SI AJUD
Ajud, sebut saja begitu. Seorang mahasiswa yang kini
berdiam diri di rumah karena kondisi darurat pandemi. Sebelum adanya wabah, Ajud
tinggal di negeri sebrang, berdiaspora menuntut ilmu. Namun Covid-19 memaksanya
untuk pulang.
Beberapa hari yang lalu dia mengeluh pada saya karena aura
magisnya sebagai mahasiswa telah kehilangan daya tariknya akibat terlalu lama tinggal
di kampungnya yang “non akademis”. Dia merasa berdiam lama di rumah sedikit
demi sedikit merenggut kewibawaannya sebagai insan intelektual. Cieee.
Selama di rumah Ajud harus menghadapi kenyataan pahit dengan
perubahan aktivitas yang jauh berbeda dengan rutinitas kampus. Dia harus pergi
ke kebun untuk menyiram bawang, memancing ikan untuk lauk makan malam, dan meramaikan
khazanah gosip desa di pos ronda. Entah kepedean apa gimana, si Ajud ini mengglorifikasi
dirinya sebagai insan akademik yang nampaknya sulit menyatu dan dekat dengan
masyarakat.
Apa yang dialami Ajud mungkin dialami juga oleh sebagian
besar mahasiswa saat ini. Fenomena ini biasa disebut sebagai orang yang berumah
di atas menara gading. Kegiatan kultural di desa dipandang “remeh”. Dampaknya, dirinya
merasa menjadi orang asing di tengah teman semasa kecilnya, terpisah dengan
manusia lainnya.
Kalau kita membaca pikiran Muhammad Iqbal, inilah yang disebut
sebagai ketegangan antara ego dan realitas. Menguatkan ego atau berbaur dengan
realitas? Bagi Iqbal, keberadaan ego begitu penting, sebab tanpanya, manusia
tidak lebih dari sekadar benda mati. Ego adalah penggerak sejarah, yang
memiliki kebebasan untuk mengekspresikan daya dalam dirinya.
Namun, Iqbal juga menasehati agar jangan sampai ego atau
ke-aku-an (khudi) yang tidak seimbang menyesatkan kita melalui keangkuhan. Dalam
kacamata Iqbal, ego seseorang jangan sampai menghalangi super ego—atau bahasa
Iqbal-nya, mungkin “Isyq al-muhaba” atau rindu dan cinta.
Dalam kasus si Ajud, kekuatan ego yang ada dalam dirinya
telah membuatnya berjarak dengan manusia lainnya. Atau dalam bahasa Iqbal ini
biasa disebut sebagai “nasab parasti” atau kesombongan.
Segitu aja dulu ceramahnya. Sebenarnya saya hanya
cocoklogi antara pikiran Iqbal dan si kasus Ajud.
Post a Comment