Mengaplikasikan Kebijakan Ekonomi Umar bin Khattab (Kepemilikan Tanah ) ke dalam Konteks Keindonesiaan.


Dewasa ini, antara kemiskinan dan kapitalisme tidak bisa dipisahkan. Kemiskinan yang terjadi akibat kapitalisme bukanlah kemiskinan alamiah, tetapi karena diciptakan oleh kapitalisme itu sendiri, pengangguran dan kemiskinan merupakan nilai surplus bagi kapitalis dan wajib ada untuk memenuhi keperluan penyediaan buruh murah, sehingga keuntungan tetap berada di tangan kapitalis.
Selain itu, kepemilikan tanah dalam pandangan kapitalisme pun akan menghasilkan jiwa yang serakah. Karena dalam pandangan mereka kepemilikan tanah dapat dikuasai oleh individu bukan oleh negara. Padahal, sudah jelas tercantum dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 disebutkan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat”.  Artinya, segala kekayaan Sumber Daya Alam yang ada di Indonesia baik berupa gas, mineral, minyak bumi, batu bara, tambang emas dan lain-lain itu dikelola oleh negara untuk kepentingan rakyat bersama. Namun pada faktanya, siapa pun boleh memiliki tanah itu dan mengembangkannya menjadi ladang usaha yang pada akhirnya melahirkan pengusaha-pengusaha swasta yang serakah akan harta. Dan karena tanah dikuasai oleh individu, maka perusahaan asing pun menjamur di Indonesia bahkan sering kali perusahaan itu merugikan Indonesia sampai triliunan rupiah.
Pembuka keran masuknya perusahaan asing di Indonesia dapat dilacak ketika masa pemerintahan Soeharto, mulai banyak bermunculan investasi-investasi pihak asing yang masuk dengan maksud mengeruk kekayaan alam Indonesia. Karena hal inilah, disusun undang-undang penanaman modal asing yaitu UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang disahkan oleh Soeharto. Yang mana isinya lebih menguntungkan pihak asing. Dari sinilah awal mulanya mengapa sampai sekarang setiap kontrak dengan perusahaaan asing porsi keuntungan Indonesia lebih kecil. Terutama di sektor pertambangan dan perminyakan, ini dibuktikan dengan adanya kontrak perjanjian dengan asing yang pertama adalah Freeport yang disahkan sendiri oleh bapak Soeharto yang mana berdiri dalam sektor pertambangan.
Seperti yang dilansir dalam jurnal harian Republika yang menyebutkan bahwa ada sekitar 33 Perusahaan Asing yang merugikan Negara sampai Rp 6 Triliun.[1] Artinya, perusahaan-perusahaan asing yang terus tumbuh di Indonesia sangat merugikan negara. Sudah saatnya Indonesia mempunyai sikap tegas terhadap perusahaan asing. Dari sekian banyaknya perusahaan asing yang berkembang di Indonesia, PT. Freeportlah yang paling merugikan negeri ini. Pasalnya, dari komposisi saham yang dimiliki PT.Freeport Indonesia sebesar 90,64% dan pemerintah Indonesia hanya memegang 9,36% saham Freeport, maka royalti yang diberikan kepada bangsa Indonesia hanya sebesar 1%.[2]
Menurut anggota Komisi VII DPR, Chandra Tirta Wijaya yang dilansir dalam jurnal harian Hukumonline.com, ia menyebutkan bahwa “Sejak tahun 1996 pemerintah Indonesia hanya menerima AS$479 juta, sedangkan Freeport menerima AS$1,5 miliar. Kemudian, di tahun 2005, pemerintah hanya menerima AS$1,1 miliar. Sedangkan pendapatan Freeport (sebelum pajak) sudah mencapai AS$4,1 miliar.”[3]
Penguasaan asing terhadap aset ekonomi nasional itu berdampak pada penyingkiran terhadap mayoritas rakyat, seperti petani, masyarakat adat, kaum miskin kota, buruh, dan lain-lain, dari alat-alat produksi dan sumber daya ekonomi. Dalam banyak kasus, kehadiran investasi asing ini disertai dengan perampasan lahan, penguasaan sumber daya milik rakyat, pengusiran penduduk, dan kekerasan.
