Drama di Kereta
Selepas
salat isya saya langsung tancap gas ke stasiun kereta untuk bertolak ke Malang
menghadiri sebuah acara yang bagi saya lumayan menarik. Saya berangkat ke
Malang dengan ust Niki Alma Febriana Fauzi dan ust Qaem Aula Syahid, dua cendekiawan muda par
excellent dengan reputasi akademik yang tak perlu dipertanyakan lagi. Karena
kalau dipertanyakan saya juga bingung mau jawab apa.
Di
dalam kereta kita sibuk dengan urusan masing-masing. Kerjaan ust Alma saat di
gerbong hanya memandang pada jendela yang menampilkan gelap malam bermandikan
cahaya lampu sambil berusaha melupakan rasa dingin. Setelah kenyang menyaksikan
rona gelap, ust Alma kemudian tidur.
Ust
Qaem tak menghiraukan dingin, kendati aliran angin AC laksana kabut tipis di
pagi hari yang menggelayut di cakrawala. Ia dengan khusyuk menghadap layar
telepon pintar menyaksikan pertarungan Itachi melawan adik semata wayangnya
Saskee. Tak lama kemudian Ust Qaem juga langsung tidur.
Seorang
intelektual, kata Julien Benda, adalah mereka yang senantiasa gigih membela
kebenaran dan keadilan. Mereka akan selalu dihinggapi rasa resah melihat
ketidakbecusan sistem sehingga membuat mereka sulit tidur. Mereka adalah
orang-orang yang ‘berumah di atas angin’, kata John Caroll.
Tapi,
melihat kelakuan kedua kakak tingkat yang mendaku sebagai cendekiawan muda abad
ini, saya merasa risih. Mereka samasekali tak menampilkan sebagaimana sosok
intelektual pada umumnya. Kita bisa menyebut mereka berdua sebagai
“pseudo-intellectual”, karena tidur di saat Indonesia sedang kacau balau!
Obsesi
saya menjadi seorang intelektual sejati begitu besar. Duduk di kereta sambil
menulis atau baca buku bisa jadi momen bagus. Alhasil, saya membuka laptop
untuk menulis berbagai keresahan hidup. Beberapa kalimat berhasil tersusun
lumayan rapi. Alhamdulilah tercipta satu paragraf utuh. Walau gak bagus-bagus
amat tapi ya lumayanlah.
Awalnya
terlihat keren memang. Tapi selang beberapa menit saya tak kuasa menahan
pening. Usus 12 jari saya seperti berjoget-joget. Nasi padang, tempe bacem,
sayur lodeh, jeruk nipis, rasa-rasanya mereka berontak ingin keluar lewat
mulut. Saya tahan, tutup laptop, dan memejamkan mata. Saya pikir, mengambil
jalan tidur merupakan sikap yang paling manusiawi untuk seseorang yang tidak
mengawali ritual minum antimo sebelum masuk ke moda transportasi.
Sesampainya
di Malang saya merenung dan bertobat. Kalau jadi intelektual sejati harus bisa
berpikir kritis, menulis dan membaca saat di kendaraan, saya mending nggak jadi
intelektual. Biarkan orang lain mengenal sebagai buzzer saja. Itu lebih aman
saat Anda berkendara.
Post a Comment