Nagrak: Sebuah Kampung Idaman
“Let me go home.. I’m just too far.. from where you are.. I wanna come home.”
Bait lagu dengan judul ‘Home’ dari Michael Bubble ini membuat saya rindu akan kampung halaman yang asri dan damai. Tercatat, sejak saya lulus SMP tahun 2010 sampai sekarang, saya hidup di daerah rantauan antah berantah. Meskipun dimasa liburan saya sering pulang, namun, berdiam lama di lingkungan orang lain itu sangat berbeda dengan kampung halaman. Dari segi budaya, sungguh amat jauh berbeda. Makanya seringkali merindukan baunya tanah kampung halaman.
Bagi saya, kampung halaman (Nagrak) adalah tempat yang
sempurna untuk masa kecil. Sebab, disanalah jati diri saya dibentuk, akhlak
dibina, dan yang paling terpenting adalah pendidikan tentang moral dengan basis
Agama ditekankan sejak kecil. Seperti sekolah Agama dan pengajian di
rumah-rumah. Inilah esensinya sebuah kampung yang religious sebagaimana yang diinginkan
oleh al Ghazali. Karena itulah, serasa saya ingin terus disana dan berdiam di
kampung halaman.
Namun, skema kehidupan yang telah diatur oleh-Nya mengharuskan
manusia pergi dari suatu tempat ke tempat lainnya untuk menyambung hidup,
menimba ilmu dan memanjangkan silaturahim. Jika meminjam istilah Charles
Darwin, manusia sedang menghadapai natural
selection atau seleksi alam. Maka bagi saya, beruntunglah untuk orang-orang
yang merantau jauh meninggalkan rumahnya dan amat rugilah bagi orang yang hanya
berdiam diri di kampung halamannya. Sebab, orang yang berdiam diri di kampung
halamannya, akan sulit untuk menghadapi seleksi alam di kemudian hari.
Selain itu, Imam Syafi’I pernah menulis sebuah syair yang
isinya tentang keharusan seseorang untuk berhijrah sebagaimana Nabi Hijrah dari
Mekkah ke Madinah. Hijarah dari suatu tempat ke tempat lainnya untuk
mendapatkan pelajaran baru. Pesan dari Imam Syafii ini juga bisa menjadi semacam
motivasi bagi siapa saja yang meninggalkan kampung halamannya. Nasihat dari
beliau itu adalah agar seseorang merantau, meninggalkan zona nyamannya menuju
wilayah baru, suasana baru, pengalaman baru, dan berkenalan dengan orang-orang
baru pula. Nasihat tersebut disusun dalam bait syair ini:
“Orang berilmu dan beradab tidak diam
beristirahat di kampung halaman. Tinggalkan negerimu dan hidup asing (di negeri orang).. Merantaulah… Kau akan
dapatkan pengganti dari orang-orang yang engkau tinggalkan (kerabat dan kawan)..
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang..” (Sumber:
Diwan al-Imam asy-Syafi’i. Cet. Syirkah al-Arqam bin Abi al-Arqam. Beirut. Hal.
39)
Pesan yang tertuang dari Syair Imam Syafii ini memberi
isyarat yang istimewa bagi orang yang merenungkannya. Isyarat dari Imam Syafii
ini adalah bahwa manusia yang berilmu dan beradab tidak mungkin diam dan
tinggal di kampung halamannya. Orang yang berilmu adalah orang yang ingin
mencari nafkah, berani meninggalkan zona nyamannya. Orang berilmu akan
senantiasa merantau jauh untuk mendapatkan ilmu baru. Karena, experience is the best teacher. Gitu.
Meskipun merantau jauh meninggalkan kampung halaman adalah
suatu kewajiban khususnya bagi laki-laki, suatu saat akan ada pikiran yang
terbesit dalam hati untuk pulang. Seperti kata pepatah yang mungkin sudah popular
di kalangan masyarakat menyatakan “Sejauh Elang terbang, ia akan kembali ke
sarangnya.” Seperti itulah orang yang sedang merantau jauh dari rumahnya.
Sejauh apa pun tempat rantauannya, pasti ia ingin kembali pulang ke kampung
halamannya tempat ia dilahirkan, dididik dan dibesarkan.
Sebab, dalam ilmu pendidikan Islam, Keluarga menjadi al madrasatul uulaa atau sekolah yang
pertama, sedangkan kampung halaman menjadi al
madrasatuts tsaani atau sekolah yang kedua. So, ini menjadi sebuah
konsekuensi logis bahwa orang yang merantau, akan ingin untuk kembali pulang.
