Merayakan Natal
Di antara suara hujan yang menggema, ada dua orang mahasiswa
sedang asyik berdiskusi mengenai hukum mengucapkan selamat hari Natal. Saya
hanya bisa menjadi ‘penguping’ dari dialog mereka. Kedua mahasiswa ini sepakat
bahwa mengucapkan selamat hari Natal hukumnya haram, keimanan akan hancur bila
melakukan hal yang demikian itu. Bagi saya, percakapan kedua mahasiswa ini
begitu menarik, namun sayangnya diskusi mereka seperti topeng kuda, hanya
berjalan satu arah.
Cerita berbeda ketika saya membuka twitter. Di timeline ada
postingan dari seorang mahasiswa kandidat peraih Phd University of Pennsylvania,
pemilik akun itu bernama @Sahal_AS, menurutnya, bagi muslim mana pun yang takut
imannya goyah karena pohon Natal dan topi santa, silahkan untuk memperkuat dulu
keimanannya. Menurutnya, jangan menyalahkan pohon Natal dan topi santa.
Begitulah, perbincangan mengenai hukum mengucapkan selamat
hari Natal seakan menjadi tema diskusi yang wajib setiap menjelang tanggal 25
Desember. Bahkan, dari zaman dulu sampai sekarang, perdebatan mengenai hal
semacam ini sudah dilakukan oleh para ulama. Sehingga sering pula datang sebuah
anekdot dari atheis, menurut mereka, orang beragama masih saja sibuk berdebat
mengenai masalah ini, orang lain telah berdiskusi tentang teknologi nano dan
rekayasa genetika.
Setiap bulan Desember datang, umat Islam selalu terbelah
menjadi dua. Yang membolehkan dan yang mengharamkan. Menurut yang membolehkan,
pengucapan selamat hari Natal tidak jauh berbeda dengan mengucapkan selamat
hari ibu dan selamat pagi. Sedangkan menurut yang mengharamkan, mengucapkan
selamat Natal sama saja dengan ikut merayakan Natal. Artinya, bagi mereka yang
membolehkan, pengucapan Natal termasuk kategori muamalah, sedangkan bagi yang
mengharamkan masuk ke dalam ranah aqidah/ibadah.
Pendapat yang membolehkan mengucapkan selamat Natal, pada
umumnya mereka berpedoman pada kaidah ushul fiqh yang menyatakan bahwa pada dasarnya di dalam muamalah adalah mubah
(boleh). Karena itulah, mereka mempunyai kesimpulan bahwa mengucapkan hari Natal
adalah bagian dari muamalah, maka hukumnya mubah atau boleh. Begitu juga dengan
yang mengharamkan, mereka merujuk pada kaidah ushul fiqh yang berbunyi, pada dasarnya di dalam ibadah adalah haram.
Dengan demikian, tidak heran jika mereka mengharamkan pengucapan Natal, karena
menurut mereka yang demikian itu bagian dari akidah/ibadah.
Menurut saya, pengucapan selamat Natal bagian dari muamalah
tidaklah salah. Sebab, mengucapkan Natal sebagai bagian dari hablu min an-nas atau hubungan antar
manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Hal ini tidak terlepas dari
sifat manusia sebagai makhluk social. Sehingga, cara terbaik untuk menghormati seseorang
yang sedang merayakan Natal adalah dengan mengucapkan selamat kepada mereka.
Bagi mereka yang beranggapan bahwa pengucapan selamat hari Natal
adalah bagian dari akidah, menurut saya juga tidaklah salah. Sebab, secara
tidak langsung kita meyakini bahwa Yesus sebagai Tuhan. Sehingga, aspek ini
adalah bagian dari hablu min Allah.
Ketika kita menganggap Yesus sebagai Tuhan, maka secara langsung kita telah
menyekutukan Allah, menduakan Allah yang mempunyai arti kita telah berhadapan
dengan Allah dan menentang-Nya.
Dari dialektika antara “yang mengharamkan” dan “yang
membolehkan”, setidaknya menurut saya melahirkan dua ciri umat Islam tentang
Kristen, yaitu:
Pertama, umat Islam agak sedikit
diskriminatif terhadap Kristen. Maksudnya, ketika menjelang hari besar
keagamaan – Baik Hindu, Buddha, Konghucu dan lain-lain— mereka tidak terlalu
sibuk memikirkan hukum pengucapan selamat kepada agama yang bersangkutan
seperti halnya kepada agama Kristen. Hal ini seakan tidak memperdulikan agama
lain tapi sangat “perhatian” terhadap Agama Kristen.
