Filsafat Islam: Ujung Tombak Islam Berkemajuan
Setelah
Islam dalam beberapa dekade ditinggalkan oleh manusia paling Paripurna, Muhammad,
Islam tumbuh berkembang menjadi lautan ilmu. Peradaban Islam adalah perdaban
ilmu pengetahuan. Dan seperti yang kita ketahui bersama, ilmu pengetahuan lahir
dari filsafat. Karena filsafat adalah induk dari semua pengetahuan.
Di
era post modern ini, Islam sebagai “din” bukan lagi menjadi tombak peradaban
atau pun menjadi kompas arah dunia seperti 100 abad yang lalu, yang ketika itu,
Islam memegang perenan penting dalam menentukan arah kehidupan dunia ini. apa
yang terjadi sehingga Islam di era ini terpuruk ? bagaimana Islam menjawab
tantangan di era post modern yang seperti ini ?
Sejarah
keemasan Islam adalah sejarah menghidupkan kembali spirit filsafat yang sempat
dikubur hidup-hidup oleh umat Kristiani. Oleh karena itu, antara peradaban
keemasan Islam dan filsafat adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan dari
sejarah masa lalu yang indah. Dengan kata lain, perkembangan ilmu dalam peradaban Islam bermula dengan berkembangnya
filsafat dan Islam mengalami kemunduran dengan kematian filsafat.
Namun,
sayangnya, pengaruh al Ghazali masih melekat dalam diri umat Islam. Filsafat
sering disalahpersepsi sebagai ilmu yang menyebabkan orang tersesat. Ada
beberapa sebab ilmu ini dianggap miring, sehingga harus dijauhi. Di
antaranya; pengaruh framework Orientalis Barat. Menurut orientalis, Islam tidak
memiliki tradisi pemikiran rasional dan filosofis. Kaum Muslim hanya
mengadopsi. Akibatnya, yang dipelajari adalah filsafat Barat dengan cara
belajar menurut framework Barat yang terkesan sekular dan liberal lalu
mengenyampingkan aspek wahyu.
Bukan
hanya itu, filsafat dalam komunitas Islam hanya sebagai penghias tatkala kita
berpidato atau ceramah. Adalah terpelajar ketika menyampaikan suatu ceramah di
depan orang banyak mengutip satu sampai lima kata dari Ibnu Thufail, Ibnu
Bajjah dan lain-lain. Adalah bergengsi memajang kitab-kitab tua al Ghazali,
Ibnu Rusyd, Ibnu Sina dan al Kindi di perpustakaan pribadi. Demikian, filsafat
itu menarik sebagai hiasan bukan sebagai bahan kajian.
Tradisi
ulama terdahulu yang mempunyai spirit untuk berfilsafat harus kita hidupkan
kembali dalam roda pemikiran kita. Tradisi berfilsafat adalah tradisi dimana
untuk bisa berpikir secara mendalam, sistematis, logis dan rasional. Namun,
adakah tradisi filsafat dalam Islam ? apa fungsi filsafat untuk Islam ? dan
mengapa dengan filsafat Islam bisa menjadi perdaban yang gemilang ?
Jika
tradisi berfilsafat diartikan sebagai berfikir mendalam, maka Islam telah
menekankan umatnya senantiasa untuk berfikir. Seperti firman Allah ta’ala,
muncul kata yatafakkaruun yang berarti befikir QS. An-Nahl: 11.
Selain itu, muncul kata tadabbara yang berarti merenung dalam
QS. Shad: 29. Kedua ayat ini menunjukan bahwa Islam sangat mendorong umatnya
untuk senantiasa menggunakan akal untuk berfikir. Sebab, menurut Dr. Ustadi
Hamzah, kata ‘berfikir’ yang digunakan dalam Al Quran bukan isim atau
kata benda melainkan fiil atau kata kerja yang mempunyai
maksud supaya manusia tidak hanya mempunyai akal saja tetapi mau
menggunakannya.
Banyak
hadits Nabi yang menganjurkan agar kita “berkelana” mencari ilmu pengetahuan,
sebab dunia dan akhirat hanya akan bisa diraih dengan ilmu pengetahuan. Oleh
karena itu Al-Qur’an mengajarkan kita untuk selalu berdoa agar Allah menambah
terus pengetahuan kita dalam QS Thaha: 114.