Walaupun kepulangannya itu hanya sekedar bercengkrama dengan orang tua atau
saling menyapa dengan teman lama. Akhirnya.. Oh sungguh indahnya jika waktu
pulang itu tiba. Serasa berlelah-lelah kemudian mendapatkan upah yang
berlimpah.
Dalam tulisan ini, saya tidak akan membahas tentang bagaimana
sejarah terbentuknya kampung Nagrak ? siapa orang pertama yang menetap di
Nagrak ? siapa tokoh di Nagrak ? sejak kapan Nagrak menjadi kampung yang asri ?
dan seterusnya. Karena saya merasa tidak mempunyai data yang real. Disamping
itu, belum pernah ada orang yang melakukan penelitian tentang asal usul Nagrak.
Jadi, yang ditekankan dalam tulisan ini adalah Bagaimana Nagrak bisa menjadi
kampung yang makmur ? dan apa kekurangan dari Nagrak ?
Saya adalah orang yang beruntung dilahirkan di kampung
Nagrak. Kampung yang bisa dikatakan sebagai kampung yang unik tapi antik.
Sebab, bagaimana tidak ? Nagrak adalah sebuah kampung yang terletak di
pinggiran Desa Cibiuk Kidul, kecamatan Cibiuk, Kabupaten Garut. Disana cukup
jauh dengan jalan raya karena letaknya di pinggiran kantor desa. Selain itu di
Nagrak, tidak ada pasar, tidak ada Toserba, tidak ada Alfamart, Indomart bahkan
pangkalan ojek, alat photo copy,
rental play station (PS) dan warnet pun takan ditemukan di
kampung Nagrak. Di kampung Nagrak, takan menemui angkot, bajaj, bis ataupun
delman.
Akan tetapi, jika dilihat dari segi indeks tingkat “Bahagia”
warga kampung Nagrak bisa dikatakan bagus bahkan jauh melebihi kampung-kampung
yang ada di Bandung atau di Ibu kota sana. Sebab, dengan ekonomi warganya yang
selalu stabil, pendapatan perkapitanya diatas rata-rata (Standar untuk orang
Indonesia), tingkat bunuh diri yang rendah, penyakit yang mematikan belum
pernah ada, dan kondisi alam yang begitu bersahabat membuat kampung Nagrak ini
layak dijuluki sebagai kampung yang unik tapi antik.
Tingkat pertumbuhan penduduk di kampung Nagrak memang lebih
pesat dibandingkan dengan tingkat kematiannya. Sehingga kalo tidak salah,
jumlah penduduk di kampung itu bertambah dua sampai tiga orang setiap tahunnya.
Dengan tingkat kematian yang rendah, membuktikan bahwa tingkat keselamatan
hidup di Nagrak cukup tinggi. Pasalnya, orang yang meninggal di kampung Nagrak didominasi
oleh usia lanjut yang memang sudah waktunya.
Selain itu, persentase kematian di usia 5 sampai dengan 35
tahunan relative sangat kecil bahkan jarang terjadi. Saya memperkirakan,
katakanlah kemungkinan kematian di usia 5 sampai dengan 35 tahunan itu terjadi
hanya 4 tahun sekali. Hal ini membuka mata kita bahwa remaja di kampung Nagrak tidak
memiliki masalah psikologis yang kerap kali merenggut nyawa para remaja atau
pemuda. Kasus-kasus yang menyangkut psikologis biasanya karena kekurangan
perhatian dari sekelilingnya. Seperti keluarga, kerabat, kolega dan sahabat.
Makanya dengan masalah psikologis itu, tidak sedikit remaja
yang galau terus bunuh diri karena stress, tidak jarang banyak remaja yang
meninggal akibat overdosis meminum minuman oplosan, masih sering remaja wanita
yang aborsi akibat bercinta dengan pacarnya, tidak kurang banyak remaja yang
meninggal akibat terkena virus HIV/AIDS dan masih banyak para remaja yang harus
mengakhiri hidupnya karena bermasalah dengan narkoba. Kasus-kasus pasikologi
itu alhamdulilah tidak pernah ditemui di kampung Nagrak. Semoga tidak akan
pernah ditemui kasus yang seperti itu.