Contoh tahun baru Imlek dalam kepercayaan Kong Hu Cu. Umat Islam
seakan acuh tak acuh, apakah mau mengucapkan Gong Xi Fa Cai kepada umat Kong Hu Cu atau tidak. Apakah mereka
akan mengucapkan selamat hari Thaipusam kepada umat Hindu atau tidak. Mereka
juga tidak terlalu tertarik mengupas tuntas hukum memakai serta memainkan
Barongsai yang notabenenya adalah budaya agama Kong Hu Cu. Hal inilah yang saya
maksud, umat Islam cendurung diskriminatif terhadap agama Kristen.
Kedua, umat Islam juga cendurung menjadi
simpatisan agama Kristen yang tangguh. Bahkan saking loyalnya mereka terhadap
Kristen, kita tidak bisa membedakan apakah agama mereka masih Islam atau sudah
menjadi Kristen. Hal ini bisa dilihat ketika Natal tiba. Mereka kadang
berangkat ke Gereja, ikut merayakan perayaan Natal bahkan menjadi ‘khatib’ di
Gereja seperti yang sudah dilakukan oleh Gus Nuril dengan alasan toleransi.
Tapi ketika agama Buddha memperingati hari Ulambana, apakah kita pernah melihat
mereka ikut andil merayakannya ? Sepertinya arti toleransi bagi mereka hanyalah
ikut merayakan perayaan Kristen saja, tidak untuk agama lain.
Terlepas dari keanehan kedua kubu, argument dari kedua belah
pihak memang kuat dan didasarkan pada pemahaman keagamaan yang kokoh sehingga
bisa diterima oleh kacamata ushul fiqh. Karena itu menurut saya, baik “yang
membolehkan” maupun “yang mengharamkan” sama-sama mempunyai alasan yang kuat.
Sulit sekali bagi saya untuk memilih salah satu diantara keduanya.
Namun yang terpenting menurut saya adalah don’t judge a books by it’s the cover.
Jangan terburu-buru untuk menghakimi seseorang hanya karena membolehkan atau
mengharamkan pengucapan selamat Natal. Karena itulah, jangan menganggap bahwa
orang “yang membolehkan” itu cenderung imannya lemah, ibadahnya berlubang dan
akidahnya rusak. Kita juga jangan terlebih dahulu menilai seseorang “yang mengharamkan”
pengucapan ini sebagai orang yang tidak berperikemanusiaan, tidak bijak dan
tidak toleran.
Selain itu, kita jangan terlalu menganggap bahwa orang “yang
membolehkan” ucapan Natal sebegai orang yang bijak, toleran, berperikemanusiaan
dan lain-lain. Kita juga jangan menilai bahwa orang “yang mengharamakan” ucapan
selamat Natal sebagai representative dari orang yang sempurna keimanannya, baik
akhlaqnya, ibadahnya rajin dan lain-lain.
Karena itulah, jangan terlebih dahulu memberikan penilaian
hanya karena satu kejadian. Bisa jadi orang “yang membolehkan” pengucapan Natal
lebih rajin shalatnya daripada orang “yang mengharamkan”. Bisa jadi juga orang “yang
mengharamkan” pengucapan selamat Natal lebih sering mengayomi fakir miskin daripada
“yang membolehkan”. don’t judge a books
by it’s the cover.
Terakhir, jika ada yang menanyakan bagaimana sikap saya
terhadap dialektika ini, maka sikap saya adalah tawaqquf. Menurut Majelis Tarjih dan Tajdid PP
Muhammadiyah, tawaqquf adalah bersikap membiarkan tanpa
mengambil keputusan, karena kedua dalil atau lebih yang saling bertentangan
tersebut tidak lagi dapat dikompromikan dan tidak dapat dicarikan alternatif
mana yang dianggap terkuat.
Saya tidak ingin masuk ke dalam kelompok “yang membolehkan” dan “yang mengharamkan”. Saya juga tidak bisa menyalahkan setiap alasan yang dikemukakan oleh kedua pihak. Dan saya tidak bisa membenarkan salah satu di antara keduanya karena memang mereka mempunyai dalilnya masing-masing. Karena itulah, jalan tawaqquf menurut saya lebih tepat daripada masuk ke dalam salah satu dari dua kelompok itu. Sebab, “yang membolehkan” pengucapan selamat Natal secara langsung ikut merayakan Natal dan “yang mengharamkan” juga sebenarnya secara tidak langsung ikut merayakan budaya Natal.
Perlu diperhatikan, budaya Natal selain Santa Claus adalah
ikut dalam perdebatan apakah boleh atau haram. Hal ini terlihat dari setiap
menjelang tibanya perayaan Natal, kedua kelompok ini secara alami akan berdebat,
berseteru dan berdialektika. Karena itulah, orang yang getol berkampanye bahwa
pengucapan selamat hari Natal adalah bagian dari merayakan Natal sehingga
hukumnya haram, sebenarnya mereka sedang merayakan Natal. Selamat. Hehe tawwaquf dalam hal ini sekali lagi
sebagai jalan keluar. Sekian.
Post a Comment