Kasus diatas adalah sebagai bukti bahwa sistem kapitalisme telah gagal dalam menyejahterakan kehidupan rakyat Indonesia, sudah selayaknya bangsa dan pemerintahan Indonesia menggunakan sistem yang mutualisme bagi rakyatnya juga bagi negeranya. Timbul pertanyaan, apakah sistem ekonomi yang cocok untuk rakyat Indonesia yang mayoritasnya Muslim ?
Untuk menjawab pertayaan diatas, seharusnya bangsa Indonesia ‘melek’ kepada sistem ekonomi Islam. Persoalan yang ada sekarang adalah apakah Islam mempunyai konsep ekonomi ?
Pemikiran tentang ekonomi Islam telah ada sejak Nabi Muhammad SAW. Setelah masa tersebut ternyata para ulama banyak memberikan kontribusi karya pemikiran ekonomi. Karya-karya mereka sangat berbobot, yaitu memiliki dasar argumentasi religius dan sekaligus intelektual yang kuat, dengan didukung oleh fakta empiris yang ada pada waktu itu.
Di antara beberapa kajian sejarah pemikiran ekonomi adalah kajian ekonomi di zaman Khulafa Rasyidin dan sistem perekonomian yang dibangun pada masa pemerintahan mereka. Di zaman itu, terdapat beberapa sistem perekonomian Islam, seperti penarikan zakat yang tegas di zaman Abu Bakar, dan beberapa reformasi dan perombakan sistem yang digalakkan pada masa khalifah Umar bin Khattab, bahkan ada sistem yang baru dikenal dan dicetuskan dalam sejarah Islam di periode pemerintahannya. Kemudian sumber daya alam dikembangkan di zaman Utsman bin Affan dan penghargaan terhadap para pensiunan pada masa Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah.
Salah satu khalifah yang paling sukses dari Khulafa Rasyidin  tersebut dalam memimpin dan mensejahterakan rakyatnya adalah Umar bin Khattab. Sosok Umar dikenal tegas dalam memimpin, sederhana dalam kehidupan sehari-harinya, dan taat dalam beragama. Sosok kepemimpinan seperti ini sangat jarang, bahkan tidak ditemukan di zaman sekarang ini. Karena itulah diperlukan suatu kajian tentang kesuksesan Umar dalam memimpin, agar bisa dijadikan teladan oleh para pemimpin mana pun.
Berbagai perkembangan kontemporer sekarang ini seperti krisis ekonomi dahsyat yang melanda dunia, dipertanyakannya kembali asumsi-asumsi dasar  liberalisme dan kapitalisme, dampak kerusakan akibat kebebasan yang tanpa kontrol, peran pemerintah sesudah dimatikan oleh ekonomi neoliberal telah membuka peluang-peluang baru, bagi aplikasi kebijakan ekonomi Umar bin Khattab.
Biografi Umar Bin Khattab dan Konsep Kepemilikan Tanahnya
Umar bin Al-Khattab bin Nufail Al-Quraisy adalah nama lengkapnya. Umar dilahirkan di Mekkah tiga belas tahun setelah Tahun Gajah.[4] Umar Bin Khattab adalah sosok teladan pemimpin sepanjang masa. Beliau dikenal sebagai pribadi yang sederhana. Bertanggung jawab atas kepemimpinan yang beliau jalankan. Kepribadian Umar tidak diragukan lagi sampai saat ini. Oleh karena itu tak heran jika di dalam bukunya Michael H. Hart, menuliskan Umar pada urutan ke- 51 dari 100 tokoh paling berpengaruh dalam sejarah.
