Tipologi ‘Illat Menurut Prof. Syamsul Anwar
Saya sungguh menikmati artikel
bang Naldo Helmys di Qureta tentang al-Ghazali dan musik. Satu kutipan yang menurut
saya menarik adalah tentang fatwa haram al-Ghazali terhadap musik jika dipakai
sebagai medium pengiring kesedihan setelah ditinggal mati pasangan, kerabat,
saudara atau teman. Nyanyian kematian hanya akan
menambah kesedihan. Dalam hal ini, al-Ghazali bersandar kepada Quran: Jangan bersedih atas apa yang hilang darimu
(Q.S. Ali Imran: 153). Akan
tetapi—sebagaimana yang dikutipkan bang Naldo—menurut al-Ghazali, kalau kesedihan itu setelahnya dapat membuat kehidupan
menjadi lebih baik, lebih bahagia, hal itu secara implisit membuat musik dapat dihalalkan.
Kalau nyanyian dan musik dapat menjadi instrumen pengingat dosa, muhasabah,
koreksi atas diri, untuk kemudian menjadi pribadi yang saleh, maka hukumnya menjadi
halal (mubah?).
Dari penjelasan
di atas menarik sekali melihat metode istinbath hukum imam al-Ghazali tentang
musik. Dalam kesempatan ini izinkan saya meminjam tipologi ‘illat dari tulisan prof. Syamsul Anwar yang pernah saya baca di
buku Fikih Kebhinekaan. Menurut Prof.
Syamsul, ‘illat itu terbagi dua macam:
Pertama, “al-‘illah al-fa’ilah” atau kausa
efisien. Kedua, “al-‘illah al-gha’iyyah”
atau kausa final.
Dalam penjelasan prof. Syamsul, al-‘illah al-fa’ilah adalah penyebab
ditetapkannya suatu ketentuan hukum dan ‘illat
ini mendahului penetapan hukum. Contoh, ijab qabul adalah ‘illat sahnya suami istri berhubungan badan. Tindak pidana korupsi
adalah ‘illat dari jatuhnya hukum
potong tangan. Sedangkan al-‘illah al-gha’iyyah adalah tujuan
yang hendak diwujudkan melalui suatu penetapan hukum. Menurut Prof. Syamsul, ‘illat ini terwujud setelah, dan
didahului oleh, penetapan hukum. Contoh, pandangan Majelis Tarjih Muhammadiyah,
sah tidaknya sebuah perceraian harus ditentukan di pengadilan, tujuannya agar
menekan tingkat perceraian dan menghindari kesewenangan talak yang mungkin
dijatuhkan oleh suami tanpa alasan yang logis dan sah. Menurut prof. Syamsul, al-‘illah al-gha’iyyah atau kausa final
inilah yang sesungguhnya merupakan Maqashid al-Syari’ah.
Kalau kita
melihat argumen Imam al-Ghazali tentang musik seperti yang sudah disampaikan di
atas, yang menyatakan bahwa musik dihukumi haram manakala dipakai
sebagai medium pengiring kesedihan setelah ditinggal mati seseorang yang kita cintai dan hargai, dan menjadi halal
(mubah) kalau memiliki tujuan sebagai instrumen muhasabah dan pengingat dosa
yang membuat seseorang lebih dekat dengan Allah, maka dapat kita kategorikan
pandangan Imam al-Ghazali ini termasuk kategori “al-‘illah al-gha’iyyah”. Dengan demikian, nampaknya al-Ghazali
ingin memberikan satu pelajaran penting kepada kita bahwa penetapan hukum
jangan dilihat secara monolitik (misalnya hanya dihukumi haram), tetapi harus
menyeluruh berdasarkan al-‘illah
al-gha’iyyah atau kausa final. Kalau musik malah membawa pada kesesatan,
maka haram. Kalau musik membawa kemashlahatan, maka halal.
Hal di atas sama dengan pandangan
Majelis Tarjih tentang menggambar, melukis dan membuat patung. Melalui pembacaan
yang menyeluruh (istiqra), aktivitas
melukis dan membuat patung dihukumi tiga bentuk tergantung al-‘illah al-gha’iyyah, yaitu bisa haram, makruh, dan mubah. melukis
dan membuat patung dapat menjadi haram manakala disembah, dan dapat menjadi mubah
manakala dijadikan media pembelajaran. Oleh karenanya, penentuan hukum yang
bersifat konkret dan praktis agar tidak monolitik harus memakai kerangka kausa
final atau maqashid syariah atau al-‘illah
al-gha’iyyah.
PS: Tentu saya bisa saja keliru, karena
masih belajar, mohon koreksi kalau ada ngawur.
Post a Comment