Keuntungan dari Islamophobia di Barat

Donald Trump, kandidat Presiden Amerika Serikat dari Partai Republik menyatakan secara terbuka di arena kampanye (kalau tidak salah pada bulan Desember tahun lalu) melarang umat Islam masuk ke negaranya. Kemudian tempo lalu saya pernah membaca sebuah Koran yang menyatakan bahwa ada seorang anak yang bernama Ahmed Mohamed, remaja Muslim di Amerika Serikat ditangkap karena jam digital hasil rakitannya disangka bom. Hal ini seakan menggambarkan potret buram Islamophobia di Barat yang sudah semakin mencakar langit.

Lebih mengejutkan lagi menurut Islam Komisi Hak Asasi Manusia (IHRC), perilaku diskriminasi terhadap muslim terjadi dalam bentuk kekerasan baik fisik maupun verbal. Itu artinya, Islamophobia telah melahirkan kekerasan yang baru, lebih dari itu jika dilihat dari perspektif korban, Islamophobia adalah bentuk rasisme. Menurut survey ini juga, diskriminasi terhadap Muslim adalah akibat dari pemberitaan di media dan ucapan para politisi yang bernada “kebencian” terhadap Islam. Islamophobia. Kerugian virus Islamophobia pun pernah dirasakan oleh Samantha Elauf, dia adalah perempuan berhijab di Amerika Serikat yang beberapa kali ditolak bekerja di toko pakaian.

"Hijab merupakan bentuk alienation oleh komunitas Barat," kata Yvonne Riddley, seorang mualaf mantan wartawan Sunday Express, ketika menjelaskan tentang penyakit Islamophobia secara sengaja dilahirkan oleh media Barat. Lebih dari itu menurut Michael Privot, seorang Director of the European Network Against Racism (ENAR) menyatakan, Islamophobia tidak akan pernah berhenti selama masih ada berita tentang terorisme dihubungkan dengan Islam. Barat menciptakan Islamophobia, Barat melahirkan Islamophobia.

Apa keuntungan media Barat melahirkan Islamophobia ?

“Islamophobia is not just an idea, it is a multimillion dollar industry in the United State. Everything is a business here, even hatred.” Kira-kira seperti inilah inti dari obrolan antara Nathan Lean dengan Kourosh Ziabari tentang isu Islamophobia di Amerika Serikat, ketakutan mereka terhadap Muslim menjadi sebuah komoditas menguntungkan bagi korporasi media massa raksasa. Islamophobia adalah bisnis besar!

Media-media besar dunia yang bermukim di Barat sering melakukan berbagai cara untuk membentuk stereotip bahwasanya terorisme identik dengan Islam, dan sebaliknya. Inilah inti dari lahirnya Islamopobhia. Ketakutan terhadap segala jenis yang berbau Islam: Pakaian, nama, cara pandang, ide dan penampilan. Barat memang lebay dalam memandang Islam. Setiap hari mereka menampilkan aura Islamophobia. Apalagi akhir-akhir ini begitu banyak bom bunuh diri di belahan dunia seperti di Prancis, Turkey dan yang termutakhir di Pakistan. Tentu saja kejadian-kejadian tersebut semakin ‘menguntungkan’ korporasi mereka. Mungkin istilah bad news is good news sangat berlaku dalam kasus ini.

Namun saya melihat sekarang ini masyarakat dunia mulai menyadari adanya sikap diskriminatif terhadap kaum muslim yang dilakukan oleh media massa. Hal ini dimulai sejak mereka membandingkan kuota pemberitaan pada tragedi Charlie Hebdo dan penembakan di Chaple Hill. Banyak masyarakat menilai bahwa tragedi Chaple Hill dalam hal pemberitaan “tidak adil” dengan tragedi Charlie Hebdo yang mendominasi headlines media selama berhari-hari. Skeptisisme terhadap media pun menjadi trend di media sosial terutama twitter. Hal ini bisa dilihat dari beberapa kali nada “anti-Islamophobia” menjadi trending topic dunia.