Selain menjadi orang pertama yang membuat kalender hijriyah, menjadikan kekuasaan yudikatif sebagai kekuasaan independen dan orang pertama yang dipanggil Amirul Mukmin,[5] Umar juga dikenal sangat cerdas. Karena kecerdasannya itulah, Rasullah memberikan gelar Al-Faruq atau sang Pembeda kepadanya.[6]
Dalam memperlakukan tanah-tanah taklukan, Khalifah Umar tidak membagi-bagikannya kepada kaum muslimin (tentara), tetapi membiarkan tanah tersebut tetap berada pada pemiliknya dengan syarat membayar kharaj dan jizyah. Ia beralasan bahwa penaklukan yang dilakukan pada masa pemerintahannya meliputi tanah yang demikian luas sehingga bila dibagi-bagikan akan mengarah pada praktek tuan tanah.[7] Karena menurut Umar, para tentara bukanlah ahli bercocok tanam, selain kualitas pertanian akan menurun, juga akan berdampak pada rendahnya produktivitas. Dan untuk menanggung nasib para tentara, maka pada zaman Umarlah awal mula ditetapkan gaji tetap bagi para tentara, selain sebagai tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup, juga agar terjaga motivasi para tentara dalam membela negara.
Khalifah Umar juga melarang bangsa Arab untuk menjadi petani karena mereka bukan ahlinya. Menurutnya, tindakan memberi lahan pertanian pada mereka yang bukan ahlinya sama dengan perampasan hak-hak publik. Ia juga menegaskan bahwa negara berhak untuk mengambil alih tanah yang tidak dimanfaatkan miliknya dengan memberikan ganti rugi secukupnya.[8]
Dalam hal kharaj atau pajak, Khalifah Umar mententukannya dengan berdasarkan produktifitas lahan, bukan berdasarkan zona. Produktifitas lahan diukur dari tingkat kesuburan lahan dan irigasi. Jadi sangat memungkinkan dalam satu wilayah atau areal yang berdekatan akan berbeda jumlah kharaj yang akan dikeluarkan. Kebijakan ini menyebabkan pengusaha kecil yang kurang produktif masih dapat melanjutkan usahanya. Umar telah mengutus Utsman bin Hanif dan Huzaifah bin Nukman untuk melakukan pengukuran tanah-tanah gembur (hitam) dan menetapkan besar kharaj dan hasilnya, luas tanah tersebut 36 juta jarib.[9]  
Setelah menetapkan kriteria tanah yang wajib pajak berdasarkan jenis tanah, jenis tanaman, proses pengelolaan dan juga hasil akhir, kemudian Umar menetapkan kharaj setiap satu jarib gandum basah 2 dirham, setiap satu jarib kurma yang baru matang 4 dirham, 4 dirham dari satu jarib jagung basah dan 8 dirham untuk setiap satu jarib kurma kering, 6 dirham untuk setiap satu jarib tebu, anggur 10 dirham, zaitun 12 dirham.[10]
 Dari Pendapatan dari tanah ini, negara mendapatkan 7.000.000 dinar setiap tahun, yang semata-mata digunakan untuk kesejajahteraan umat. Jumlah kharaj dari Iraq berkisar 86.000.000 dirham setiap tahun. Dengan penerapan sistem ini, tanah-tanah yang sebelumnya tidak terurus, kemudian terolah baik, sehingga pada tahun kedua terjadi lonjakan pendapatan yang tinggi sekali, dari 86.000.000 menjadi 100.020.000 dirham.
Jika ditotalkan kedalam Rupiah, maka pada masa pemerintahan Umar bin Khattab Negara mendapatkan sekitar Rp. 12.600.000.000.000 atau 12,6 triliun[11] per tahun. Jumlah ini sangat besar karena zaman dulu, pemanfaatan tanah tidak mencakup pertambangan seperti minyak bumi, gas dan lai-lain melainkan hanya memanfaatkan potensi tanah yang subur terus dikelola oleh negara.
