Bapakku bukan Kim Jong-un


Oke. Sebagai pengantar tulisan ini saya akan menceritakan sedikit tentang bapak saya. Beliau mempunyai nama asli Iim Ibrahim. Lahir dan besar di kabupaten Garut. Beruntungnya bapak saya tidak seganas Pak Aceng Fikri, yang kalau putus cinta cukup via BBM. Bapak saya juga alhamdulilah tidak masuk dalam deretan para penggelap pajak global di Panama Papers. Tapi yang membuat saya agak aneh, bapak saya hampir mirip-mirip dengan Pak Kim Jong-un gitu.

Meskipun ya tidak bisa dipungkiri juga, dari segi ibadah kepada Allah yang Maha Esa, bapak saya tidak pernah absen atau bermalas-malasan. Pokoknya beliau adalah sosok prototype suami idaman para wanita yang, demi kuah indomie saya bersaksi, tidak pernah telat menafkahi serta mengayomi, listrik setiap bulan pun rutin dibayar, pokoknya sudah lebih dari cukup. Nah, mungkin karena telah menggelontorkan anggaran kehidupan inilah yang membuat dirinya menjadi sesosok Kim Jong-un versi pribumi. Merasa dirinyalah yang paling berwenang mengatur segala hal yang menyangkut anaknya dari persoalan pendidikan hingga cita-cita.

Hal inilah yang membuat saya sering merenung, kenapa ya keluarga saya ini nir-sakinah-mawaddah-warahmah, tidak seperti keluarganya Mas Anang Hermansyah dan Mbak Ashanti yang memberikan kebebasan secara penuh kepada anaknya, Aurel, untuk tampil cantik dan modis sesuai kehendaknya meskipun kesan menjijikan masih tampak jelas di mata saya.

Saya tidak, tidak sama sekali menyesal dilahirkan dari keluarga ini. Saya pula tidak meragukan kasih sayang bapak saya kepada anak-anaknya yang berjumlah delapan orang. Tapi kok aneh ya macam cita-cita saja diatur sendiri oleh dirinya. Seakan kita semua tidak memiliki mimpinya masing-masing. Seolah-olah persoalan cita-cita adalah mimpinya yang tidak tercapai ketika ia kecil. Sehingga seringkali saya berpikir bahwa mungkin bapak saya mempunyai hutang angan-angan yang mesti dibayar kontan secepatnya.

Adik saya mesti jadi polisi, kakak saya wajib jadi penguasaha dan sialnya lagi saya disuruh menjadi ustadz pujaan ibu-ibu ganjen macam Ust. Solmed, atau paling banter Ust. Maulana si Jamaaaaah, yang kualitas kelebayannya melebihi duet Jahannam Mas Ipul dan Aa Nassar.

Menjadi ustadz, pemuka agama dan segala hal yang menyangkut itu memang bagus dan baik, tapi ya apa daya jika saya, sebagai santri urakan yang menjadi imam shalat tarawih partikelir, tidak mempunyai hasrat dan gairah untuk menjadi hal demikian. Ketidakinginan saya menjadi ustadz semakin menambah bengis keotoriteran bapak saya.

Jika dalam dunia statistik kebenaran ditentukan oleh seberapa banyak orang di dunia ini mengatakan benar, tapi kebenaran versi bapak saya adalah apa yang dia inginkan satu paket dengan kesewenang-wenangannya. Segala hal yang menjadi kebijakannya yang berhubungan dengan keluarga adalah final, tidak bisa diganggu-gugat. Tidak ada istilah judicial review untuk meninjau ulang kebijakannya atau amandemen untuk mengubah keputusannya, sejak diucapkan olehnya, sejak itu pula menjadi hukum pasti yang rigid, kaku dan kolot. Protes ? sikat pake gesper! Protes lagi ? dikurung di kamar mandi seharian.

Suatu hari ketika senyap saya pernah berniat melakukan pemberontakan untuk menumbangkan segala kesewenang-wenangan ini, ya semacam subversive kecil-kecilan atau katakanlah revolusi berdarah tingkat keluarga, akan tetapi semua itu selalu gagal karena bapak saya mempunyai segudang amunisi untuk mengultimatum saya jika seringkali saya membangkang dari keinginannya. Kualat-lah, durhaka-lah dan segala macam sumpah serapah sampah doktrin keagamaan sampai hikayat-hikayat absurd macam Malin Kundang dikeluarkan demi membendung birahi saya agar mau menuruti apa yang dia inginkan.

Keluarga yang tak demokratis. Otoriter.

Revolusi gagal, akhirnya setelah lulus dari SMP saya dijebloskan ke Pondok Pesantren di bilangan Ciamis. Setelah lulus dari pesantren itu, bapak saya masih belum puas, saya kemudian dimasukan lagi ke perguran tinggi yang secara khusus digembleng untuk membentuk ulama ahli fiqh. Cieee..

Sumpah saya mah tidak bohong, sampai tadi malam hati saya masih mangkel, kesal, pokoknya semangat pemberontakan saya kembali menggelora. Kenapa ya saya harus dibentuk menjadi apa yang dia inginkan, bukan menjadi apa yang saya inginkan. Jika otak anda mampu membayangkan kepedihan almarhumah Angeline, mungkin anda bisa menerawang betapa pahit getirnya saya hidup di bawah bayang-bayang penindasan batin.

Namun semuanya berubah saat setelah shalat subuh menyerang. Dalam perenungan yang semendalam mungkin, saya baru menyadari bahwa apa yang bapak saya inginkan bukan cuma menjadi ustadz mumbo-jumbo yang hanya menawarkan 72 gadis perawan saat di Surga nanti, bukan pula pemuka agama yang kalau sekali dakwah mempunyai tarif seharga ruko lengkap dengan isinya. Apalagi bapak saya sangat, sangat benci dengan ustadz yang sering berjualan Khilafah semasif Teh Botol Sosro. Yang diinginkan oleh bapak saya adalah menjadi cendikiawan muslim semencerahkan Kh. Ahmad Dahlan dan KH. AR Fakhruddin.

Ahmad Dahlan merupakan ulama yang tidak memiliki sikap resisten terhadap perbedaan terutama dengan konsep-konsep Barat. Sedang AR Fakhruddin adalah satu dari sekian pemuka agama sederhana yang di dalam ceramah-ceramahnya begitu mencerahkan. Dua alim ulama ini sudah menjadi idola bapak saya sejak Argentina mengangkat trofi Piala Dunia tahun 1986. Jadi kemungkinan besar bapak saya menginginkan saya, sebagai anaknya, menjadi semacam perpaduan ideologi antara KH. Ahmad Dahlan dan KH. AF Fakhruddin yang berkemajuan dan mencerahkan.

BOOM!!

Saat itu hati saya bergetar, semangat memberontak seketika hilang. Ada benarnya juga, kita perlu memperbanyak sosok-sosok alim seperti Ahmad Dahlan dan AR Fakhruddin, agar mampu menyerang balik para pemuka agama yang mengkampanyekan kepedihan, permusuhan dan mudah kagetan. Kita butuh para penceramah sekelas Ahmad Dahlan dan AR Fakhruddin yang mengajak umat untuk membuka matanya lebar-lebar tentang perubahan dan kemajuan zaman. Bukan seperti Felix Siauw cs bersama HTInya, yang menjadikan masa lalu sebagai masa depan.


Pada akhirnya saya taubat dan mau menjadi ustadz untuk kepentingan Bhineka Tunggal Ika. Well, ternyata selama ini bapak saya bukan Kim Jong-un tapi… sesosok motivator yang lebih hebat daripada si bangsat Mario Teguh.

No comments