Nonton Gol Pertama Messi Bersama Bapak
Mungkin ada penjelasan ilmiahnya tentang apa yang
diwariskan orangtua melalui DNA tidak hanya penampilan fisik, tapi juga hobi nonton
bola. Warisan genetik tersebut membuat saya sangat menyukai segala hal drama
yang terjadi di lapangan hijau.
Beruntung sekali saya bangun subuh hari di
tanggal 1 Juni 2005. Hari bersejarah itu, bersama Bapak, nonton pertandingan
yang mungkin tidak akan dilupakan oleh sebagian orang. Sebuah pertandingan yang menjadi momentum
lahirnya calon manusia terbesar dalam sejarah sepakbola.
Saat itu Barcelona sedang menjamu Albacete. Entah bagaimana penjelasan
genetikalnya, saya menyukai tim yang sama sekali dibenci oleh Bapak saya. Keikutsertaan
Bapak saya dalam pertandingan itu sebetulnya mendambakan kekalahan tim Catalan.
Jadi, beliau hanya ingin menyaksikan kekalahan Barca, bukan kemenangan
Albacete.
Anda bisa bayangkan bagaimana kami terlibat
dalam perang urat saraf setiap momen tercipta di pertandingan itu. Saat Albacete
menyerang pertahanan Barcelona, ujaran-ujaran yang merendahkan Puyol dkk keluar
dari mulut Bapak saya tanpa melalui kendali sensor apapun.
Dan saya pun tidak mau kalah. Saat Barca
dalam posisi menyerang, saya seperti melepaskan ikatan kekeluargaan terlebih
dahulu, mengambil jarak hubungan bapak dan anak kandung. Hal tersebut saya
lakukan demi kepuasan lahir dan batin.
Pada menit 66, Barca akhirnya unggul 1-0
lewat gol Eto’o. Saya menyaksikan dengan saksama raut muka Bapak sudah tidak
lagi menikmati pertandingan. Gairahnya mulai kendor.
Tentu saja ini menjadi kesempatan emas
buat saya untuk membuli ayah kandung sendiri. Hehehe, kapan lagi bisa membuli
beliau kalau bukan karena hasil pertandingan bola. Maka, saya memanfaatkan
momen langka tersebut.
Nah, uniknya gairah membeo Bapak kembali
bangkit. Bukan karena Albacete berhasil menyamakan kedudukan, melainkan Barca
pada waktu itu memasukkan pemain muda berusia 17 tahun asal Argentina, Leonel
Messi. Melihat remaja itu masuk menggantikan Eto’o pada menit 87, reaksi
biokimia Bapak seperti kembali bergairah untuk membuli saya lagi.
Dengan segenap jiwa dan raga, Bapak
melontarkan ujaran-ujaran kebencian pada Messi. Kalau saja ujaran itu dilontarkan
di sosial media, besar kemungkinan Bapak bakal kena jerat UU ITE. Saya sendiri
yang akan melaporkannya. Wkwkwk.
Saya pun merasa heran kenapa Frank
Rijkaard, pelatih Barca ketika itu, memasukkan bocah yang bahkan secara fisikal
tidak seperti pemain bola pada umumnya. Bahkan yang terlihat ketika itu,
Messi sungguh culun dan pemalu. Penampilannya tidak segahar Gattuso atau Hernan
Crespo.
Akan
tetapi setelah Messi masuk lapangan, lalu mendapat bola, seketika itu juga
ocehan Bapak yang merendahkan Messi langsung terdiam begitu saja tanpa kata-kata.
Saya dan Bapak terpesona menyaksikan bagaimana cara Messi bermain bola.
Bahkan
beberapa menit Messi bermain, aura magisnya sudah terasa. Terbukti dengan
terciptanya gol hasil umpan ciamik dari Ronaldinho, raja Catalan ketika itu. Sayang wasit tidak mengesahkan gol tersebut lantaran
Messi positif berada dalam posisi off-side.
Dianulirnya
gol Messi oleh wasit tentu saja kembali membangkitkan lalu lintas biokimia Bapak
untuk kembali membuli Messi yang sejatinya membuli saya yang mulai terpana
dengan kehadiran pemain mungil itu.
Biokimia Bapak kembali diaduk-aduk oleh si Kutu. Detakan jantung
dan aliran darah Bapak kembali dikoyak-koyak. Dalam keheningan, pemain yang
pada waktu itu masih mengenakan nomor punggung 30, ternyata enggan menyerah
begitu saja.
Di masa injury
time, melalui skema permainan yang hampir sama dengan gol yang
dianulir wasit, Messi sekali lagi mendapat umpan lambung dari Ronaldinho,
lantas menunggu satu detik agar bola enak ditendang, sebelum melepaskan
tembakan chip yang tak mampu
dijangkau oleh kiper Raul Valbuena. Akhirnya Barca unggul 2-0.
Sumpah
demi Allah gol itu menjadi penanda sejarah bukan hanya untuk Messi seorang,
tapi juga untuk saya dan Bapak. Sejak saat itu saya mendeklarasikan diri
menjadi fans Messi garis keras. Sebaliknya, Bapak mulai membayangkan kelak
Messi akan menjadi mesin penghancur klub Ibu Kota, Real Madrid.
Begitulah
indahnya menonton bola, acap kali drama terjadi, seluruh instrumen anatomi seperti
ikut terlibat. Di dalamnya ada banyak tarik ulur perasaan. Hanya pada waktu
nonton bolalah, Bapak menganggap saya sebagai seorang kawan nonton bareng,
bukan sebagai anak kandung.
Sekarang
Messi sudah berusia 32 tahun. Usia yang sudah tidak muda lagi untuk ukuran
pemain bola profesional. Di balik
menambahnya usia Messi, usia Bapak juga semakin menua. Sedang saya beranjak dewasa.
Ingin sekali momen-momen indah seperti itu kembali terulang.
Tapi
apa daya, waktu memang begitu kejam.
Post a Comment