Konsep Kepemilikan Tanah Umar, Solusi Perekonomian Indonesia
Penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep kepemilikan tanah yang dilakukan oleh Umar bin Khattab ini adalah kekuasaan tanah dikendalikan seluruhnya oleh Negara untuk kepentingan rakyat.
Dalam kepemimpinan Umar bin Khattab, seluruh tanah dikuasai oleh negara untuk kepentingan rakyat, karena Umar bin Khattab telah mengamalkan hadits Nabi Muhammad SAW yang berbunyi: “Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal, yaitu padang rumput, air dan api.[12] (HR. Ahmad).
Umar telah mengetahuinya, pangkal hadits ini mengandung arti perintah untuk memberikan kebebasan bagi setiap muslim menggunakannya sebagai milik bersama tidak boleh seorang pun memonopoli kepemilikan. Karena sebagai milik bersama maka tidak ada hak individu menguasainya untuk kepentingan pribadi. Jika ada orang lain membutuhkannya, maka tidak boleh mencegahnya.
Oleh karena itu, Umar menjadikan tanah-tanah yang telah dibebaskan oleh tentara muslim menjadi kekayaan publik. Para pemilik tanah tersebut mengolah tanah mereka dan memberikan pajaknya kepada negara. Pajak tersebut akhirnya masuk ke dalam kas negara (Baitul Mal) yang akan didistribusikan untuk kepentingan rakyat. Seharusnya, perekonomian Indonesia seperti ini, yaitu seluruh SDA yang sangat melimpah ini, dikuasai negara untuk kepentingan rakyat.
Sesungguhnya, Indonesia memiliki potensi kekayaan alam yang kaya raya, makanya tidak aneh bila Indonesia dijuluki sebagai zamrud khatulistiwa. Potensi kekayaan alam Indonesia antara lain, kekayaan hutan, perkebunan, kelautan, BBM, emas dan barang-barang tambang lainnya. Indonesia adalah negara dengan kekayaan alam yang luar biasa. Dikutip dari al-khilafah.org, kekayaan alam dan energi di Indonesia meliputi:[13]
a. Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam melimpah. Kekayaan hayati Indonesia seperti hutan, luasnya yang tersisa menurut Bank Dunia sekitar 94.432.000 ha pada tahun 2010. Sekitar 31,065,846 ha diantaranya adalah hutan yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Indonesia memiliki 10% luas hutan tropis yang masih tersisa. 
b. Lapangan usaha Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan secara bersama berkontribusi sebesar 14,7% dari PDB Indonesia tahun 2011 yang mencapai Rp. 7.427,1 triliun. 
c. Indonesia merupakan produsen terbesar kedua untuk timah, terbesar untuk tembaga, kelima untuk nikel, ketujuh untuk emas dan batu bara. Indonesia memiliki sumber daya energi berupa minyak bumi, batubara, gas alam, geotermal, energi terbarukan dan nuklir.
d. Indonesia memproduksi di atas 790.000 ton konsentrat tembaga pada 1999. Produksi tersebut dihasilkan dari pertambangan Grasberg yang mayoritas sahamnya dikuasai oleh PT Freeport Indonesia milik perusahaan asal AS Freeport-Mcmoran.
e. Indonesia memiliki tambang Grasberg yang terletak di Tembagapura memiliki cadangan 2.500 metrik ton, yang mengandung 1,13 persen tembaga, 1,05 gram per ton emas, dan 3,8 gram per ton perak. 
f. Indonesia memiliki tambang tembaga Batu Hijau di Pulau Sumbawa dikembangkan dengan investasi sekitar 1,9 miliar US $ oleh PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT). Cadangan diperkirakan 1.000 metrik ton terdiri dari tembaga 0,52 persen dan emas 0,4 gram per ton. Masa tambang Batu Hijau diperkirakan bisa sampai 25 tahun. Produksi per tahun mencapai 245.000 ton tembaga dan 18 ton emas.  
g. Indonesia menjadi negara pengekspor batu bara ketiga terbesar di dunia setelah Australia dan China. Indonesia mengekspor 64 metrik ton batubara pada tahun 2001, dari total produksi 92 metrik ton. Cadangan batu bara Indonesia diperkirakan 35 miliar ton dan sudah terbukti sebanyak 23 miliar ton. 
