Ancaman Teknologi dalam Diskursus Hadis
Teknologi telah banyak memudahkan kita
dalam menyimpan data. Beberapa abad yang lalu Imam Bukhari harus bersusah payah
berdiaspora dari kampung ke kampung untuk mengumpulkan hadis yang tersimpan
dalam memori kolektif masyarakat. Ada proses yang rumit ketika Imam Bukhari
memutuskan bahwa hadis itu shahih atau dlaif. Untuk mendapatkan hadis yang benar-benar valid, ia melakukan
perjalanan ke negara-negara Islam dengan menemui ribuan perawi hadits. Secara sabar,
ia mendengarkan para perawi itu.
Imam Bukhari tidak mengumpulkan
hadis-hadis itu secara random, tapi mengklasifikasinnya ke dalam tema-tema yang
serumpun agar memudahkan kita mencari hadis yang kelak kita butuhkan. Berkat
Imam Bukhari dan ulama-ulama hadis lainnya, pencarian hadis tidak perlu lagi
bertualang ke pelosok-pelosok negeri. Teknologi kertas sangat membantu
menyimpan data-data hadis, sehingga mendorong ulama-ulama selanjutnya bukan
lagi mencari hadis melainkan mengolah data-data itu dalam bentuk komentar (syarh).
Penemuan mesin canggih yang bernama komputer
semakin kita dibuat manja oleh teknologi. Komputer mampu menyimpan data-data
hadis lebih banyak dan lebih canggih dari teknologi kertas. Pencarian hadis
yang sudah terdigitalisasi lebih mudah daripada hadis yang baru terkodifikasi.
Secara teknis, ketika kita ingin mencari suatu hadis, tanpa perlu lelah membuka
setiap lembar kitab Shahih Bukhari yang cukup tebal itu, kita hanya perlu
mengetikkan kata kunci lalu beberapa detik kemudian muncul hadis yang kita
cari. Kemudahan pencarian data-data yang bisa dilakukan semua orang ini mendorong
kajian hadis menjadi semakin komprehensif.
Ketika data-data hadis berpindah dari
hafalan ke kertas, kemampuan mengingat hadis sedikit merosot, tapi penelaahan
hadis semakin massif. Ketika data-data hadis beralih dari kertas ke digital,
motivasi menghafal hadis semakin ditinggalkan, tapi pengolahan hadis semakin
beragam. Di satu sisi teknologi telah mengambil alih penyimpanan data dari
manusia, tapi di sisi lain ada yang patut kita banggakan dari perkembangan
teknologi yaitu otoritas menyarah hadis masih milik umat manusia. Teknologi
hanya mampu menyimpan, bukan menganalisis.
Namun, setelah umat manusia mengawinkan revolusi
bioteknologi dan infoteknologi yang kemudian lahir bayi bernama Artificial
Intellegent (AI), apakah kita akan menyerahkan otoritas penelaahan teks hadis
dari manusia ke teknologi? Apakah kita akan benar-benar membiarkan AI
menganalisis hadis? Lebih jauh lagi, ketika kecerdasan buatan ini mencapai
wujud yang paling sempurna, apakah kita masih membutuhkan ulama?
Post a Comment