Dengan
adanya dorongan dari wahyu Allah untuk mencari ilmu dan berfikir, lahirlah
filsafat Islam yang diawali oleh al Kindi dilanjutkan oleh Ibnu Sina, al
Ghazali, Ibnu Rusyd dan lain-lain. Kelahiran filsafat dalam Islam inilah yang
menjadi titik awal berkembangnya tradisi keilmuan Islam. Bahkan dalam buku Science
in The Name of God yang ditulis oleh Kasem Khaleel, dia menulis “bahwa
sebenarnya, semua sains modern utama ditemukan oleh sarjana-sarjana dari dunia
Islam. Sains Eropa gagal mengembangkannya. Baru setelah revolusi industri,
perkembangan IPTEK di Barat sangat pesat.”
Selain
itu, peradaban Islam dapat diidentikkan dengan kejayaan pengetahuan,
sebagaimana Franz Rosenthal, memberi judul bukunya mengenai deskripsi dan peran
pengetahuan dalam peradaban Islam sebagai, ‘The
Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medievel Islam’. Pada
tulisan yang lain dia mengungkapkan, “Sebuah peradaban muslim tanpa pengetahuan
tidaklah terbayangkan oleh generasi muslim pertengahan.”
Bahkan
Daniel David Lavering seorang sejarawan yang menulis buku Golden Prism of Winter, mengatakan bahwa “tidak akan ada
renaissance, tidak akan ada reformasi di Eropa, tanpa peran Ibnu Sina dan Ibnu
Rusyd, filsuf dan ilmuan Muslim yang membawa peradaban ke Eropa.”
Namun,
kita jangan terlalu tenggelam dalam ingatan masa lalu. Ada benarnya menurut
Syafi'i Ma’arif, “Salah satu sebab kemunduran umat Islam adalah
romantisme masa lalu yang berlebihan. Memang, tidak ada keraguan bahwa kaum
Muslim telah berhasil mencapai kejayaan melalui karya-karya yang mengagumkan.
Intelektual Muslim Masa Pertengahan mampu menyusun karya-karya cemerlang yang
menyinari dunia dan menuntun masyarakat Barat yang masih hidup dalam gelap
gulita.”
Umat
Islam masa kini selalu mengagungkan masa lalu yang sudah terkubur oleh waktu
bisa menjadi “candu” yang membuat kita mabuk dengan impian semu dan nostalgia
yang menina bobo. Prestasi gemilang itu milik para
intelektual dan tokoh yang menciptakannya, bukan milik kita sekarang ini. Umat
Islam perlu bersikap realistis terhadap keadaan masa kini.
Terus,
apa fungsi filsafat ?
Bagaimana
jika dalam keadaan di mana agama mendapat serangan yang gencar dari sains
dan filsafat modern ? Disinilah fungsi filsafat Islam, filsafat Islam bisa
bertindak sebagai pembela atau tameng bagi agama, dengan cara menjawab serangan
sains dan filsafat modern terhadap agama secara filosofis dan rasional. Karena,
tantangan ilmiah-filosofis harus dijawab juga secara ilmiah-filosofis dan bukan
semata-mata secara dogmatis. Dengan keyakinan bahwa Islam adalah agama yang
menempatkan akal pada posisi yang terhormat, yakin bahwa Islam, pada dasarnya
bisa dijelaskan secara rasional dan logis.
Menurut
Dr. Mulyadhi Kartanegara dalam bukunya Menembus Batas Waktu,
dituliskan “Selama ini filsafat dicurigai sebagai disiplin ilmu yang dapat
mengancam agama. Ya, memang betul. Apalagi filsafat yang selama ini kita
pelajari bukanlah filsafat Islam, melainkan filsafat Barat yang telah lama
tercerabut dari akar-akar metafisiknya. Tetapi kalau kita betul-betul
mempelajari filsafat Islam dan mengarahkannya secara benar, maka filsafat Islam
juga adalah sangat potensial untuk menjadi mitra filsafat atau bahkan pendukung
agama.”
Dengan
demikian, di sini filsafat bisa bertindak sebagai benteng yang melindungi agama
dari berbagai ancaman dan serangan ilmiah-filosofis. Serangan terhadap
eksistensi Tuhan, misalnya dapat dijawab dengan berbagai argument adanya Tuhan
yang telah banyak dikemukakan oleh para filosof Muslim, dari al-Kindi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd dll.
Karena,
seperti petunjuk Imam al-Ghazali dan Syed Nequib al-Attas, bahwa kita
mempelajari filsafat ini dalam rangka membela konsep-konsep Islam, menguatkan
akidah umat. Dengan framework Islam, filsafat menjadi alat mengokohkan akidah,
bukan malah mendekonstruksinya.