Solusi menangani masalah psikologis di kampung Nagrak sangat
mudah. Sebab, di kampung ini begitu banyak gugusan pemandangan yang indah. Rumputnya
bagaikan permadani klasik di era awal Renaissance Eropa. Tanahnya begitu harum walaupun
tidak sesuci Tanah Haram di Mekkah. Gunung yang dipenuhi dengan berbagai macam
pohon berdiri tegak menghormat kampung yang indah ini. Karena itulah, dengan
segala keistimewaan ini, sangat mudahlah bagi remaja kampung Nagrak
menghilangkan stressnya. Mereka bisa bermain layangan di sore hari, dan mengaji
di malam hari. “Nikmat mana yang engkau
dustakan ?”(Qs. Ar-Rahman: 18)
Menunggu Senja di Kampung Nagrak |
Seorang Pemuda Nagrak yang sedang Galau, Batek. |
Hal yang unik dari pemuda kampung Nagrak lainnya adalah
mereka begitu kompak kolegial. Bagaimana tidak ? sekurang-kurangnya satu tahun
sekali mereka mengadakan rapat akbar, tepatnya pada hari Idul Fitri saat semua
pemuda berkumpul. Setelah itu membuat peta perencaan touring ke tempat yang
sekiranya murah dan meriah. Seperti yang pernah saya ikuti, tahun 2013 mereka
touring ke Talaga Bodas. Agenda tahunan ini sudah menjadi budaya yang harus
dipertahankan untuk menjaga kekompakan seluruh pemuda Nagrak.
Suasana rapat Pemuda kampung Nagrak |
Selain itu, setiap satu bulan sekali, bagi yang tidak sibuk
dengan pekerjaannya, diwajibkan untuk hadir. Mereka menyebutnya sebagai “Pengajian
Pemuda.” Dalam pengajian pemuda ini, setiap permasalahan yang ada di kampung
Nagrak dibahas, dikupas dan dicarikan solusinya. Adapun sesekali seorang Ustadz
memberikan siraman rohani kepada mereka. Inilah yang membuat pemuda kampung
Nagrak masih memegang teguh moral dan etika Agama mereka dalam kehidupan
bermasyarakat. Keren!
Suasana Pengajian Pemuda |
Para Pemuda Kampung Nagrak Mendengarkan Siraman Rohani |
Pemuda kampung Nagrak selalu menjadi garda paling depan dalam
merayakan HUT Kemerdekaan Indonesia. Mereka bahu membahu mengeluarkan waktu,
pikiran, materi dan tenaga hanya untuk kesuksesan pesta rakyat tahunan itu. Karena
mereka berpikir, hanya inilah hiburan yang bisa diberikan kepada masyarakat. Sehingga
masyarakat pun senang, pemuda pun ikut senang. Walaupun sederhana namun
memiliki makna kekeluargaan dan persaudaraan yang sangat tinggi dibandingkan
nobar sinetron Ganteng Ganteng Serigala.
Lihat video ini, betapa bahagianya warga kampung Nagrak ketika HUT Kemerdekaan Indonesia. Inilah karya Pemuda untuk warga. Lihat:
Di atas telah disinggung bahwa meskipun setiap tahunnya
bertambah penduduk dua sampai tiga orang, namun ini tidak membuat rusaknya
kestabilan perekonomian disana. Sebab,
dengan mata pencaharian yang hampir sama, yang didomanasi oleh wiraswasta dan
petani, Nagrak mampu menggerakan sistem perekonomiannya dengan cara udunan,
ngutang, saling berbagi dan ngeclok
(meminjam uang). Alhasil, dapur mereka masih mengeluarkan asap dan mereka masih
bisa menyantap makanan setiap saat. Tidak pernah ada orang yang mati kelaparan
di kampung Nagrak.
Jika dilihat dari pendapatan perkapitanya, warga kampung
Nagrak bisa dikatakan berhasil melebihi pendapatan perkapita yang menjadi
standar nasional. Pendapatan perkapita warga Indonesia rata-rata mencapai US$ 4.700. Saya berasumsi
pendapatan perkapita penduduk kampung Nagrak melebihi dari nilai itu, yaitu
sekitar US$ 6.300. Jumlah itu belum termasuk pemanfaatan sumber daya alamnya.
Seperti: Penjualan kayu, ikan, kelapa, padi, bahkan batu giok dan jangkrik.
Jika sumber daya alam itu dimanfaatkan, kemungkinan pendapatan perkapitanya bisa
mencapai US$ 8.000! Waw.
Dengan demikiran, kita dapat mengkategorikan bahwa warga kampung
Nagrak memiliki pendapatan yang berkecukupan untuk menghidupi keluarganya.