Seharusnya semua kekayaan ini bisa menjadikan Indonesia semakin sejahtera, akan tetapi pada faktanya, menurut Kepala BPS Suryamin menyatakan bahwa indeks kedalaman kemiskinan naik dari 1,75% (Maret 2013) menjadi 1,89%. Kemudian indeks keparahan kemiskinan naik dari 0,43% (Maret) menjadi 0,48%. Artinya, tingkat kemiskinan yang ada di Indonesia semakin parah. Sebab berada menjauhi garis kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran penduduk miskin semakin melebar.[14]
Selain itu, Menurut Menko Kesra HR Agung Laksono mengakui target menurunkan angka kemiskinan menjadi di bawah 10% tampaknya sulit tercapai. Menurutnya, saat ini angka kemiskinan Indonesia masih 11,7%. Padahal, Pemerintah Indonesia menargetkan angka kemiskinan pada akhir tahun 2014 dapat berkurang menjadi 8-10%.[15] 
Data diatas telah membuktikan bahwa kekayaan alam yang dikeruk oleh perusahaan asing telah merugikan negara. Artinya, selama kekayaan alam Indonesia masih dinikmati oleh individu, Indonesia tidak akan pernah bebas dari kemiskinan. Karena, tidak ada satu bangsa pun yang maju dan sejahtera yang menyerahkan kekayaan alamnya ke pihak asing. Jika kita lihat negara-negara yang maju dan makmur seperti AS, Inggris, Perancis, Jerman, Swis, Arab Saudi, Qatar, Kuwait, Venezuela, dan sebagainya, mereka tidak mau menyerahkan kekayaan alamnya ke pihak asing. 
Di Ensiklopedi MS Encarta dengan topik “Saudi Arabia” dan “Venezuela” dijelaskan bahwa kedua negara tersebut menasionalisasi perusahaan minyak yang ada di sana. Pengambilalihan perusahaan ARAMCO (Arabian American Oil Company) oleh pemerintah Saudi terbukti meningkatkan pendapatan negara sangat besar.[16]
Begitu pula Venezuela. Presiden Venezuela Hugo Rafael Chavez pada hari Senin, 18 Agustus 2008 melakukan Nasionalisasi Perusahaan Semen Mexico di Venezuela, yaitu CEMEX secara paksa setelah berbulan-bulan gagal melakukan pengambilan alihan perusahaan itu melalui jalan negosiasi. Pemerintah menempatkan tentara di kompleks pabrik semen tersebut untuk menjaga keamanan pabrik dan keberlangsungan operasional. Langkah Presiden Hugo Chavez ini menarik sekali untuk dipelajari, sebab ada kemiripan antara Venezuela dan Indonesia, yaitu sama-sama negara berkembang dan penghasil besar minyak bumi serta sumber-sumber daya alam lainnya. Langkah Presiden Hugo Chavez menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing di Venezuela dilakukannya setelah melihat kemiskinan dinegerinya berlanjut, walaupun banyak perusahaan asing beroperasi di Venezuela. Jika kita lihat, SDM di kedua negara tersebut sangat terbatas. Arab Saudi bahkan kerap meminta tenaga kerja dan juga tenaga ahli ke Indonesia. Seharusnya, Indonesia bisa belajar kepada kedua negera tersebut.
