Hukum Mengucapkan “Selamat Hari Buruh”
Sebelum membahas hukumnya mengucapkan “selamat hari buruh”
kepada buruh, ada baiknya kita simak dulu perjalanan sejarahnya:
Sejarah lahirnya buruh dapat dilacak sejak bergulirnya
revolusi industri di Eropa pada abad ke 17 dimana peradaban manusia memasuki
arena baru. Revolusi ini tidak semuanya untung, sebab di luar sana banyak yang buntung.
Anda bisa bayangkan dampak kurang sehat dari revolusi ini: pusat pekerjaan berpindah ke kota. Terjadilah urbanisasi
besar-besaran ke kota. Para buruh yang sejak awalnya menjadi seorang tani di
pedesaan, pergi ke kota untuk menjadi buruh pabrik. Kota-kota besar pun meledak
semakin sesak.
Pada masa ini, cerobong-cerobong asap pabrik menjulang tinggi
mengoyak dada langit, mesin-mesin yang memekakan telinga menggantikan olah
keterampilan dan binatang-binatang piaraan— yang selama ribuan tahun sebelumnya
menjadi sahabat manusia, digantikan oleh kuda-kuda besi yang kotorannya pun tak
lagi menyuburkan tanah malah menumbuhkan polusi.
Revolusi ini sarat ditandai dengan watak asli manusia
serigala: menjarah, menjajah dan merusak. Akibatnya hutan-hutan digunduli,
perut bumi dikuras, lautan diperas tak peduli nasib anak cucunya nanti, bahkan nyanyian
marga satwa yang mengaung merdu diganti dengan suara hasil rekayasa digital
yang menipu.
Revolusi industri melahirkan anak haram berupa gedung-gedung
raksasa pencakar langit mengkilap tumbuh bak pisau yang menyobek selendang
sutra ozon, barang-barang diproduksi melebihi kebutuhan, hasilnya adalah jadwal
kerja memburu langkah dan menyita waktu untuk menangkap kedalaman makna hidup.
Syair kehidupan mengalun sumbang dalam irama keterasingan. Oh betapa indahnya
revolusi industri.
Pruduksi massal, pengkotakan kerja, menjadikan manusia bukan
lagi tuan bagi dirinya sendiri. Semua orang menjadi pekerja, menjadi buruh,
menjadi sistem, menjadi mesin yang sesungguhnya ia ciptakan sendiri. Oleh
karena itu, tidak heran antara kerja dan capital menjadi tujuan hidup, bahwa
manusia diukur segala sesuatunya dengan aspek materil dan semakin kehilangan
nilai-nilai spiritualitas: makna hidup menjadi kabur lantaran dipengaruhi oleh
gaya hidup, harga diri ditentukan oleh status sosial, strata sosial dibaca dari
kekayaan, kemewahan menutup kepedulian sosial.
Karena itu, pada abad ke 19 para buruh yang ingin mendapatkan
kehormatan, kekayaan dan kelas sosial yang lebih tinggi rela untuk bekerja
siang dan malam sampai 20 jam! Saya ulangi lagi, 20 jam! Namun apa daya mereka
juga manusia yang memiliki batas kekuatan untuk terus bekerja, mereka juga
bukan “Boy” si anak alay yang mempunyai motor Ninja 250 tak tanpa harus capek
pulang pergi. Pada akhirnya para pekerja Cordwainers di Amerika Serikat pada
tahun 1806 melakukan mogok kerja secara berjamaah. Mungkin pada tahun ini bisa
kita sebut sebagai kisah pertama pembangkangan kaum buruh terhadap para
pemodal.
Akan tetapi puncaknya ada pada tanggal 5 September 1882,
yaitu dimana parade Hari Buruh pertama di kota New York dengan kurang lebih 20
ribu peserta. Para buruh ini menuntut 8 jam bekerja, 8 jam istirahat, dan 8 jam
rekreasi. Kemudian pada tahun 1886, diselenggarakan Kongres internasional
pertama di Jenewa, Swiss, yang dihadiri organisasi pekerja dari berbagai Negara
dan menetapkan tanggal 1 Mei sebagai hari perjuangan kelas pekerja sedunia. *Saya
lebih afdlal menyebutnya sebagai hari pembangkangan.
Ada dugaan juga yang mengatakan bahwa 1 Mei dipilih karena
mereka terinspirasi kesuksesan aksi buruh di Kanada pada tahun 1872. Ketika itu
buruh Kanada menuntut 8 jam kerja seperti buruh di Amerika Serikat, dan alhamdulilah
mereka berhasil. Delapan jam kerja di Kanada resmi diberlakukan mulai tanggal 1
Mei 1886.
Drama panjang antara buruh dengan para pemodal menghasilkan May
Day sebagai momentum strategis bagi para buruh di seluruh dunia untuk
menyampaikan aspirasi mereka kepada para pembuat kebijakan Negara. Di Indonesia
sendiri, buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia
(KSPI) seringkali merayakan kemeriahan 1 Mei dengan berdemo dalam skala yang cukup
besar di berbagai kota.
Kebanyakan para buruh ini berorasi menuntut kenaikan upah,
tapi menurut saya, hampir sejak dimulainya peringatan May Day ini, outsourcing adalah titik paling runcing
yang sering menjadi agenda utama para buruh dalan menyampaikan apirasinya.
Meski demikian, outsourcing tetap
saja menjadi dilema dalam kegalauan yang berkepanjangan.
Setelah kita membahas sejarah panjang hari buruh di atas, lalu
bagaimana dengan hukum mengucapkan selamat hari buruh yang pada perjalanan sejarahnya
tidak didapati kaitannya dengan Islam ? apakah boleh ? apakah haram ? apakah
ketika kita mengatakan “selamat hari buruh” lantas kita menjadi umat kaum buruh
karena dianggap tasyabbuh (kebiasaan
kafir yang diikuti muslim) ? Ya atau tidak ?
Yah berhubung waktunya sudah habis untuk berceloteh— terkesan
sotoy, saya pun masih banyak tugas yang belum dikerjakan sebagai buruh pabrik
tahu, karena itu saya mohon pamit undur diri. Sekian. Wassalamu’alaikum WR.WB.
:"D lanjutannya gimana bang? boleh apa ndak meraakannya?
ReplyDeletenanti 2020 haha
Delete