Bukti lainnya adalah warga kampung Nagrak tidak ada yang pernah mencuri di
kampung sendiri (mungkin. Semoga) maupun kampung orang lain karena terdesak
tidak punya uang. Selain itu, warga kampung Nagrak tidak pernah tertangkap
tangan oleh polisi karena mencuri lalu dijebloskan ke penjara. Tidak pernah
ada. Ini menyisyaratkan bahwa warga kampung Nagrak memang serba berkecukupan.
Orang menyebut warga kampung Nagrak mungkin tidak terlalu kaya
juga tidak terlalu miskin. Atau bahasa komunisnya “Sama rata, sama rasa.” Aspek
inilah yang membuat saya kagum dengan kampung Nagrak. Karena secara tidak
langsung, kampung ini telah mewujudkan cita-cita Karl Marx dalam bukunya ‘Manifesto Komunis.’ Makanya tidak salah jika ada orang yang
bilang Nagrak adalah kampung madani. Tapi kalo menurut saya kampung ini layak
disebut sebagai kampung rahmatan lil’alamiin. Kampung rahmat bagi semesta alam.
Bukan hanya itu, Nagrak adalah kampung dengan lingkungan yang
amat asri. Pohon yang masih banyak, membuat kampung ini tetap menjaga
kehijauannya disaat illegal loging di
Kalimantan sedang gila-gilanya. Rumput liarnya pun untuk para peternak sapi,
kerbau dan kambing masih melimpah sehingga tinggal ada kemauan untuk
memotongnya. Bahkan, kolam ikannya pun tergolong banyak sehingga anak-anak yang
lahir di kampung Nagrak tidak terkena penyakit busung lapar akibat kekurangan
protein.
Ikan di Kampung Nagrak cukup banyak |
Suasana yang serba hijau, makanan yang serba alami, membuat
kampung ini jarang sekali mendapati orang yang terkena penyakit kanker, penyakit
demam berdarah, penyakit katarak, penyakit stomatitis, penyakit ebola, penyakit
kista, penyakit kaki gajah, penyakit hernia dan segala penyakit yang ‘mahal’. Di
berbagai daerah maupun kampung, ada yang terkena penyakit kaki gajah secara
missal. Begitu pula dengan kista dan demam berdarah. Alhamdulilah di Nagrak tidak
seperti itu.
Namun, memang tidak bisa dipungkiri bahwa masih ada penyakit
yang sering menghantui warga Nagrak, akan tetapi tidak separah dengan
penyakit-penyakit yang keren itu. Sehingga warga kampung Nagrak saya kira tergolong
masyarakat yang memperhatikan kesehatan. Padahal, di kampung Nagrak, jangankan
rumah sakit, Puskesmas pun tidak ada yang beroperasi disana, bahkan tidak ada
dokter yang membuka prakteknya dan juga tidak ada bidan yang membuka lapaknya
di kampung unik nan antik ini.
Bagi saya itu tidaklah aneh. Sebab, Nagrak dengan segala
kekurangan disertai kelebihannya telah mengetahui mana makanan yang baik untuk
mulut tapi tidak baik untuk badan dan mana makanan yang tidak baik untuk mulut
tapi sebaliknya baik untuk badan. Sehingga, kebiasaan warga Nagrak adalah
memakan lalab. No lalab, no party.
Begitu kira-kira gambarannya. Mereka terbiasa makan terong yang masih segar
dengan sambal, memakan kol yang masih tegar dengan nasi panas. Inilah salah
satu aspek dari budaya mencegah penyakit orang-orang yang ada di kampung
Nagrak.
Selain pola makan, olah raga juga menjadi bagian terpenting
dalam menjaga kesehatan. Maka, warga kampung Nagrak terutama kaum Adam terbiasa
bermain bola. Ini sudah menjadi semacan adat istiadat warga kampung Nagrak
sejak dulu yaitu: Marag. Marag adalah mengajak bertanding bola
dengan kampung lain di suatu tempat. Pada dasarnya mereka bertanding dan mecari
lawan disaat semua pemuda Nagrak berkumpul. Agenda bermain bola ini sangat
rutin sekitar 2 minggu sekali kalo tidak salah. Hal yang unik adalah warga
kampung Nagrak yang terbiasa bermain bola ini, mereka membentuk semacam klub yang
diketuai oleh Mang Yusuf.