Jika Indonesia seperti Venezuela dan Arab Saudi yang tidak memberikan kekayaan alamnya kepada pihak asing, maka pendapatan Indonesia  dari kekayaan alamnya saja sudah sangat besar, yakni sekitar Rp. 1.642.000.000.000.000 atau Rp. 1.642 triliun.[17] Jumlah penerimaan tersebut lebih dari cukup untuk mencukupi kebutuhan negara dan rakyat serta menggerakkan ekonomi. Bandingkan dengan penerimaan APBN P 2012 Indonesia saat ini yang hanya sekitar Rp. 1.358,2 triliun dimana 74.5%nya bersumber dari pajak yakni Rp 1.012 triliun, selain itu APBN Indonesia mengalami defisit karena belanja negara sekitar Rp. 1.548,3 triliun[18], yang harus ditutupi melalui hutang. 
Oleh karena itu, kebijakan ekonomi Umar tentang kepemilikan tanah harus diterapkan di Indonesia untuk meminimalisir hutang dan meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Kesimpulan dan Saran
1. Kapitalisme telah gagal mensejahterakan Indonesia bahkan merugikan negara sampai 6 triliun.
2. Pembuka gerbang masuknya perusahaan asing di Indonesia adalah Soeharto dengan mengesahkan UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.
3. Sistem Ekonomi Islam lebih baik dari segala sistem ekonomi  yang ada karena lebih mengutamakan kepentingan rakyat bukan individu. Ekonomi Islam sudah ada sejak Nabi Muhammad SAW dan diteruskan oleh para pengikutnya.
4. Sistem Ekonomi Islam mencapai puncaknya ketika Umar bin Khattab menjadi Khalifah kedua menggantikan Abu Bakar dengan melanjutkan kebijakan perekonomian sebelumnya dan melakukan terobosan-terobosan baru yang menguntungkan umat.
5. Dalam memberlakukan tanah, Umar tidak mebagikannya kepada tiap individu namun dikuasai oleh negara sehingga negara mendapatkan penghasilan yang besar dari produksi tanah untuk kemakmuran bersama. Pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, negara mendapatkan Rp. 12,6 triliun hanya dari produksi tanah berupa perkebunan dan pertanian.
6. Indonesia adalah negara dengan SDA yang sangat melimpah. Potensi kekayaan alam Indonesia antara lain, kekayaan hutan, perkebunan, kelautan, BBM, emas dan barang-barang tambang lainnya. Dengan kekayaan alam yang sanagt melimpah itu, seharusnya Indonesia menjadi negara termaju dan terkaya di muka bumi ini. Namun, SDA alam Indonesia dikuasai oleh individu dan perusahaan asing yang menyebabkan kemiskinan dan kerugian bagi negara yang begitu besar. Indonesia harus belajar banyak kepada Venezuela dan Arab Saudi yang menasionalisasikan tambang minyaknya.
7. Presiden Hugo Chavez telah berhasil mengurangi kesenjangan antara kaya dan miskin, memberikan tanah-tanah bagi kaum miskin melalui kebijakan land reform, membangun ribuan klinik bagi rakyat miskin, serta memberikan pendidikan gratis kepada rakyat sampai ke tingkat perguruan tinggi.
8. Kebijakan Presiden Hugo Chavez untuk menasionalisasi perusahaan asing menjadi BUMN terlihat bertentangan 180 derajat dengan kebijakan pemerintah Indonesia untuk menjual BUMN-BUMN kepada pihak asing.
9. Pemimpin masa depan Indonesia perlu meninjau ulang kebijakan untuk menjual aset-aset nasional kepada pihak asing, sebab dikhawatirkan bahwa langkah ini malah akan makin membuat rakyat Indonesia makin miskin, makin menderita, makin tingginya jurang antara si kaya dan si miskin, kekayaan alam Indonesia makin terkuras habis tanpa memberikan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia sesuai dengan amanat UUD 1945 dan cita-cita Kemerdekaan Bagi segenap Bangsa Indonesia.
