Akbar Istiqlal: si Pembangkang Sejuta Umat


Pembahasan atas kehidupan pribadinya yang bohemian, glamour dan flamboyant terutama dengan hikayat cintanya yang seribet aljabar seringkali mengalihkan perhatian khalayak untuk tidak melihat seni memimpin ala Akbar Istiqlal. Ia adalah Oscar Wilde dalam bentuk lain. Jago nulis, punya bakat pidato bahkan paiwai dalam mempengaruhi massa. Maka tidak heran jika saat ini ia menjadi salah satu anggota penting HMI di kampusnya, dia pula sangat cocok menjadi pemimpin partai politik, yaa semoga saja kelak Akbar tidak membusuk di sel tahanan seperti Anas Urbaningrum.

Akbar Istiqlal adalah enigma tersendiri. Akbar bukanlah bilangan Fibonacci yang dapat dibentuk dengan menambahkan dua angka sebelumnya untuk menjadi angka yang baru. Akbar adalah bilangan phi (3,14..) yang menyimpan limpahan misteri di dalamnya. Dia bisa menjadi Donald Trump atau Kim Jong-Un sekalipun ketika kepenatan sudah mencapai titik laknat, pokoknya suasana hati saya ketika ia penat agaknya sama persis dengan Mbak Nikita Mirzani yang kepergok telanjang di hotel oleh barisan reserse Polri. Tegang. Dan Cemas. Akan tetapi ketika sunyi, Akbar adalah dirinya sendiri.

Kepemimpinan Akbar Istiqlal memang paling mempesona. Saya selalu kagum dengan dia. Jika kehidupan saya di pesantren itu diibaratkan panggung orkestra, maka Akbar adalah konduktornya. Sedang saya dan teman lainnya adalah pemain biola, harpa, timpani, trompet dan tukang sound system. Akbar akan tegap memandang anggotanya, membiarkan bokong kecilnya dilihat penonton. Sorot matanya selalu penuh keyakinan yang menggambarkan ia mampu membuat hubungan psikis dengan anggotanya agar memiliki keselarasan tujuan sehingga dapat tenggelam dalam penghayatan alunan nada yang harmonis untuk didengar penonton.

Saya akui, sorot matanya yang tajam menjadi semacam senjata paling ampuh untuk menggerakan massa agar mau bermitra dengannya secara sukarela. Saya kira seorang komponis musik klasik asal Jerman, Ludwig van Beethoven, akan terdecak kagum apabila diberi kesempatan untuk melihat betapa harmoninya seni kepemimpinan Akbar. Dan jika saya tidak berlebihan, andaikan Akbar hidup satu zaman dengan Shalahuddin Al-Ayubi, dengan melihat kapasitasnya yang brilian mungkin cepat atau lambat ia akan menjadi tangan kanannya.

Sekeren apapun Akbar menjadi pemimpin, ia tetap tidak bisa keluar dari stereotype sebagai penyantap Indomie Goreng sekaligus seorang pembangkang arus-utama di pesantren itu. Beruntung nasib Akbar tidak semenyeramkan Knut Hamsun yang membangkangi Norwegia karena dianggap setuju dengan ide-ide NAZI terutama Adolf Hitler. Hamsun dicap sebagai pengkhianat negerinya. Sampai akhir hayatnya ia tetap tak mau menjilat ludahnya sendiri dan menerima dengan tegar cap pengkhianat. Barangkali kisah getir Knut Hamsun tersebut untuk kasus di pesantren saya akan memiliki kemiripan dengan kisah hidup Akbar Istiqlal.

Dalam peristiwa pemilihan ketua OSIS, misalnya, Akbar menjadi psikomotor utama gerakan bawah tanah untuk melakukan subversifisme terselubung dalam menumbangkan kredibilitas calon ketua OSIS dari IPA, Abu Rizal El-Jihadi, dengan merekrut saya dan satu lagi Mochammad Fadly. Saya masih ingat waktu itu, sungguh sebuah peristiwa propaganda dan agitasi politik di tingkat sekolahan tapi pelaksanaannya hampir mirip dengan proses tumbangnya Raja Louis XVI oleh tangan Napoleon Bonaparte dalam Revolusi Prancis.

Melihat kejadian itu saya menilai Akbar Istiqlal sebagai perwujudan paling sempurna seorang propagandis sekaligus agitator, yang menurut seorang marxis perintis di Rusia, Plekhanov, “Seorang propagandis menyajikan banyak gagasan ke satu atau sedikit orang; seorang agitator menyajikan hanya satu atau sedikit gagasan, tetapi menyajikannya ke sejumlah besar orang (a mass of people)”.

Akbar bisa menjadi keduanya, seorang propagandis dan agitator. Saya tak perlu memasukannya dalam permainan kategori-kategori-an banal macam On The Spot, sebab seantero pesantren itu sudah ma’ruf bahwa Akbar adalah seorang penggerak massa yang brilian. Anda boleh tidak percaya, tapi saya tidak peduli. Sebab perlu anda ketahui, Akbar bukanlah seorang aktor film yang lahir dari perpaduan cita rasa imaginatif dan estetika visual belaka, ia benar-benar nyata adanya, sehingga saya semakin percaya bahwa dongeng kepemimpinan yang sempat masyhur di Abad Pertengahan macam Julius Cesar atau Alexander the Great hanyalah hipokrit bangsat.

Tiga tahun saya hidup satu asrama dengan dia, jadi sangat musykil saya tidak mengenalinya luar dan dalam. Semoga kepiawaiannya dalam mengolah organisasi tidak dihubung-hubungkan dengan krisis politik Timur Tengah dan Khilafah solusinya. Hal inilah yang membuat saya semakin yakin, sangat yakin, bahwa Akbar adalah sosok penting yang, demi apapun saya bersaksi, akan sangat tolol jika Anda tidak mau mempelajari cara ia memimpin. Karena itu, saran saya adalah, cepat, cepat dari sekarang kalian berdoa kepada Allah agar bisa dipertemukan dengan Akbar Istiqlal, minimal lewat mimpi.

Nah, jika anda cukup beruntung bisa bertemu dengan Akbar Istiqlal, maka anda akan seperti di dalam smoking area sebuah bus: banyak interaksi, meminjam korek, saling melemparkan pertanyaan, tertawa sampai berbincang bisnis dan tayangan televisi. Tapi ketiadaan Akbar di sekitar anda justru seperti di ruang non-smoking area: orang-orang yang diam, menekuk kepala, tidur, sibuk dengan gajet pintar, tidak pernah melirik teman sebangku, apalagi berbincang.

Yaa, duduk bersama Akbar seperti di smoking area, mereka kembali menjadi manusia seutuhnya. Dan di kehidupan saya yang sekarang, saya belum pernah lagi merasakan betapa syahdunya di dalam smoking area, dimana manusia benar-benar menjadi manusia seutuhnya.

Tolong... plis banget! guyur muka saya dengan kuah mie ayam rasa soto jika saya bohong. Plisss!

No comments