Klub yang ada di kampung Nagrak itu dinamai Japar Putu
disingkat jadi JP. Saya tidak tau perihal sejarah terbentuknya JP, siapa pemain
legenda JP, kenapa JP harus didirikan. Namun bagi saya hal yang terpenting dari
berdirinya JP adalah memberikan harapan kepada anak-anak untuk mengembangkan
minat dan bakatnya dalam sepak bola. Makanya tidak heran jika ketika Marag, anak dibawah U-13 tahun pun
dibawa dan diikutkan bertanding.
JP Junior Kampung Nagrak |
Keistimewaan lainnya dari kampung Nagrak adalah letak
geografisnya. Sepanjang saya bernapas di bawah langit kampung itu, saya belum
pernah mengalami gejala alam seperti gempa bumi dengan kekuatan 3 skala richter
keatas, gunung meletus, longsor, kebakaran, banjir, tsunami, hujan darah dan
segala macam gejala yang merusak tatanan alam. Nagrak memang bersahabat dengan
alam, sehingga alam tidak marah kepadanya. Sebab kata seorang Filosof “Jika
mengusik keseimbangan alam, maka tunggulah gejala alam.” Semoga masyarakat
Nagrak masih mau untuk menjaga dan melestarikan alam.
Kalo saya boleh usul, bagaimana jika setiap satu bulan sekali
diadakan kerja bakti massal seluruh masyarakat. Misal setiap tanggal 25 selain
menjadi malam pengajian, namun siangnya dipakai untuk kerja bakti massal. Saya
pikir ini mudah. Sebab, masyarakat Nagrak sudah terbiasa dengan gotong royong. Bukti
fisiknya seperti bangunan masjid yang sudah kokoh, asrama santri yang sudah 70%
selesai dan lain-lain. Maka, tidaklah terlalu mengejutkan jika hanya satu bulan
sekali kerja bakti massal dengan hasil yang luar biasa.
Budaya gotong royong ini perlu dijaga dan diberdayakan.
Begitu pula dengan budaya keislamannya jangan sampai punah ditelan zaman. Sebab,
kampung Nagrak dinilai oleh penduduk sekitar seringkali disebut sebagai kampung
yang religious. Ini bukanlah sebuah makian atau hinaan, justru sebagai
penghargaan yang diberikan warga kampung lain kepada kampung Nagrak. Makanya
budaya keislaman harus dijaga, karena ini adalah asset yang berharga untuk
generasi ke generasi selanjutnya.
Jika kita tidak mempersiapkan generasi selanjutnya dengan
aspek keagamaan yang kuat disertai dengan aqidah yang solid, bukan tidak
mungkin Agama Islam di Nagrak akan habis oleh para Missionaris yang membawa
ajaran Kristen. Sebab, ini pernah terjadi di Gunung Kidul, Yogyakarta. Para
Missionaris melakukan manuver-manuver yang brilian dalam mempengaruhi seseorang
agar murtad. Karena itulah, saya harapkan untuk tetap menjaga nilai-nilai
keislaman agar tidak habis diobok-obok oleh para relawan Kristenisasi di kemudian
hari.
Well, bagian akhir. Jika kita urutkan dari atas sampai bawah,
maka kesimpulannya adalah Nagrak itu sebuah kampung yang makmur. Segi
pendapatannya serba berkecukupan, warganya bahagia, tidak mudah terserang
penyakit yang mematikan, tingkat kematiannya kecil, letak goegrafis yang
bersahabat dengan alam dan masih banyak lagi aspek positif yang telah
disebutkan diatas. Nah, pada kali ini saya ingin menyebutkan beberapa aspek
kekurangan dari kampung Nagrak ini.
Meskipun Nagrak terlihat sempurna, namun ternyata masih ada
kecacatan yang belum bisa disembuhkan oleh obat apa pun. Yaitu:
Pertama, kurangnya budaya keilmuan. Saya
melihat tidak ada sedikit pun budaya keilmuan yang dikembangkan di kampung
Nagrak. Padahal, dengan potensi alam yang bagus disertai dengan pendapatan yang
berkecukupan disuplai dengan mayoritas muslim, seharusnya warga kampung Nagrak
mengadakan diskusi ilmiah, diskusi keagamaan dan segala macam yang berhubungan
dengan ilmu. Jika ini berjalan, Nagrak tidak hanya akan dikenal sebagai sebuah
kampung, namun juga sebagai lautan ilmu.
