Survival Family



Saya baru saja nonton film Survival Family. Film yang diproduksi di Jepang ini menceritakan tentang buruknya hubungan keluarga di sana karena disekat dengan kuat oleh kecanggihan teknologi. Ketergantungan pada teknologi yang berlebih membuat interaksi social jadi berkurang, hal ini tentu saja memperburuk keharmonisan dalam keluarga.

Sebelumnya kita akan selalu dibawa pada kekaguman dan ketakjuban ketika berbicara seputar negeri Sakura ini. Bagaimana tidak, negara yang luluh lantak pada tahun 1945 karena bom atom Hiroshima dan Nagasaki ini terus bertumbuh sebagai negara yang paling modern dan maju di Asia dan dunia. Namun, gambaran keharmonisan keluarga dalam film ini mungkin jadi pandangan umum di sana.

Dalam film ini diceritakan ketika masyarakat Tokyo sudah terbiasa dengan teknologi, semuanya dilakukan dengan cara instan. Pada suatu hari tetiba muncul sebuah musibah adanya radiasi meteoroid yang membuat seluruh perangkat teknologi di sana mati total.

Hal tersebut membuat goncangan hebat. Hampir seluruh piranti kehidupan mereka memakai listrik. Dari mobil, mesin cuci, lampu, smartphone, ATM semuanya mati total. Otomatisasi membuat mereka lemah. Ketergantungan pada teknologi membuat mereka lengah.

Coba Anda bayangkan bagaimana rasanya menjadi manusia modern yang kadung tertambat pada kecanggihan teknologi paling mutakhir, tetiba dipaksa menjadi manusia purba pemburu-pengumpul yang hidup puluhan ribu tahun yang lalu?

Kita mungkin dapat berbangga di hadapan nenek moyang kita dengan segambreng inovasi teknologi yang telah kita ciptakan. Zaman dulu hanya membuat sebilah pisau batu, sekarang kita membuat hulu ledak nuklir.

Namun sebetulnya tidak ada perbaikan signifikan dalam kapasitas kita dalam pembuatan alat selama puluhan ribu tahun. Albert Einstein atau Bill Gates sekalipun jauh kurang tangkas tangannya dibandingkan dengan seorang manusia kuno pemburu-penjelajah.

Mata pisau batu kuno dibuat hanya dalam beberapa menit oleh satu orang, yang bergantung pada saran dan bantuan beberapa teman dekat. Produksi hulu ledaknuklir modern membutuhkan kerja sama jutaan orang asing di seluruh dunia: dari buruh yang menambang bijih uranium di kedalaman Bumi sampai ke para ahli fisika teoretis yang menulis rumus-rumus matematika panjang untuk menjelaskan interaksi partikel-partikel atom.

Karena itu, dalam level individu mungkin kita kalah telak dengan manusia kuno pemburu-pengumpul. Mereka adalah orang yang paling berpengetahuan dan paling terampil dalam sejarah.

Rata-rata seorang penjelajah kuno memiliki pengetahuan yang lebih luas, lebih mendalam, dan lebih beragam tentang alam sekeliling mereka ketimbang sebagian besar keturunan modern mereka. Mereka harus tahu struktur goa beruang, bau jamur beracun, menjadi navigator ulung, sampai harus bersekongkol dengan perubahan cuaca untuk memburu mammoth.

Dalam film ini kita diperlihatkan bagaimana manusia modern harus dilepaskan dari kenikmatan mereka dengan teknologi. Hasil akhirnya mereka kesulitan membuang kotoran dan mendapat asupan makanan dan minuman yang membuat mereka kelaparan dan kehausan.

Dampaknya segala perhiasan dari emas, berlian sampai jam tangan Rolex super mahal pun kehilangan nilainya. Bahkan uang tidak punya harga diri lagi. Orang kembali memberlakukan sistem barter dengan alasan kemewahan tidak dapat membuat perut kenyang. Roti ditukar dengan sebotol air minum. Beras ditukar dengan selimut.

Persediaan stok makanan di Tokyo mulai menipis, akhirnya semua penduduk kota bermigrasi secara besar-besaran ke pedesaan dengan berjalan kaki dan bersepeda. Sesampainya di pedesaan, mereka kehilangan teknologi yang selama ini mereka banggakan. Namun sebagai gantinya mereka kembali menemukan arti keharmonisan dalam keluarga.


Pelajaran yang dapat diambil dari film ini setidaknya ada tiga. Pertama, ketergantungan pada teknologi benar-benar membuat kita menjadi sesosok binatang yang penuh dengan kelemahan. Kedua, teknologi ternyata dapat membuat keintiman dalam keluarga menjadi berkurang berkmakna. Ketiga, kemajuan inovasi teknologi sepertinya harus direm dulu, karena setiap alat canggih lahir selalu terjadi pergeseran nilai dalam masyarakat.



No comments