Dampak dari Penolakan Imam Syafi'i pada Istihsan
Semalam saya mengikuti
Pengajian Tarjih di Masjid Gedhe Kauman karena dua alasan: pertama, yang
mengisi kajian tersebut prof. Syamsul Anwar yang merupakan idolaque; kedua,
bahasan yang diangkat cukup menarik yaitu tentang istihsan. Istihsan menarik
diungkit karena di sinilah titik fundamental perbedaan pendapat para ulama
Zhahiriyyah, Syafi’iyyah, dan Hanafiyyah.
Istihsan
sebagai metode istinbat hukum dalam pandangan ulama Hanafiyyah justru sangat
diapresiasi, sementara ulama Syafi’iyyah menolaknya. Bahkan kata Imam Syafi’i,
siapa pun yang menggunakan istihsan, dia telah membuat-buat syariat. Pernyataan
Imam Syafi’i itu secara tidak langsung tanggapan terhadap ulama Hanafiyyah yang
terlalu mengapresiasi istihsan sebagai basis istinbat hukum. Keseriusannya
dalam menolak metode ini, sampai-sampai Imam Syafi’i menulis satu bab penuh
dengan judul Ibthal Istihsan dalam kitab al-Umm.
Kritik keras Imam Syafi’i terhadap
istihsan terasa dampaknya. Orang-orang Zhahiriyyah dulunya merupakan militan
Syafi’iyyah. Meskipun Imam Syafi’i menolak penggunaan istihsan, namun
orang-orang Zhahiriyyah merasa masih belum puas sehingga mendirikan mazhab
tersendiri yang lebih posivistik. Ketidakpuasan orang-orang Zhahiri mungkin karena
mazhab Syafi’I masih menempatkan qiyas sebagai sumber hukum di samping al-Qur’an,
al-Sunah, dan Ijma’. Sementara itu, dampak penolakan keras Imam Syafi’i yang
mengatakan bahwa istihsan merupakan metode istinbat hukum yang bersumber dari
hawa nafsu dan tidak berlandaskan dalil memancing ulama-ulama Hanafiyyah untuk
merevisi konsep istihsan di kemudian hari.
Jadi kritik keras Imam
Syafi’i terhadap istihsan menginspirasi lahirnya mazhab Zhahiriyyah, dan
memancing ulama Hanafiyyah untuk mengkonsep ulang istihsan menjadi metode yang
lebih canggih.
Post a Comment