Ibrahim, Sekretaris Umum Ikatan Mahasiswa Tarjih Muhammadiyah (IMTM) |
Selain itu, jika dulu ketika awal
berdirinya, Muhammadiyah meluruskan kiblat shalat, maka jihad konstitusi
ini adalah bentuk upaya dari Muhammadiyah dalam meluruskan arah kiblat
bangsa untuk lebih berkemajuan tanpa bayang-bayang asing lagi. Hal itu
tidak terlepas spirit Al-Maun yang
selalu menjadi pengingat sekaligus penyemangat yang menyengat agar tidak tidur
ketika umat berada dalam ketidakadilan.
Post a Comment