Dejavu di Pantai Krakal, Gunung Kidul, D.I. Yogyakarta


Udara dingin di awal bulan Mei (5/5) memang tidak bisa membendung hasrat empat orang manusia asal Garut untuk tidak pergi ke Pantai Krakal, Gunung Kidul, Yogyakarta. Yaa, meskipun pasir di sana tidak seputih Pantai Kuta dan tidak selembut hamparan permadani oriental khas Abad Pertengahan, namun pantai itu tidak sekotor Ancol tentunya, sehingga kami bisa menikmatinya dengan suasana yang lebih khidmat.

Berangkat sore, tiba malam. Kami mendirikan tenda. Berteman dengan gerimis hujan pengundang lapar, empat orang mahasiswa yang tingkat ketololannya melebihi Einstein kecil itu berjibaku mendirikan tenda hingga 1 jam 24 menit! Bayangkan, keletihan kami seusai mendirikan tenda yang bermuatan enam orang itu, seperti letihnya Michaelangelo dalam membuat tangga spiral menuju Museo Vaticano.

Setelah tenda dengan tegar berdiri, saya melihat napas si Firdaus lebih panjang seolah cahaya penjagaan dirinya telah dinyalakan kembali di dalam tubuhnya. Saya pun melihat aura ketenangan memancar dari Sang Wajah Tanpa Dosa: si A-er. Si Hazmin ? saya hanya memandang wajahnya memancarkan sebuah keinginan untuk mencari keadilan yang mendorongnya untuk berani memesan nasi goreng di warung itu. Kami lapar.
A-er, Hazmin dan Firdaus


Perut kenyang dan hujan reda, suasana malam pun menjadi lebih syahdu. Tapi tidak buat saya. Ketika tiga orang itu tenggelam dalam nyanyian mellow yang jauh dari kata merdu, disertai dengan suara gitar yang muram, saya merasa berjalan dalam labirin tak berujung yang kandungan oksigennya setipis batas antara dendam dan kenangan. Sesak

Ah, bayanganmu enggan berlalu, Nyi. Inikah dealova ?  atau hanya dejavu asmara ?

Sebab di pantai itu ada banyak sepasang kekasih yang saling mengumbar asmara satu sama lain. Seakaan menjalani sayembara bermesra-mesraan di hadapan manusia-manusia goblok tuna kasih sayang seperti kami. Mereka berceloteh dengan luapan kegembiraan yang nyaris menjengkelkan. Menyebalkan. Menjijikan.

Namun pemandangan berubah saat saya melihat dentuman tawa keras dari satu keluarga kelas menengah ketika bermain-main dengan ombak dan pasir. Layaknya Siti Hajar menemukan air setelah berlarian dari bukit Shafa ke bukit Marwah, satu keluarga itu tidak bisa menahan geliat riang gembira. Kebahagiaan mereka tanpa syarat dan tidak dibalut oleh selimut kemunafikan. Hal ini tentu saja membuat kami, khususnya saya, ikut bahagia, ikut tertawa.
Satu Keluarga yang Bahagia ~

***
Yaaahh.. Saya adalah orang yang didesign oleh Tuhan untuk mager (males gerak) dan baper (bawa perasaan) sehingga saya tidak menyukai liburan dalam pandangan umum, akan tetapi saya baru menyadari bahwa liburan itu sangat penting. Alasannya yaa setelah liburan saya jadi lebih fresh, lebih siap menjalani kehidupan normal dan tentu saja lebih menderita.

DUIT AING HABISSSS, WAAAAAAAKKK! ~


No comments