Wasit adalah pemain ketigabelas
Di negeri yang serba ngawur
ini, hampir setiap kepala mempunyai bakat menjadi komentator. Tak peduli komentarnya
terasa pedas, gurih atau bahkan pahit. Apapun yang menjadi minatnya seakan kurang
paripurna bila belum dikomentari. Namun yang agak aneh adalah makna “komentator”
di negeri ini sering merujuk ke dalam sepakbola. Mungkin karena setiap adegan
sepakbola selalu menampilkan para “pengamat” dan kebetulan sepakbola sendiri merupakan
hiburan masyarakat yang paling luas, maka “komentator” lebih afdhal disematkan kepada
olah raga ini.
“Kullu ra’sin, ra’yun” Saya kira kaidah ushul fiqh ini sejalan
dengan makna “komentator”, setiap orang mempunyai pandangan berbeda terhadap
satu kejadian. Menjadikan satu pertandingan memiliki banyak tafsiran,
mutitafsir. Bisa jadi faktor kekalahan sebuah tim menurut komentator yang satu disebabkan
keluguan para pemain dalam mengantisipasi serangan lawan, atau bisa juga
menurut komentator yang lain, faktor kemenangan sebuah tim dikarenakan tingginya
syahwat mereka dalam mencetak goal. Namun tidak sedikit pula para komentator
menyerang pribadi wasit sebagai kausal kekalahan dan kemenangan sebuah tim.
Banyak orang berpandangan
bahwa wasit bertindak sebagai “sang pengadil” di lapangan hijau. Baik-buruknya
sebuah pertandingan, adil tidaknya sebuah permainan ditentukan oleh wasit itu
sendiri. Sang pengadil belum tentu adil. Sekelas hakim konstitusi pun bisa
bertindak tidak adil ketika uang menjadi tujuan, apalagi seorang wasit yang
tidak terlalu mendalami makna “moralitas”. Karena itu, jangan terkecoh oleh
terma “sang pengadil” karena bisa saja wasit menjelma menjadi pemain
ketigabelas.
Dalam sejarahnya, ada
beberapa pertandingan yang diduga oleh banyak pengamat, keputusan wasit tidak
adil dan berpihak kepada tim tertentu. Nah, bagi mereka yang pernah “alay” di
era 70-an, tentu saja tidak akan pernah melupakan kejadian Hand of God-nya Diego
Maradona ketika Argentina melawan Inggris pada Piala Dunia 1986 di Meksiko. Tanpa
melakukan “autopsy” terhadap gol Maradona, wasit yang ketika itu dipimpin oleh
Ali bin Nasser membiarkan gol tercipta, Inggris pun kalah 2-1 atas Argentina.
Bukan hanya Inggris, public Italy
pun pernah merasakan pahitnya dipimpin oleh wasit yang tidak berkompeten ketika
16 besar Piala Dunia 2002 melawan Korea Selatan. Ketika itu kekalahan Italy
disutradarai oleh Byron Moreno, wasit asal
Ekuador yang dalam keputusannya sangat tidak bisa diterima oleh “keadilan”. Saya
yakin fans Francesco Totti takan pernah melupakan saat idolanya dikartu merah
karena dianggap telah melakukan diving.
Alhasil Italy pun kalah di tangan Korea Selatan. Bagi public Italy, kekalahan
mereka bukan disebabkan oleh buruknya permainan, namun karena buruknya keadilan
di lapangan hijau kala itu. Fatwa hukuman mati pun menghantui perjalanan hidup Moreno.
Begitulah contoh ketika
wasit menjelma menjadi pemain ketigabelas. Sulit dibayangkan memang, sebab
bagaimana mungkin sekelas turnamen yang digagas oleh badan sepakbola dunia (FIFA)
saja bisa kecolongan mendapati wasit yang gila akan uang, Apalagi dengan dunia
sepakbola ala kadarnya semacam negeri yang serba payah ini. Endonesa.
Dalam konteks Indonesia saat
ini, tentu saja Persib yang menjadi korban oleh brutalnya keputusan seorang
wasit. Bagi public bobotoh kejadian itu disebut sebagai “Last night was definitely unforgettable”, malam yang
tidak akan pernah dilupakan, bukan karena pahitnya kekalahan 0-2 oleh Arema
Cronus, melainkan oleh keputusan ngawur sang pengadil lapangan hijau ketika
final Piala Bhayangkara Cup.
Ada
beberapa kengawuran Bapak Yang Mulia Nusur Fadilah cs dalam
memberikan keputusan kemarin malam, namun yang paling controversial adalah
memberikan kartu kuning kedua kepada Rudolof Yanto Basna pada menit ke 71
setelah menendang botol yang mengenai rambut Ezteban Viscarra.
Saya yakin Basna berniat
baik membuang botol minuman yang masuk ke dalam lapangan, namun secara tidak sengaja
mengenai rambut Vizcarra. Kelebayan Vizcarra di final ini memang seperti Saepul
Jamil, bagaimana tidak menjijikan, botol kosong yang hanya mengenai seutas
rambut Vizcarra, diperlihatkannya dalam parody guling-gulingan tidak karuan
seakan Basna menendang kemaluannya yang kerdil.
Karena itu, saya melihat
kejadian ini bukan unsure kesengajaan, sebab pertandingan begitu tegang, para
pemain hanya focus dengan gol dan kemenangan, sehingga menendang botol kosong
itu pun tidak pada “kesadaran” yang utuh.
Bagi yang berceloteh bahwa Yanto
Basna melakukannya dengan sengaja, silahkan, karena sepakbola adalah peristiwa
yang sering tersaji dengan banyak tafsiran. Namun membela wasit yang memang
tidak berkompeten adalah kebodohan. Dalam hal ini saya sedikit satu pendapat
dengan admin akun twitter @simamaung yang entah siapa “dalangnya”, menyatakan
bahwa keputusan Nusur Fadilah dalam memberikan kartu kuning pertama kepada
Basna kurang tepat dan secara keseluruhan keputusannya banyak keliru. Yaa, ini
menguatkan dugaan saya bahwa Yang Mulia Nusur Fadilah memang tidak layak
memimpin partai sekelas final.
Pada akhirnya Persib pun
kalah oleh Arema Cronus. Kekalahan Persib memang sangat kompleks, mulai dari
irama permainan yang kurang greget, pelatih yang miskin strategi dan materi
pemain yang tidak sehebring kala final ISL beberapa tahun yang lalu. Namun menurut
saya keputusan wasitlah yang paling memukul mental para pemain sebagai “causa
prima” dari kekalahan Persib oleh Arema Cronus.
Bagi warga Inggris, nama Ali
bin Nasser takan pernah dilupakan karena menshahihkan gol Hand of God milik
Maradona, begitu pula dengan public Italy yang takan pernah melepaskan
ingatannya kala Byron Moreno memberikan kartu
merah kepada Totti. Namun bagi bobotoh sealam dunya, nama Yang Mulia Nurul
Fadilah akan dikenang sebagai wasit yang tidak becus.
Pertanyaan pentingnya adalah
hmm.. Jika Aremania adalah pemain keduabelas Arema Cronus, mungkinkah Yang
Mulia Nurul Fadilah adalah pemain ketigabelasnya ?
Membayar wasit juga termasuk strategi..
ReplyDeleteIya strategi untuk kejahatan ~
DeleteBola Liga Champione
ReplyDelete