Rizal Wildan Fauzi Bersama Titik-titik Blerang-hitam
Membicarakan teman saya yang satu ini sebetulnya telah
diterjemahkan oleh sebuah lirik lagu yang keluar dari penyanyi asal Kanada,
Alanis Morisette: It’s like rain on your
wedding day, yaa anda benar, membahas Rizal memang memilukan seperti hujan
di hari pernikahan anda, ironi. Betapa tidak ironinya, hidup Rizal Wildan ini
dipenuhi oleh rentetan kesialan yang nirkebahagiaan. Kehidupannya di pesantren
itu tak ada, tak pernah ada, nada-nada merdu karena setiap waktunya hanyalah
kesumbangan yang nista.
Melihat Rizal menjalani kehidupan di pesantren itu, saya
merasa novel klasik Les Miserables karya
Victor Hugo adalah hipokrit bangsat dan novel The Scarlet Letter karya Nathaniel Hawthorne hanyalah cerita
romantic picisan jika ingat betapa tabahnya Rizal menjalani kehidupan
asmaranya. Ia bejibaku dengan kesetiaan dan loyalitas hingga tak jarang satu sampai
empat pukulan melayang ke wajahnya lantaran enggan untuk meninggalkan cinta
sejatinya: Persija Jakarta.
Rizal adalah sosok Matt Buckner yang diceritakan dalam film Green
Street Hooligans tentang bagaimana menjadi supporter yang setia walau kepala
bonyok mata bengkak hingga titik darah penghabisan. Atas dasar itu mungkin
menjadi pertimbangan dasar kakak kelasnya untuk membenci Rizal Wildan,
menyeretnya jatuh hingga dipukuli di dalam asrama Sibawaih, asrama kakak kelas.
Mampus. Saya bilang. Ketika itu.
Saya tidak begitu mengerti, bagaimana mungkin tubuh
kurus-kering seperti dia begitu sok jagoan menjadi minoritas yang selalu ia
banggakan. Mengenakan baju The Jak Mania ketika masuk ke ruang makan, menyanyikan
lagu-lagu penyemangat Persija ketika di asrama dan ngobrol hanya pada putaran
labirin dalam lingkarang Persija dan Jak Mania. Seperti tidak ada cerita lain,
seisi otaknya telah dipenuhi oleh warna oren, padahal idealnya seorang santri
itu kan bepikiran iman dan takwa kepada Allah, bukan supporter.
Puncaknya adalah Rizal berani untuk mendirikan Jak Mania
Ciamis! Ini serius, bila diteliti dengan teori dialektikanya Friedrich Hegel,
Jak Mania Ciamis yang didirikan oleh Rizal merupakan antitesis dari tesis berupa
Viking Galuh. Namun sayangnya tidak berkembang dan hanya memiliki dua orang
kader. Akhirnya mereka pun bubar tanpa penghormatan.
Kasian. Mampus. Kata saya. Ketika itu.
Lambat laun kehidupan di pesantren itu pun berubah. Rizal
Wildan Fauzi mungkin sadar, mencintai Persija takan pernah bisa untuk dinikahi,
sehingga mau tidak mau, ia harus sedikit memberikan hatinya kepada santriawati
yang imut-imutnya billahi taufiq wal
hidayah. Di pesantren itu, Rizal, belajar tidak hanya menjadi pria yang
humoris tapi juga romantis.
Saya mengakui Rizal ini memang pakarnya menggoda dan merayu
perempuan. Sebab baginya, romantisme lebih kepada ritual ketimbang stimulan
perasaan. Padahal setahu saya, romansa adalah suatu gaya hidup yang mencakup
keintiman, gairah, dan cinta. Romantisme menyatu bersama kepribadian para pria
terhormat yang sering mengusungkan dadanya. Perempuan menganggap lelaki
romantis pasti siap memenuhi semua kebutuhan psikologisnya. Saya yakin, sangat
yakin, Rizal adalah lelaki yang memenuhi syarat sah sebagai pria yang romantis
idaman perempuan.
Bila ide saya ini tidak berlebihan, bolehlah suatu hari nanti
tubuh Rizal diawetkan dan dipajang terlentang di museum Louvre, Paris, sebagai
tempat berkumpulnya mahakarya agung dari orang-orang hebat di dunia. Saya harap
tubuh kurusnya berdampingan dengan
lukisan “Liberty Leading The People” yang
fenomenal. Jika lukisan karya Delacroix itu menggambarkan perjuangan masyarakat
Perancis saat masa revolusi, maka tubuh Rizal yang diawetkan itu sebagai symbol
betapa pentingnya romantisme bagi para pria terhormat.
Sebagai pria yang kadar romantisnya setara dengan teriakan
“Jancuk” dari Bung Tomo, Rizal menjadikan merayu santriawati sebagai skala
prioritas. Ia tidak seperti Jalaludin Rumi bersama tariannya sebagai tanda
cintanya kepada Allah, Rizal pun tidak semahir Ibnu Arabi dalam menuliskan
syair-syair cinta kepada Rabb, mungkin ia terlahir untuk menipu banyak wanita
dengan silat lidahnya yang hampir mirip dengan rayuan gombal kampungan ala
Romeo kepada Juliet. Maka terlaknatlah sudah lulusan pesantren model dia, mengabaikan
kitab-kitab turast dan melupakan pesan-pesan para Kiayi mempuni.
Saya tidak tahu mengapa pria seperti dia memiliki sisi yang
unik. Ah, saya sadar betul, Rizal ini begitu mengidolakan Soekarno. Soekarno
memang seorang pemikir ulung, orator cerdas dan konseptor handal. Orang sering
lupa bahwa Presiden pertama Indonesia ini adalah tukang gombal yang brilian. Mungkin
inilah yang dijadikan oleh Rizal sebagai justifikasi historis untuk membenarkan
bahwa menipu wanita hukumnya fardlu ‘ain.
Akan tetapi saya tidak melihat dia sebagai tukang tipu, saya
hanya melihatnya sebagai seorang yang setia kawan. Rizal memang teman saya yang
paling unik. Saya takjub kepadanya. Ia sadar betul bahwa teori yang paling
sederhana untuk menambah kebahagiaan adalah dengan membahagiakan orang-orang
yang sudah membahagiakan kita. Karena seperti kata Agus Mulyadi, kebahagiaan
memang seperti api, ia tak akan pernah habis saat dibagi.
Rizal begitu baik kepada temannya. Saking baiknya, ia rela
tubuh yang penuh titik-titik hitam blerang dikorbankan menjadi objek bully-an
seisi asrama. Sisi religiusitas Rizal akan tampak saat ia dihina dan dicaci
terkait dengan tubuhnya: tabah, sabar, qana’ah. Serius. Meskipun tubuhnya kurus
kerontang seperti para pengungsi Rohingya itu sering dicaci, ada ketegaran di balik lelah matanya, ada syukur
terselip dari paras sendunya, ada semangat di balik kegamangan pikirannya.
Tidak tahu apakah esok hari masih bertahan atau tidak.
Sejujurnya saya tidak tahu fungsi doa, tetapi jika anda
berkenan, doa anda untuk Rizal ini tentu akan sangat menenangkan. Semoga saja,
ya semoga, titik-titik blerang-hitam yang ada di kulit rapuhnya segera
dihilangkan atas Ridha Allah SWT. Semoga.
Post a Comment