Ini penting untuk direnungkan. Sebab, kita akan ketinggalan
jika saat ini masih belum tau tentang Big
Bang, kita akan dianggap sebagai peradaban terbelakang jika masih belum tau
pemikiran-pemikiran para Filosof. Minimal, ada diskusi yang ringan-ringan
menyangkut keagamaan yang berkaitan dengan masalah kehidupan sehari-hari.
Missal: mengapa ketika hujan harus dijama’ ? apa hukum memakai isbal ?
bagaimana dengan hukum memakai cadar ? Apa itu Syiah ? bagaimana pemikiran
liberalisme itu ? atau kalo memungkinkan, membahas masalah Kristologi.
Kedua, tidak adanya koperasi/kerajinan
usaha. Nagrak mempunyai segala macam kelebihan, namun sangat sedikit
masyarakatnya yang mempunyai keterampilan. Seperti keterampilan membuat
proferti, kerajinan tangan dll. Tapi menurut saya, bukan tiadanya keterampilan,
melainkan tidak mengembangkan keterampilan itu. Sebab, kalo keterampilan itu
diasah, bisa menjadi mercusuar ekonomi di kampung Nagrak. Disamping itu,
membuka lapangan pekerjaan bagi warga Nagrak lainnya yang belum mendapatkan
pekerjaan.
Selain itu, tiadanya koperasi yang berdiri disana. Padahal,
koperasi bisa dijadian kendaraan ekonomi bagi warga kampung Nagrak yang paling
efektif. Dengan azas Dari Rakyat, Untuk Rakyat dan Oleh Rakyat, tidak ada yang
akan dirugikan. Karena semua transaksi yang terjadi untuk kemakmuran bagi
seluruh anggota (warga) kampung Nagrak. Keuntungan dari koperasi bisa lebih
besar daripada deposito Bank atau perdagangan saham. Jadi, yang ingin
berinvestasi dalam koperasi itu (jika nanti ada), bisa menjadi solusi
perekonomian semua warganya.
Ketiga, krisis nasionalisme dan persatuan. Entah
kenapa, nasionalisme dan persatuan seluruh warga kampung Nagrak kini telah
hilang ketika budaya DuLer (kidul dan kaler) sekarat. Dulu ketika DuLer masih
sangat popular, bukan perpecahan yang ada, melainkan rasa persatuan dan rasa
nasionalisme kampunglah yang bertambah. Tapi ketika budaya DuLer meredup, kita
seakan kehilangan ideology, kehilangan persatuan dan kehilangan jati diri
sebagai warga Nagrak. Ini harus menjadi renungan kita bersama. Mengapa sejak
DuLer tidak ada lagi, persatuan seluruh nagrak meredup ?
Sebenarnya masih banyak yang ingin saya tuliskan dalam
artikel ini, namun karena sudah terlalu panjang, dan biasanya manusia Indonesia
malas untuk membaca tulisan-tulisan yang panjang, maka saya akhiri saja.
harapannya semoga tulisan ini dijadikan bahan diskusi untuk kemajuan Nagrak di
kemudian hari. Tulisan ini juga membuktikan bahwa saya masih sangat peduli
dengan kampung Nagrak, masih menginginkan Nagrak menjadi kampung yang
religious, seluruh warganya bahagia, sentosa.
Sekian, Oiya, ada pesan dari John Lennon “Imagine there’s no Heaven, no Hell bellow
us. Above us only sky.” Semuanya sama, tidak ada malaikat, tidak ada iblis.
Tidak ada si ahli Surga, juga ahli neraka. Tidak ada warga istimewa, juga tidak
ada sampah masyarakat. Sebab, yang menentukan kualitas seseorang itu bukan
manusia, melainkan dari Tuhan! Jika semua warga Nagrak berpikir seperti, bukan
tidak mungkin Nagrak menjadi kampung yang menjunjung tinggi nilai-nilai
toleransi.
John Lennon juga mengatakan “You may say that I’m a dreamer, I hope someday you’ll join us.”
Mungkin akan ada orang yang bilang saya adalah seorang pemimpi, pengkhayal,
pengkhotbah atau cuman asbun yang tong kosong nyaring bunyinya, namun saya
berharap suatu saat, kalian akan bergabung dengan ide gilee ini. Wassalam…
Foto lainnya yang menggambarkan kampung Nagrak:
Kala Senja di Kampung Nagrak |
Ketua Umum Kurkas (Kurang Kasih Sayang) |
kereun ,,,, ajak aku kesana dong, he
ReplyDeleteHuahahaa Siyap satu angkatan ge kakak :)
Delete#mytripmyadventure
ReplyDelete