M. Fikri Azizi dan Tidur sebagai Perlawanan
Pada mulanya Tuhan menciptakan kopi, sisanya
adalah denyut ide yang lahir dari secangkir kopi. Oh.. Tuhan, saya sangat
berterimakasih lantaran engkau telah menciptakan kopi bersama asopnya eh asapnya.
Seperti kebahagiaan berserta kesedihannya. Seperti M. Fikri Azizi beserta
tidurnya.
Yaa kita sedang membicarakan Muhammad Fikri
Azizi. Manusia alay yang disayangi Tuhan.
Benar bahwa M. Fikri Azizi adalah tokoh
antagonis dalam drama kehidupan saya di pesantren itu. Bukan karena
keganasannya dalam mencari wanita, bukan pula lantaran kedermawanannya ketika
nonton Persib bareng di stadion si Jalak Harupat, tapi sebab dia begitu
bajingan saat saya dibiarkan tenggelam dan tergontai oleh arus di bilangan
sungai dekat rumahnya.
M. Fikri Azizi merupakan simbiosis santri
pembangkang sekaligus pembuat makar. Ia bisa saja kabur dari asrama di malam minggu
untuk menemui pacarnya. Seakan takan masuk Purgatori di akhirat kelak, Orson,
demikian ia disapa, juga bisa dengan santainya berjalan ke masjid untuk shalat tanpa
melakukan ritual thaharah atau semacamnya.
Wajah yang kusut, gembel dan apa adanya seperti Fikri ini akan biasa saja seakan
tidak terjadi apa-apa meskipun rambut layunya digunting habis hingga botak
karena melanggar peraturan pesantren.
Ia hidup tanpa beban. Mengalir seperti air
mata jeritan tangis seorang anak yang kehilangan boneka Sumantonya.
Setelah saya melakukan penelitan yang serius
ternyata kuncinya adalah tidur. Namun sayangnya di masyarakat mempunyai nada miring tentang tidur.
Setidaknya terdapat dua kutub yang berlawanan ketika orang membahas tidur. Pertama, tidur sebagai sebuah keharusan
dengan alasan kesehatan. Kedua, tidur
juga dipandang sebagai symbol pemalas atau pengangguran. Satu sisi ingin menjaga kesehatan, di sisi lain
menyalahkan jika menjaganya.
Saat di dalam kebimbangan ini saya jadi
teringat kepada Dalai Lama, tokoh besar asal Tibet.
Dalai Lama, seorang penerima penghargaan Nobel Perdamaian
pada tahun 1989, pernah mengatakan bahwa “Sleep is the best meditation”, ya tidur
adalah meditasi terbaik.
Dalai Lama mempunyai hobi tidur. Karena tidurnya, dia telah
pergi ke seluruh dunia untuk memberikan pidato mengenai hak-hak perempuan,
anti-kekerasan, dialog antar agama, fisika dan ilmu pengetahuan. Namun, tidak
banyak peneliti di dunia akademik yang mengkaji pemikiran Dalai Lama berawal
dari tidurnya, dan tidak banyak pula para pengkaji tidur yang meneliti tidurnya
Dalai Lama, padahal semua instrument gagasannya berawal dari tidur.
Lain dengan Dalai Lama, lain pula dengan Gus Dur. Manusia unik
dan langka seperti Gus Dur ini bisa saja tidur di
tengah-tengah acara diskusi atau semacamnya, namun ketika gilirannya bicara
dalam sebuah tema tetap bisa nyambung dalam konteks yang dibahas sebelumnya. Hal
ini tidak lepas dari anggapan Gus Dur bahwa tidur, baginya, bukanlah berarti
kehilangan kesadaran secara penuh.
Mungkin inilah yang dijadikan epistemology oleh M. Fikri
Azizi untuk tidur dimana pun. Jika ulama dulu sekelas Ibnu Sina dalam tidurnya ia
belajar, M. Fikri Azizi bisa tidur ketika belajar. Ia bisa saja terlelap di
kelas, di masjid, di jalanan, di wc bahkan di muka gerbang pintu kereta api. Saya
kira sekalipun jari tengahnya melepuh oleh panas matahari atau kelingkingnya menciut
dicengkram dingin, atau bahkan tubuhnya limbung dihantam angin, ia tak akan
bangun bila belum menghendakinya.
Begitulah Fikri dengan segudang keanehannya. Coba bayangkan
sekali lagi, di saat dunia semakin liberal, tapi M. Fikri Azizi menginginkan
tidur malam dengan cara yang paling konservatif: Cuci tangan-kaki tanpa gosok
gigi, pake piyama kemudian tengkurep dan mengucapkan “met malam all”, ambil
sarung dan tirai pun diturunkan. Ketika tidur di kelas pun ia begitu
tradisional: datang ke kelas dengan mata merah setengah sadar, duduk mematung
kemudian secara perlahan menutup mata sedikit demi sedikit sampai pandangan
kabur melihat objek betul-betul gelap tak bersisa.
Saya kira motif tidur di kelas dari Fikri ini mempunyai fondasi
yang sama dengan dugaan Eddward S. Kennedy tentang Sumanto di acara Talkshow, tidurnya M. Fikri merupakan bentuk subversifisme
diam-diam, atau jika itu berlebihan bolehlah dikatakan semacam sarkasme
terselubung kepada para anggota DPR yang memang juga suka terlelap di saat
rapat membahas nasib rakyat.
M. Fikri Azizi dan tidurnya adalah symbol perlawanan.
Disaat semua orang menulis buku sebagai sebuah respon, berdemo hingga batang
leher mengeras, mengepalkan tangan kiri ke atas langit karena ketidakadilan
penguasa, Fikri Azizi dengan santainya tidur, sebagai sebuah jawaban terhadap
anjing-anjing yang ada di Senayan. Ia hidup dengan makna, bukan lagi dengan silogisme.
Tidurnya M. Fikri Azizi yang bisa di segala
kondisi juga bisa kita ibaratkan sebagai autokritik terhadap pemerintah. Ia mewakili
orang-orang miskin yang rumahnya digusur, yang tempat tinggalnya terkena
longsor maupun banjir. Yaa memang benar juga kata Goenawan Muhammad, orang-orang miskin terkadang mirip
dewa-dewa yang malang: suara mereka perlu disimak, tapi sering kali dunia
mendengarnya melalui perantara. Dan Fikri Azizi dengan tidurnya adalah
perantara itu yang lazimnya lebih seru, ketimbang para subaltern sendiri.
Yah apa pun itu M. Fikri Azizi hanyalah
manusia biasa buatan bapaknya, Pak Asop.
Post a Comment