10. Terkait struktur kepemilikan, nasionalisasi memang merupakan jalan mengembalikan kontrol negara terhadap sumber daya dan aset nasional. Namun, belajar dari pengalaman banyak negara, kontrol negara ini bisa menyimpang: korupsi, mismanajemen, birokratisme, dan lain-lain. Karena itu, sesuai amanat pasal 33 UUD 1945 ayat 1, harus ada upaya untuk mendorong kepemilikan sumber daya atau aset nasional menjadi kepemilikan umum.
11. Jika Indonesia berhasil menerapkan kebijakan ekonomi Umar bin Khattab dalam hal kepemilikan tanah, Indonesia akan mendapatkan Rp. 1.642 triliun hanya dari kekayaan alamnya saja.

Daftar Pustaka
Fauzan, Iman. 2012.  100 Tokoh Islam Terkenal di Dunia. Tangerang: Mediatama Publishing Group.
Israil, Syarifuddin. “Kebijakan Ekonomi Umar bin Khattab” Jurnal Manajemen dan Akuntansi. No 1. Vol 12. April 2011. Hlm. 95.
Karim, Adiwarman Azwar. 2012. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: Rajawali Pers.
Zallum, Adula Qadim. 1983. Sistem Keuangan di Negara Khalifah. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah.





[1] Lihat: http://www.republika.co.id/berita/regional/nusantara/11/10/28/ltru6e-ini-33-perusahaan-asing-yang-rugikan-negara-rp-6-triliun
[2] Lihat:  http://home.liputan6.com/read/429224/bangsa-indonesia-harus-ambil-alih-pt-freeport
[3] Lihat: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4e848b537f794/kontrak-perusahaan-tambang-asing-banyak-merugikan
[4] Iman Fauzan, 100 Tokoh Islam Terkenal di Dunia (Tangerang: Mediatama Publishing Group, 2012), hlm. 15.
[5] Ibid., 16
[6] Ibid., 17
[7] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakart: Rajawali Pers, 2012) hlm. 66
[8] Ibid., hlm. 67
[9] Jarib adalah ukuran tanah kira-kira 1 jarib = 36,96 m x 36,96  meter. Maka satu jarib seluas 1366 m persegi. Lihat: Adula Qadim Zallum,  Sistem Keuangan di Negara Khalifah (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 1983)  hlm. 53. Jadi, 36 juta jarib itu sekitar 49.176.000.000 m persegi.
[10]Syarifuddin Israil, Kebijakan Ekonomi Umar bin Khattab (Jurnal Manajemen dan Akuntansi) Vol 12, No 1. Hlm. 95.
[11]Berdasarkan harga terupdate dalam http://www.dinar-online.com/ (30/05 2014 pukul 00.00) menyebut bahwa 1 dinar = 1.800.000. Jadi, 7.000.000 x 1.800.000 =  12,6 triliun
[12] Musnad Ahmad,  Juz 47 h.57 no.22004
[13]Lihat: http://www.al-khilafah.org/2012/06/makalah-pengelolaan-kekayaan-alam-dan.html

[14] Lihat: http://finance.detik.com/read/2014/01/02/152910/2456793/4/bps-akui-kemiskinan-di-indonesia-semakin-dalam-dan-parah
[15] Lihat: http://www.menkokesra.go.id/content/menko-kesra-akui-sulit-tekan-angka-kemiskinan
[16] Lihat: http://infoindonesiakita.com/2009/01/16/arab-saudi-dan-venezuela-nasionalisasi-perusahaan-minyak-kapan-indonesia/
[17] Lihat: http://www.al-khilafah.org/2012/06/makalah-pengelolaan-kekayaan-alam-dan.html. Jumlah ini adalah perhitungan hasil dari kekayaan alamnya saja seperti: sektor energi, pertambangan, hasil laut dan hasil hutan belum lagi dengan shadaqah, zakat, ghanimah dll.  
[18] Lihat: http://id.wikipedia.org/wiki/Anggaran_Pendapatan_dan_Belanja_Negara

No comments