Aulia Hilman dan Saya


Aulia Hilman adalah sahabat saya di pesantren itu. Ia lahir di desa yang lebih banyak masalahnya dibandingkan dengan penduduknya. Bisa jadi satu kepala memegang dua sampai tiga masalah. Maka tidak heran jika Aulia Hilman kala di pesantren adalah pembuat makar. Stok makarnya seakan tidak pernah habis. Atau jangan-jangan dia adalah makar itu sendiri ?

Tapi lupakan soal itu.

Saat di pesantren, nama Aulia Hilman berevolusi menjadi “Bonek”. Sebuah nama yang lebih  maskulin dan maco tentunya jika dibandingkan dengan nama “Aulia” yang terkesan lebih feminim. Pergantian nama ini mempunyai sejarahnya yang panjang, sepanjang kisah 1001 malam di Baghdad. Tapi saya, sebagai saksi hidup dari sejarah besar itu, bisa meringkasnya hanya dengan satu tarikan napas.

Tapi lupakan soal itu.

Bonek, sepanjang yang saya kenal, adalah seorang remaja yang cukup dimanja oleh Pak Toni, bapaknya. Bayangkanlah betapa menderitanya hati Bonek yang hobi pedas mencecap makanan hambar khas masakan janda anak satu. Bayangkan pula perasaan seorang bapak melow yang membayangkan anaknya akan menderita selama tiga tahun karena makanan yang minim protein. Mungkin atas dasar epistemology ini, Pak Toni, Bapak si Bonek, selalu menyuruhnya untuk pulang setiap minggu yang bagi santri lainnya adalah sesuatu yang tabu.

Bagaimana tidak tabu, di saat semua santri mendambakan pulang untuk sekedar mencuci otak dari kepenatan suasana pesantren atau sekedar mencicipi makanan yang bergizi menengah ke atas, hasilnya selalu saja tidak digubris oleh orangtuanya, tapi Pak Toni dengan sepenuh hati menyuruh Bonek, buah hatinya, pulang meski kadang tanpa sebab yang jelas.

Melihat fenomena itu dan hasil dari observasi ringkas saya kala itu seringkali berkata: “apa aku bukan anak kandung Pak Haji Iim Ibrahim, ya ?”

Tapi lupakan soal itu.

Aulia Hilman adalah seorang santri sekaligus pesohor yang sengaja ia ciptakan demi mendapatkan penilaian dari khalayak ramai terutama santriawati sebagai seorang pecinta slank. Dari gaya berpakaian sampai gaya berbicara hampir 100% mengikuti sang idola, Kaka dan Bimbim slank.

Kaka dan mas Bimbim mungkin dua dari segelintir musisi yang benar-benar tidak peduli dengan perhatian publik secara sadar. Mereka bisa saja memakai kolor butut keluar rumah dengan beralaskan sandal swallow lusuh, yang padahal bayaran satu kali manggung setara dengan harga satu RUKO di bilangan Jakarta. Ketika konser pun Kaka kerapkali menyombongkan dadanya yang penuh dengan tato, berhiaskan rambut yang amburdul seakan ingin menunjukan “terserah gue..”. Dan mas Bimbim, dalam setiap sesi wawancara, selalu memperlihatkan gaya bicara orang mabok meskipun hidungnya tidak dipenuhi dengan kokain dan ganja.

Nah, hal inilah yang berusaha ditiru oleh Aulia Hilman, karena menirukan gaya slengean ala Kaka dan Bimbim bukanlah perkara yang sukar sebab tidak sehebring gaya Saipul Jamil yang terkesan hedon berkalung ke-ibu-ibu-an. Anda cukup menyobek celana jeans di bagian lutut atau memotong kaos menjadi baju singlet, bila masih merasa kurang slengean, cobalah berjalan bak orang mabok yang menghabiskan 2 galon tuak dalam satu malam. Selamat anda seorang slengean.   

Tapi lupakan soal itu.

Aulia Hilman, menurut saya, adalah perwujudan malaikat dan iblis sekaligus. Satu sisi dia bisa saja mengajak saya untuk belajar, berjamaah, ngaji dan memotivasi saya untuk berbuat kebaikan, namun di sisi lain juga ia kerapkali mengajak saya untuk melakukan sesuatu yang gila seperti bolos ngaji, bolos sekolah dan lebih memilih main PS atau sekedar bolos tanpa tujuan.

Aulia Hilman mungkin tak tahu apa itu keadilan, tetapi jelas ia mengerti bagaimana bentuk kemunafikkan. Ia tak ingin menjadi manusia munafik. Ketika hatinya ingin bolos, ya boloslah dia, meskipun secara sadar ia tahu bahwa bolos itu adalah sesuatu yang salah. Maka kalian jangan heran ketika bertatap muka dengannya akan terpancar secara kuat aura munafik dalam setiap hembusan nafasnya.

Tapi lupakan soal itu.

Jika saya kelak masih bisa diberi kesempatan oleh Tuhan untuk kembali berbincang-tawa dengan Bonek, maka sungguh sangat membahagiakan, sebab ngobrol dengan dia ibarat diajak mengikuti paket safari ziarah wali. Atau jika itu berlebihan, bolehlah dikatakan semacam silaturahmi seorang santri untuk berguru ke deretan kiyai-kiyai jempolan di Jawa Timur. Banyak pesan, banyak makna meskipun banyak juga ngawurnya.

Yah, banyak kenangan gila saya dengan si Bonek, maka janganlah kalian mencoba untuk memotong rantai psikologis antara saya dengannya karena memang sudah sedekat jantung dan detakannya.

Tapi lupakan soal itu.

Hari ini tanggal 2 Mei 2016, Aulia Hilman ulang tahun dan saya kira momen puitik ini perlu dimaknai dengan suasana yang lebih sakral. Maka ijinkan saya untuk memberikan penggalan ayat Qur’an di surat an-Nas ayat enam: “Minal Jinnati wan Naas

Di Bandung, Aulia Hilman mewakili keduanya.

No comments