Berkembangnya
filsafat adalah awal dari berkembangnya kemajuan sebuah peradaban. Fakta
historis menunjukan bahwa peradaban Yunani dibangun oleh bangunan filosofis,
begitu juga dengan peradaban Islam yang membangun peradabannya dengan filsafat
yang melahirkan budaya ilmiah. Namun,
untuk mengaktualkan filsafat sebagai pondasi peradaban Islam, harus
memperhatikan sebagai berikut:
Pertama, jangan ada dikotomi antara wahyu dan akal,
sains dan agama. Persamaan yang terletak antara ilmu agama dan sains terletak
pada kenyataan bahwa objek dari kedua jenis ilmu tersebut sama-sama sebagai
ayat Allah. Ilmu-ilmu agama telah menjadikan al-Qur’an sebagai objek utama
penelitiannya, sedangkan sains telah menjadikan alam sebagai objek utama, Baik
al-Qur’an maupun alam dipandang dalam tradisi ilmiah Islam sebagai ayat-ayat
Allah, hanya saja yang pertama ayat qawliyyah sedangkan yang
kedua kawniyyah. Persoalan sebenarnya timbul ketika sains berhenti
memandang alam sebagai ayat Allah, sementara ilmu-ilmu agama masih memandang al-Qur’an
sebagai ayat Allah. kalau saja kita bisa memandang alam sebagai ayat Allah
dalam penelitian ilmiah kita, maka konflik antara agama dan sains bisa
dihindarkan.
Kedua, Membangun tradisi ilmiah baru. Islam
mempunyai tradisi ilmiah yang ideal untuk membangun perdaban, karena tradisi
ilmiah Barat telah lama diperkenalkan di sini, dan kita membutuhkan sebuah
tradisi ilmiah yang baru sebagai alternatif. Ada beberapa faktor yang telah
mendorong pesatnya ilmu pengetahuan di masa kejayaan Islam, salah satunya
dorongan religius di mana agama Islam sangat menekankan pentingnya bagi umat
Islam untuk menuntut ilmu, dengan menjadikannya sebagai kewajiban agama. Selain
itu, apresiasi masyarakat yang sangat tinggi terhadap ilmu, ilmuwan dan buku.
Ketiga, Mengimplementasikan filsafat Islam dalam
pendidikan. Sistem pendidikan ilmuwan Muslim terdahulu telah mengembangkan
metode pengajaran yang khusus, yang sangat berpengaruh pada pesatnya
perkembangan ilmu, yaitu menyalin buku, menghafal dan metode debat yang sangat
merangsang daya kritis sang murid. Motivasi mencari ilmu bagi para pelajar
adalah untuk mencari kebenaran dan bukan sekedar untuk mendapatkan pekerjaan
seperti yang berlaku di negeri ini, menyusun klasifikasi ilmu, sehingga tahu
peta ilmu dan saling hubungan antara bidang, dan kurikulum, yaitu materi-materi
apa saja yang harus dipelajari oleh seorang murid.
Keempat, Melakukan riset ilmiah dari segala jenis ilmu.
Riset-riset ilmiah yang dilakukan ilmuwan Muslim, setidaknya ada empat metode
telah teridentifikasi yaitu: metode tajribi, burhani, ‘irfani dan bayani.
Tajribi adalah metode ilmu pengetahuan yang dikenal sebagai metode eksperimen. Eksperimen
sudah lama diterapkan dalam kegiatan ilmiah masyarakat Islam. Burhani adalah
metode yang dipergunakan untuk mengenali objek non-fisik yang tidak dikenal
oleh indra manusia. Metode burhani merupakan metode logika
dalam menarik kesimpulan dari premis yang telah diketahui dan menghasilkan
pengetahuan dan informasi baru. Prosedur logika yang harus dipatuhi dalam
menarik kesimpulan dikenal dengan sebutan silogisme. Dan Bayani merupakan pengakuan bahwa al-Quran adalah
sebagai salah satu sumber ilmu pengetahuan.
Islam
sangat menghargai ilmu karena ilmu pengetahuan adalah jalan menuju surga, tiada
jalan pintas menuju surga kecuali ilmu. Sabdanya:
Artinya:
“Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah mudahkan baginya
jalan menuju Surga.” (HR. Muslim).
Oleh
karena itu, teruslah mencari ilmu dan mengamalkannya. Akhir kata, membicarakan
peradaban adalah membicarakan tentang ilmu pengetahuan dan ilmu pengetahuan itu
berasal dari filsafat. Artinya, peradaban akan maju jika filsafatnya
berkembang.
Post a Comment