Kafir, Bukan Syarat untuk Maju
Definisi “kafir” yang digunakan dalam artikel ini adalah “non
muslim”.
Panggung persepsi memang selalu menampilkan para lakon yang
jago bersilat lidah. Tidak peduli silat lidahnya sesuai dengan fakta atau
bukan, yang penting persepsi tersampaikan kepada khalayak ramai dengan elegan.
Para pesilat lidah ini mempunyai otak yang dangkal dibandingkan dengan keledai.
Kadar kritis mereka seketika menghilang tatkala dihadapkan pada realitas yang
menuntutnya untuk menciptakan persepsi. Ahok itu kafir, dan dia bagus. Germany
itu Negara kafir, dan maju. Kesimpulannya: Jadilah kafir untuk bisa maju.
Saya juga sering menyayangkan kepada para atheis yang kadar
kelebayannya melebihi anak-anak alay yang merusak Taman Bunga Amarillys, mereka
selalu menggunakan jasa kata “Kafir” sebagai representasi dari keberhasilan
suatu Negara atau pencapaian pribadi seseorang. Missal: Jepang Negara kafir
tapi bersih. Mark Zukenberg si Kafir yang dermawan.
Kelompok kafir seringkali terjebak dalam apa yang saya sebut
sebagai ‘menelan ludah sendiri’. Orang-orang kafir akan alergi bila mendengar
kata “Ilmuwan Muslim”. Menurut mereka kurang lebih akan seperti ini
ungkapannya, “kenapa setiap ilmuwan yang beragama Islam selalu membawa embel-embel
Islam ? dasar agama tukang klaim!” Sepertinya orang-orang kafir ini lupa bahwa
mereka juga dalam beberapa kasus sering menggunakan kata “kafir” jika ada
sebuah Negara atau tokoh yang memberikan konstribusi lebih untuk kemanusiaan.
Dasar penelan ludah!
So what ? Apa hubungannya antara status kafir
dengan kemajuan atau kemunduran ?
Pada level Negara, jika menggunakan indikator Human Development Index atau HDI, satu
sampai sepuluh Negara termaju di dunia adalah Negara orang-orang kafir.
Norwegia, Australia, Amerika Serikat, Canada, New Zealand dan lain-lain. Bahkan
populasi muslim di negara-negara itu relative sangat minoritas. Inilah argument
yang seringkali diangkat oleh orang-orang kafir untuk menjustifikasi bahwa
menjadi kafir adalah syarat mutlak untuk kemajuan sebuah bangsa.
Menurut saya, orang-orang yang selalu mengaitkan kekafiran
dengan kemajuan adalah orang-orang yang tingkat kecerdasannya rendah. Manusia yang
doyan cocoklogi. Bisa jadi argument mereka bercongkol pada kebenciannya terhadap
pola pikir muslim konservatif yang mereka anggap sebagai biang kemunduran.
Setiap hal yang dimulai dengan kebencian, maka penilaiannya tidak akan objektif
dan jauh dari kata ilmiah.
Jika kekafiran menjadi syarat utama dalam kemajuan di suatu
Negara, bagaimana dengan Negara yang mayoritas kafir tapi menjadi Negara yang
tidak maju bahkan miskin ?
Ada beberapa contoh Negara kafir tapi tidak maju. Hal yang
mengejutkan bagi saya setelah melihat info dari World Bank dengan menggunakan data
Gross Domestic Product (GDP) yang
dikutip oleh Viva News adalah, urutan satu sampai empat penyandang gelar negara
paling miskin di dunia adalah Negara-negara kafir. Seperti Republik Kongo,
Zimbabwe, Burundi dan Liberia. Ada pun Negara Eritrea yang hanya 40% warganya
beragama Islam, itu menempati posisi kelima. Sumber
Ternyata kekafiran justru membawa kemiskinan. Sebaliknya Negara
dengan mayoritas Islam seperti Qatar, malah menjadi Negara terkaya ketiga di
dunia mengalahkan Negara maju lainnya seperti Inggris dan Amerika Serikat— yang
tingkat kekafirannya begitu tinggi. Data itu saya lihat dari World Bank.
Pada level person, seorang Ahok, menurut para penjilatnya,
Ahok adalah orang kafir, ia menjadi pemimpin yang baik, bersih, tegas dan
persetan dengan sopan santun. Ahok itu kafir. Kafir! DKI Jakarta menjadi lebih
baik karena Ahok si kafir. Tapi Suryadharma Ali itu muslim, tapi koruptor.
Islam adalah sarangnya koruptor. Luthfi Hasan Ishaq adalah koruptor. Ahok si
Kafir, bersih dari korupsi. Suryadharma Ali itu muslim, ia koruptor. Hidup
Ahok. Hidup kafir.
Lebih dari itu, jika kekafiran menjadi symbol dari pemimpin
yang bersih seperti Ahok, bagaimana dengan pemimpin kafir tapi koruptor ?
Jika Ahok sebagai representasi orang kafir yang dalam
memimpin bersih dan amanah, mungkin kalian harus melihat si “Nyonya Besar”
Jayalithaa Jayaram dari India. Dia kafir dan dia adalah manusia paling korup di
dunia. Ternyata ada orang kafir yang tidak sebersih Ahok dan dalam korupsinya
pun melebihi apa yang sudah dicapai oleh Suryadharma Ali.
Kesimpulan
Saya menulis artikel ini hanya untuk menjelaskan bahwa “kafir”
tidak berkolerasi dengan kemajuan dan kemunduran. Apa yang sering dibicarakan
orang-orang kafir tentang sinerginya tingkat kekafiran dengan tingkat kemajuan
benar-benar keliru. Mereka hanya melihat keberhasilan Negara-negara kafir yang
maju, tapi seolah-oleh tidak tahu bahwa ada Negara kafir di bagian sana yang
sangat miskin. Ada pun kemajuan di Negara-negara kafir seperti Jerman, Amerika
Serikat, Kanada dan lai-lain, itu bukan karena tingginya tingkat kekafiran. Begitu
pula dengan Negara-negara yang ada di benua Afrika, miskinnya mereka bukan
karena tingginya tingkat kekafiran. Sebab, tingkat kekafiran bukan menjadi syarat
mutlak kemajuan maupun kemunduran sebuah bangsa.
Begitu pula dengan kepemimpinan. Ahok memang keren dan kafir,
tapi tidak semua pemimpin yang berstatus kafir itu baik. Biarkanlah dalang di
balaik ‘papa minta saham’ menjadi saksi bisu bahwa Setya Novanto adalah kafir
dan dia bejad.
Karena itulah, tulisan ini hanya untuk menjelaskan bahwa
kafir tidak lebih baik dari muslim. Kemajuan, kepemimpinan yang bersih dan
kemiskinan terjadi bukan karena status kafir atau muslimnya. Jadi, berhentilah
menggunakan embel-embel kafir karena memang hal itu tidak ada pengaruhnya bagi
kemajuan atau ciri seorang pemimpin yang bersih.
Post a Comment