Sekarang adalah masanya bersikap skeptic terhadap media dan segala jenis bentuk pemberitaan, benarlah kata Mark Twain, “If you don’t read the newspaper you’re uniformed. If you read the newspaper you’re misinformed.” Karena itu, menurut saya skeptisisme terhadap agama sudah sangat usang, sangat kampungan. Jika masih ada orang yang memiliki sikap seperti ini, mungkin dia satu zaman dengan Marthin Luther yang mempunyai sikap skeptic terhadap ajaran Gereja Katolik.

Skeptisisme sering menuntut manusia untuk meragukan secara positif segala sesuatu dari setiap klaim yang diperoleh. Kira-kira seperti itulah skeptisisme-nya Rene Descartes. Namun bagi saya, kaum skeptisisme itu seperti perempuan yang sudah tidak tahan untuk dinikahi: selalu menginginkan kepastian. Sehingga apapun yang menjadi arus pemberitaan harus dibuktikan secara ilmiah dan objektif. Inilah yang saya lihat di era sekarang. Ketika ada pemberitaan yang bernada “Islamophobia”, kebencian terhadap Islam, mereka tidak menerima begitu saja, tidak menerima dengan “tekstual” bahwa Islam sebagai penyebar terror, penyebar kekerasan.

Sikap skeptisisme masyarakat dunia terhadap media ini, secara alamiah memaksa mereka untuk membuktikan bahwa Islam membawa ajaran keras dan terror. Pada akhirnya mereka belajar tentang Islam dan melirik sejarah Nabi Muhammad SAW. Mereka tidak segan untuk membuka al-Quran, Hadits, fatwa-fatwa ulama hingga akhirnya menyimpulkan bahwa “Muslims are not terrorist” dan “Terrorist has no religion” menggema dalam kebisingan nada-nada Islamophobia.

Jadi, media yang memberitakan tentang Islamophobia sebetulnya mempunyai keuntungan tersendiri bagi umat Islam: dakwah gratis dan “boomerang” bagi mereka yang anti dengan Islam. Contohnya adalah seorang perempuan Amerika Serikat yang bernama Segarich, ia menyatakan "Aku adalah seorang wanita setengah baya yang profesional, sangat independen, sangat kontemporer, dan di sini saya beralih ke agama, yang pada saat itu begitu dicaci." Ia masuk Islam setelah tragedi 11 September.

Konon katanya, tragedi 11 September 2001 di Gedung World Trade Center (WTC) New York sebagai puncaknya Islamophobia, namun bagi sebagian orang justru sebagai “mukjizat” abad 21. Islam tersudutkan, tentu. Namun di sisi lain juga Islam diuntungkan, sangat. Pasalnya sejak tragedi yang menewaskan ratusan orang itu, populasi Islam di Amerika Serikat meningkat pesat, masjid-masjid pun bertambah banyak. Alhamdulilah.

Bayangkan data dari Pew Research Center yang merupakan lembaga nonpartisan untuk "fact tank" menyatakan bahwa Islam menjadi agama yang paling pesat perkembangannya, mulai dari 1,6 miliar di tahun 2010 menjadi 2,76 miliar pemeluknya di tahun 2050. Dengan begitu, pemeluk Islam akan menjadi satu pertiga jumlah populasi dunia.

Sikap “kepo” masyarakat dunia terhadap Islam memang menguntungkan Islam. Sebab, mereka akan mempelajari Islam secara sukarela dan objektif tanpa ditekan dari pihak manapun. Tidak melalui paksaan atau pun pedang yang terhunus, cukup disuguhkan berita “miring” tentang Islam dan silahkan menyimpulkan sendiri. Bagi yang mempunyai sikap skeptic, tentu tidak akan mudah terbius oleh rayuan gombal para penulis opini di beberapa media. Besar kesimpulannya menurut saya adalah terrorist has no religion.

Hal ini semakin menguatkan hipotesa saya: tingginya Islamophobia di Barat berbanding lurus dengan pesatnya perkembangan Islam di Amerika dan Eropa.